Di era disrupsi dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat ini rasa-rasanya sangat sulit bila tidak memiliki media sosial atau tidak aktif di dalamnya. Apalagi tuntutan untuk bisa bersaing secara global yang lebih mudah dijangkau dengan dunia maya dalam seluruh aspek kehidupan saat ini, sangatlah besar.
Dilihat dari hal tersebut, media sosial juga membawa dampak positif bila di dalamnya digunakan secara bijak seperti sebagai sarana penyampai informasi, mengelola akun organisasi, media pengembangan potensi diri, hiburan, bisnis online, dan sebagainya. Meski di sisi lain media sosial juga membawa dampak buruk pada kesehatan mental, terlebih bagi remaja.
Banyaknya potret palsu kehidupan, mudah tersebarnya hoaks, ujaran kebencian dan lain sebagainya acapkali membuat pengguna hanya melihat segala sesuatu dari sisi maya yang secara tidak langsung membuat diri mereka kerap mengalami rasa cemas, insecure, overthinking, muncul kejenuhan, gelisah, dan stres secara tiba-tiba.
Bahkan parahnya, media sosial bisa menjadi penyumbang besar penyebab seseorang tidak merasa cukup dan terus membandingkan diri mereka dengan orang lain. Alhasil munculah emosi negatif pada diri yang menyebabkan seseorang bisa membenci dirinya sendiri karena merasa tidak lebih baik, merasa tidak lebih cantik/tampan, merasa tidak lebih kaya, merasa tidak lebih bahagia dibanding orang lain, dan sebagainya.
Padahal bila kita sadari, apa yang terlihat di media sosial tidak mesti terjadi apa adanya di dunia nyata. Mereka hanya menampilkan sisi lain dari dirinya untuk menunjukkan eksistensi dan merasa diakui keberadaannya. Bisa saja mereka tidak lebih baik dari kita. Mungkin saja mereka hanya menyembunyikan banyak kekurangan, rasa kesepian, rasa tidak dihargai, rasa ingin diperhatikan dan sebagainya.
Atau bisa saja mereka hanya ingin membagikan momen kebahagiaan dan pencapaian/keberhasilan mereka agar kita terdorong untuk memiliki semangat yang sama. Hanya saja bukannya kita termotivasi atau ikut bahagia dengan apa yang mereka tampilkan, justru sisi benci, iri, dan lainnya menjadikan hal tersebut sebagai pembanding diri.
Dari sini akhirnya kita bisa tau siapa yang sebenarnya bertangung jawab atas apa yang dilihat dan dinilai. Ya, siapa lagi kalau bukan diri kita sendiri.
Kita tidak bisa mencegah atau membatasi postingan orang lain yang menampilkan berbagai macam hal dan bentuk ekspresi diri, karena mereka punya hak di dalamnya. Begitupula sebaliknya.
Apapun yang kemudian terjadi dan mempengaruhi pikiran kita adalah dari bagaimana kita memandang sesuatu hal. Maka dari itu hanya kita yang tau bagaimana cara membatasi diri, hanya kita yang paham informasi mana yang perlu difilterisasi untuk kemudian bisa kita ambil, dan hanya kita yang mampu mengendalikan diri sendiri.
Lalu bagaimana jadinya bila kita sudah terlalu larut dan terkena dampak negatif dari adanya media sosial seperti di atas?