Sejak kecil kita diajarkan mata pelajaran sejarah, baik sejarah Indonesia maupun sejarah dunia. Bahkan, founding father Indonesia alias Presiden pertama kita, I.R. Soekarno mengatakan "JAS MERAH" artinya jangan sekali kali melupakan sejarah.Â
Saat mendengar perkataan tersebut, kita sendiri mengartikan jangan pernah melupakan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka dari penjajahan.Â
Tetapi, akhirnya otak kita dilingkupi sebuah kotak bahwa kita hanya harus berfokus kepada sejarah penjajahan yang terjadi di Indonesia serta sedikit peradaban masa klasik masa lalu seperti Majapahit ataupun mataram. Sesuatu yang bagus namun membuat kita melupakan arti penting sejarah sesungguhnya.
Apakah kalian sering mendengar arkeologi, arkeolog atau awam dan asing terhadap kata tersebut? Iya, sebuah ilmu yang mempelajari dunia tinggalan baik benda maupun cagar budaya lainnya.Â
Survey kecil yang dilakukan menghasilkan sebuah konklusi bahwa mereka menganggap arkeologi ialah pekerjaan mencari fosil atau menggali tanah seperti di film "indiana jones". Tak hanya 1-2 orang namun banyak yang mengatakan hal tersebut. Sedih bukan?Â
Faktanya ilmu tersebut sangat penting untuk menemukan mengarahkan dan menambah kekayaan sejarah baik di Indonesia maupun di dunia. Peran para arkeolog sangat dibutuhkan di negara luar seperti Italia, Inggris, Prancis, dna Amerika yang dapat dibayar dengan harga fantastis, tapi kenapa Indonesia tidak?
Mari kita mengupas fakta. Fakta arkeologi yang dapat membuat kita sebagai warga negara menjadi bangga. Lukisan goa tertua di dunia berasal dari Indonesia, tepatnya sulawesi. Manusia tertua di Indonesia berada di Sangiran, manusia purba terunik berada di Indonesia tepatnya di Flores.Â
Mungkin italia kaya akan peninggalan romawi, mesir akan peninggalan klasik, bahkan peradaban Eropa yang kaya akan sejarah kontemporernya. Tetap Indonesia? Prasejarah, klasik, hingga kolonialisme semuanya ada.
Mengapa masih dianggap remeh dan tak penting? Bagaimana menyikapi dan menangani sementara disaat sebuah budaya di klaim pihak lain kita membabi buta seakan akan memilikinya.Â
Penyakit ini pun sudah bertahan puluhan bahkan ratusan tahun namun kita masih mengacuhkannya. Hanya segelintir idealis yang berhasil berjuang. Mentalitas jajahan pada masyarakat Indonesia masih belum berubah. Mari kita bahas sebuah fakta.
Pada masa kolonialisme Belanda di Indonesia, peran arkeolog Belanda dan Eropa lainnya berbondong-bondong datang di Indonesia untuk kagum dengan peninggalanya.Â
Katakan saja seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan yang ditemukan Sir Thomas Stamford Raffles pada masa Inggris berada di Indonesia. Ia memerintahkan bawahan untuk menanganinya sementara tidak memerankan masyarakat. Masyarakat pun berbondong-bondong melihat bahwa kerja di pemerintahan merupkan sebuah kesuksesan. Hingga sekarang mentalitas tersebut masih berjalan saat melihat orang lain sebagai PNS dan ASN, hal tersebut merupaman sebuah kesuksesan.Â
Negara lain berbondong untuk mengoleksi dan mengambil tinggalan arkeologi di Indonesia dan kita cukup diam tenang karena acuh tak acuh. Bagaimana kita mau maju jika tak peduli?
Terkadang pola pikir tersebut merupakan kesalahan klise yang disebabkan mentalitas postmodern pasca kolonialisme. Dan pada akhirnya kita hanya menikmati keindahan tinggalan arkeologi di Indonesia namun tak acuh dengan prosesnya. Bagaimana dengan dunia profesional para lulusan Arkeologi?
Lagi-lagi, lingkupnya hanya sedikit dan sempit. Â Lingkup swasta hanya betfokus pada dunia konsultan di bidang kebudayaan. Sisanya? ASN,dimana berlomba-lomba dengan pihak lain jntuk mendapat jabatan tersebut tanpa tahu kualifikasi dari pekerjaannya.
Semua merupakan opini pribadi penulis, apabila memiliki pandangan dan opini lainnya, mari kita berdiskusi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H