Tiada sejarahnya datang hantu bersuara merduÂ
Meski artefak tersabda vokal telah setingkat sehidup para termasing perasaÂ
Terbaca sudah tabiat budi termanjai rasa ingin
Gontaikah sudah kau sisir angin di sepi yang terlamunkan?Â
Tertoreh yel di selembar alas berkulit masak
Telah menuai sarana sajak yang terhidangkan wangi
Di wajah altar yang menggoda sebagian belantara
Begitu congkak terasa di zaman ini makin lena
Meski baginya waris terarahkan sebagai pengindah gaya bahasa; sastra
Semoga tak layu daya melucuti ranumnya melati di taman baca
Temaram nuansa hati penaku tak pernah menodai aura selain putih
Sebab sebegitu cinta kepada oceh-oceh mulut Orang Tua
Cita rasa kelak tergores tanpa sudi basah berbenah sewaktu dini
Padahal berlelahan berpayung demi studi adalah sesuatu yang indah untuk kini dan nanti
Mengejar sederet awan di hulu pada leher langit pertama
Adalah pelafalan angan berhantu, pengindah sahaja yang kerap muncul dan hilang di sepasang mata
Pelayaran kata teratas geraham belum usai terucapkan di sebuah karya lukisan
Tentang si pelaut liar yang tak pernah mandi saat ke sekolah sebab faktor kebiasaan
Biarlah senandung udara yang menerjemah kebiasaan hidupnya di pasang surutnya air laut; tradisi
Yang mana terombang-ambingkan hati mencari keselarasan di luasnya ombak samudra
Mencintai semilir karya budaya setiap hari kadang membuatku mabuk cinta hingga sakit kepala
Meski belum kujabar turunanmu yang menjerit menuntun rapiÂ
Halnya anak-anak tangga yang tersusun pada sebuah kultura seniÂ
Tangerang, 17 Desember
________________________
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H