Mohon tunggu...
Amerta Raya
Amerta Raya Mohon Tunggu... Petani - Petani

Catatan Manusia Pelosok Desa

Selanjutnya

Tutup

Diary

Amerta Gubuk Bambu Tempat Singgah Ku Tercinta

13 Juni 2023   13:55 Diperbarui: 13 Juni 2023   16:18 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Siang ini puku 12:32 WIB, 13 Juni 2023. Seusai sholat dzuhur, sembari tiduran, sembari nonton TVRI acara berita klik Indonesia siang. Otak ku terus menyuruh membuka kompasiana seakan membisikkan ajakan "ayo latihan menulis lagi". Jempol ku pun tak ada sabar merespon ajakan otak ku, scroll browser dan langsung membuka laman menulis. Rasanya ingin menulis tentang apapun itu, tak terkecuali terkait gubuk bambu ku tercinta. 

Gubuk bambu ku berdiri disecuil tanah dibantaran sungai, aku nunut alias numpang di tanah milik simbah ku yang terbengkalai tidak ditanami, karena simbah ku sudah sangat sepuh, sudah tidak bisa nyawah, jalan ke mushola depan rumah saja kesulitan, sistem motorik ya sudah agak kaku, otot-ototnya sudah kendur, namun simbah ku masih aktif bercerita, mata juga masih jelas membaca, pendengaran pun masih jelas. 

Akhir februari 2020 aku ijin kepada simbah ku untuk mendirikan gubuk bambu ditanahnya dan di izinkan, betapa senang hati ku, aku memulainya sendiri, menebang bambu sendiri, memotongnya, mikul alias mengangkutnya, seminggu lebih aku kerjakan sendiri, bahan kerangka sudah terkumpul, mulai lah aku mempekerjakan tetangga, dia tuna rungu, karena aku gak enak saja kalau member uang langsung dikira gimana-gimana, dengan tak suruh kerja membantu ku, jalan beberapa hari malah pemuda setempat banyak yang pada tahu aktifitas ku, karena awal pandemi pemuda yang biasanya merantau buruh bangunan di Jakarta semua dirumah, mereka banyak berdatangan sembari mandi disungai dan turut membantu mendirikan gubuk ku.

Nama sungainya "kedung dalan", kedung sendiri adalah bagian sungai yang memiliki kedalaman cukup dalam, sedang kata dalan merujuk dari kata jalan, yakni jalan penyebrangan yang dulunya adalah jalan utama menghubungkan antara satu padukuhan dengan padukuhan lain. Dulu lebarnya sekitar 2,5-3 meter, sekarang kondisi jalan sudah menciut, lebar yang tersisa tidak ada 1 meter. Mayoritas karena dikikis oleh pemilik tanah samping-samping jalan.

Selain ada kedung dalan, ada juga kedung macan, ada kedung sapi, ada kedung lengkong dll. Kedung macan letaknya tepat di campuan alias pertemuan dua jalur sungai dari timur sungai bulungan dan dari barat sungai kelar, titik temu dua sungai itu ada di pojok tanah simbah ku, kedung macan ini memiliki sumber mata air di bagian sebrang dari tanah simbah ku, sumber mata air itu yang aku gunakan untuk aku konsumsi. Sebenarnya byak sumber mata air dibantaran sungai ini dan airnya lebih besar, cuma letaknya lumayan jauh dan tuk macan alias mata air kedung macan ini yang paling dekat.

Di kedung dalan ini ada curug alias air terjun kecil, seperti bendungan tapi ini alami batu cadas, di sini sering setiap pagi aku jalan tanpa alas kaki, lumayan itung-itung terapi, hidrotherapy, memanfaatkan ion negative yang melimpah. Bantaran sungai dan gubuk bambu tercinta dengan bentuk sangat sederhana yang senantiasa menjadi sumber banjirnya inspirasi.  

Gubuk ku letaknya ada ditengah kelurahan, dikelilingi 5 padukuhan radius 1 kilo meter melewati sawah dan hutan. Aku rasa sungai ini pula yang menjadi sejarah tercetusnya nama Desa Wadas. Karena kebanyakan orang dulu member nama perkampungan biasanya dari sungai atau mata air atau hutan. Nah kata "Wadas" adalah bahasa jawa yang artinya adalah "Batu Cadas". Terkait sejarah bubak yoso deso alias sejarah mulai terbentuknya desa ini masih aku lakukan pendalaman, karena pihak desa pun tidak memiliki buku catatan awal mula terbentuknya desa ini, aku banyak mencari sumber cerita dari sesepuh-sepuh yang belum punah, hahaha. 

Cukup kesulitan karena keterbatasan sumber literatur untuk aku kaji. Tapi memang benar adanya, saat aku susuri sungai ini ada beberapa titi bebatuan cadas. Dari yang pertama ada kedung Cangkring, memiliki air terjun mungil setinggi 1 meteran dengan karakter batu cadas hitam yang esthetic, kedung Cangkring juga memiliki sumber mata air yang cukup deras, terletak diperbatasan desa/kelurahan antara Desa Jati dan Desa Wadas. 

Titik batu cadas yang kedua berada ditengah, yakni kedung dalan, yang aku dirikan gubuk bambu tercinta ini. Yang terakhir ada di ujung perbatasan Desa Wadas dan Desa Kemploko, tepat diperbatasan ini air terjun yang cukup tinggi, sekitar 20-30 meter dan potensi desa ini belum dikelola sebagai destinasi wisata. Semoga kelak terkelola dengan baik untuk meningkat kan ngeliat ekonomi masyarakat desa, menjadi desa yang mandiri. 

Dari desa untuk Indonesia maju. Barokalloh 

Sekelumit cerita ku siang ini yang tidak bermutu, cerita yang abstrak, ngalor ngidul, ngetan ngulon tidak jelas, hahaha. demikian waktu sudah Menunjukkan pukul 13:55 WIB, waktu ku untuk istirahat siang. I love myself. Nitip sehat, semangat dan jangan lupa bahagia. Barokalloh. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun