Mohon tunggu...
Galih (Nalika Menggalih)
Galih (Nalika Menggalih) Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Freelance

Menuangkan gagasan yang melintas dalam benak, semampu mungkin dan sesederhana mungkin.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Kerahkan Sebanyak Mungkin Indera dalam Belajar Bahasa Inggris

12 Juli 2016   12:13 Diperbarui: 12 Juli 2016   12:20 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: slideplayer.info/slide2300587

Student Book, anda kenal itu? Ya, buku itu yang turut andil membentuk kemampuan saya berbahasa Inggris. Itu adalah buku pegangan wajib siswa sekolah menengah pertama dan atas untuk mata pelajaran Bahasa Inggris kala itu. Jika anda mengenalinya, maka anda pasti dapat menerka dengan tepat sekitar tahun berapa saya menimba ilmu di sekolah menengah dan berapa usia saya kini.

Pelajaran bahasa Inggris saya nikmati kembali pada dua semester awal di bangku kuliah. Setelah itu, saya lebih banyak berkutat dengan text book berbahasa Inggris sebagai buku referensi wajib maupun pilihan dalam hampir seluruh mata kuliah. Menjelang akhir kuliah, saya jadi lebih intens dengan jurnal ilmiah berbahasa Inggris terkait dengan tugas penyusunan makalah maupun skripsi yang harus saya tuntaskan. Maka, pembelajaran Bahasa Inggris yang saya jalani lebih dilatarbelakangi oleh kewajiban yang tak terelakkan akibat tuntutan akademis.

Saya percaya, orang yang mengalami perjalanan pembelajaran serupa dengan gaya saya pasti tidak sedikit. Lalu apa hasil dari proses pembelajaran serupa itu? Saya coba refleksikan.

Jika ukuran hasil pembelajaran yang dipakai adalah nilai ujian, bolehlah saya katakan saya termasuk sukses dalam hal ini. Seumur-umur tak pernah ada nilai merah di rapor; itu artinya passing grade minimal terlampaui. Puncaknya adalah Nilai Ebtanas Murni (NEM) Bahasa Inggris SMA 8,5, nilai tertinggi dibanding mata pelajaran lain. Dalam ijazah SMA saya pun tertoreh nilai 8 pada pelajaran tersebut.  

Sampai di sini saya dapat katakan bahwa metode pengajaran Bahasa Inggris cukup efektif. Sekali lagi, itu dari parameter nilai ujian. Fokus perhatian saya dan teman-teman lebih dititikberatkan pada bagaimana menjawab soal-soal ujian dengan benar. Hafalkan ciri-ciri keterangan waktu untuk menebak tenses yang digunakan. Hafalkan auxiliary dan kata kerja bantu untuk beberapa tenses utama (past, present, future). Hafalkan kata-kata yang harus diikuti dengan infinitive with/without to dan gerund. Masih ada lagi; hafalkan kata kerja tak beraturan dan bentuk kata benda tunggal dan jamak.

Cukupkah semua itu? Saya rasa cukup untuk bekal kelulusan. Bergulat dengan text book dan jurnal ilmiah berbahasa Inggris juga cukup untuk bisa menterjemahkannya intinya guna dicuplik dalam makalah dan skripsi. Jadi orientasinya adalah lulus sekolah atau kuliah.

Lalu bagaimana dengan kemampuan komunikasi Bahasa Inggris saya? Nah, ini dia persoalannya. Anda pasti bisa menebak arah refleksi saya. Bahasa itu adalah alat komunikasi. Maka, jika kita belajar bahasa ukuran keberhasilan yang paling sahih sebenarnya adalah sejauh mana kemampuan saya berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tersebut. Lulus kuliah boleh dikatakan kemampuan komunikasi Bahasa Inggris saya ada pada jurang terdalam. Itu terjadi dalam tiga hal: mendengarkan, berbicara, dan menulis. Begitu dihadapkan pada situasi yang mengharuskan saya menggunakan ketiga hal tersebut, responsnya adalah: “Berhenti grak!” Belajar bertahun-tahun serasa tak ada jejak peninggalannya.

Menjelang lulus kuliah saya coba melamar kerja sambilan sebagai pramusaji di café di kawasan penginapan para turis asing. Pemilik café minta saya menjelaskan dalam Bahasa Inggris salah satu destiniasi wisata yang saya ketahui. Apa yang terjadi? Cukup satu kalimat terucap, setelah itu tak jalan sama sekali. Pikiran blank, lidah kelu, tubuh serasa gemetar.

Begitu lulus kuliah diminta mengajukan secara tertulis lamaran dan CV dalam Bahasa Inggris. Tangan ini serasa menjadi lumpuh, berat nian digerakkan untuk menorehkan tulisan. Alhasil, ambil contoh dokumen serupa buatan orang lain atau contoh-contoh di buku korespondensi Bahasa Inggris. Cuplik dan modifikasi nama dan identitas lainnya. Untuk yang seperti ini, saya tak keberatan jika ada yang menyebutnya sebagai reaksi tanggap darurat karena terdesak kebutuhan.

Macet komunikasi terjadi kembali jika ada tes wawancara Bahasa Inggris. Diminta memperkenalkan diri saja begitu gugupnya, apalagi presentasi mengenai topik tertentu, jangan ditanya. Presentasi mengenai ilmu di bangku kuliah yang masih segar dalam ingatan saja serasa seperti orang yang baru belajar berbicara.

Buntut dari kemacetan komunikasi berbahasa Inggris otomatis adalah kemustahilan untuk melamar kerja di perusahaan asing atau perusahaan bonafid. Kemana perginya orang-orang dengan kualifikasi Bahasa Inggris serupa saya sudah bisa diperkirakan. Kantor Pemda, PNS yang model seleksinya massal, LSM lokal, perusahaan daerah, serta instansi sekelas itulah. Sorry to say, ini sama sekali bukan bermaksud  menganggap rendah atau menyepelekan instansi yang baru saja saya sebutkan. Kenyataannya, pada instansi seperti itulah kemampuan komunikasi berbahasa Inggris umumnya bukan menjadi sesuatu yang “is a must” seperti yang sering tertera dalam iklan-iklan lowongan kerja. 

Jika saya refleksikan lebih lanjut, hal yang tak saya asah atau saya dapatkan dalam pembelajaran Bahasa Inggris di sekolah formal adalah soal ekspressi. Kesempatan untuk belajar dan berlatih mengekspresikan diri dalam Bahasa Inggris nyaris tak tersentuh. Komunikasi melibatkan dua hal, menyampaikan pesan dan menerima pesan. Kaitannya dengan ekspresi, maka diperlukan latihan mengekspresikan diri dan menangkap ekspresi orang lain dalam Bahasa Inggris.

Berbicara, mendengar, dan menuliskan pesan dalam situasi riil yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari; itulah ketrampilan untuk dapat berkomunikasi yang kurang mendapatkan tempat di bangku sekolah. Inilah yang kemudian menjadi lahan garapan lembaga kursus  Bahasa Inggris di luar sekolah.

Untuk menebus semua itu, sekaligus untuk bangkit dari jurang terdalam agar pengalaman bertahun-tahun belajar Bahasa Inggris ada jejak-jejaknya, maka kini saya ikut kursus Bahasa Inggris. Ya, di usia senja ini saya bersyukur masih bisa menyisihkan sebagian dari upah kerja saya untuk mengikuti kursus. Lebih baik terlambat daripada tidak ada hasil sama sekali, begitu pepatah orang bijak. Di kelas kursus yang sama, bahkan ada juga siswa SMP kelas dua dan siswa SMA. Bersama mereka saya belajar kembali dengan metode dan gaya yang berbeda dengan yang pernah saya kenal dan saya jalani. Materi pembelajaran yang sifatnya praktis cukup banyak dengan berbagai macam ilustrasinya.

Setiap orang memiliki cara tersendiri untuk menguasai materi pembelajaran. Setelah sekian semester mengikuti kursus, saya merasa bahwa belajar bahasa yang efektif untuk saya saat ini adalah mulai dari mendengarkan (listening). Mendengarkan penutur sedang menyampaikan sesuatu atau dialog, lalu menuliskan apa yang sudah didengar. Mau tak mau harus mendengarkan ulang berkali-kali untuk bisa menyerap dalam jumlah yang banyak dan tepat. Melalui aktivitas mendengar ini saya berlatih membayangkan berada di dekat dan memandang orang-orang yang sedang bebicara dalam rekaman yang saya putar. Sebuah cara tak langsung untuk membiasakan diri terlibat atau berada dalam suasana komunikasi.

Menulis persis apa yang diucapkan dalam rekaman atau menuliskan dengan bahasa sendiri, tentu saja dalam Bahasa Inggris, adalah tidak mudah pada awalnya. Saat mendengarkan pertamakali, hanya sedikit yang bisa kita tangkap dan kita tuliskan. Tak apalah, karena belajar adalah soal pembiasaan. Jika baru satu kali melakukan, itu artinya belum terbentuk kebiasaan. Tulisan (tangan) dari materi yang saya dengar selanjutnya saya cocokkan dengan naskah rekaman. Dari aktivitas mencocokkan tulisan ini saya belajar dua hal.

Pertama, mencocokkan kebenaran isi yang saya tangkap. Kedua belajar menuangkan tulisan secara benar dari kaidah tata bahasa. Secara tak langsung, proses mencocokkan ini sekaligus menjadi umpan balik (feed back) terus menerus dalam proses pembelajaran yang saja jalani. Kesalahan yang saya buat bisa langsung saya kenali dengan mata kepala saya sendiri, sementara keberhasilan akan menumbuhkan kepercayaan diri bahwa saya semakin bisa “menaklukkan” sulitnya berkomunikasi dalam Bahasa Inggris.

Dari cara yang saya tempuh tersebut, saya merasakan ada kemajuan yang lumayan dari waktu ke waktu, setidaknya dalam proses pembelajaran saya. Saya makin sepakat dengan teori pembelajaran yang mengatakan bahwa makin banyak indera yang kita kerahkan dalam aktivitas belajar, makin optimal hasil pembelajaran yang akan kita dapatkan. Mendengarkan, menuliskan yang saya dengar, melihat tulisan saya dan naskah rekaman, serta mengucapkan apa yang saya tulis melibatkan kombinasi beberapa kemampuan indera saya. Ada pendapat dalam teori belajar yang mengatakan bahwa jumlah yang kita ingat atau kita serap dalam proses belajar bisa mencapai 90% jika dalam proses belajar itu kita melihat, mendengarkan, mengatakan, dan mengerjakannya sekaligus. Jika hanya membaca (melihat) saja, maka yang kita serap hanya 20% saja.

Apakah yang saya dapatkan di bangku sekolah menjadi sia-sia dan tak terpakai? Tidak. Saya tetap memiliki alasan untuk berterima kasih atas pelajaran Bahasa Inggris di sekolah. Pertama, di situlah saya mengenal belajar Bahasa Inggris dan cukup berprestasi dalam nilai pelajaran Bahasa Inggris. Kedua, yang telah saya pelajari di sekolah membantu saya untuk cepat mengenali materi yang sekarang saya pelajari di kelas kursus.  Jadi, saya bisa segera beralih dari aktivitas memahami kata-kata berbahasa Inggris untuk berpindah ke aktivitas menggunakan kata-kata tersebut dalam aktivitas komunikasi nyata. Istilah ilmiahnya transfer of learning.

Itu cerita saya belajar Bahasa Inggris. Bagaimana ceritamu ?

Note: Kisah ini saya dedikasikan untuk sobat saya yang rela kuliah (kembali) S1 Bahasa Inggris setelah menyelesaikan S1 Ekonomi di Indonesia dan S2 Ilmu Sosial di Jepang. Saya salut dengan kegigihan dan ketekunanmu Nak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun