Artian HPL disini adalah aturan yang menindas karena seringkali dalam pemberian HPL tersebut oleh pemangku kewenangan, dilakukan tidak dengan memperhatikan kondisi lahan dan keberadaan masyarakat yang mendiaminya. Di tanah-tanah yang masuk dalam wilayah pemetaan HPL tidak jarang telah terdapat masyarakat yang telah lama hidup dan berkehidupan diatasnya.
Padahal Reforma agraria adalah upaya negara untuk menata ulang struktur agraria Indonesia yang timpang menjadi lebih berkeadilan, mensejahterakan dan berkelanjutan, yang dilakukan secara sistematis, terstruktur serta memiliki kerangka waktu yang jelas. Sedangkan RUU Pertanahan ini mengartikan Reforma Agraria hanya sebatas pada program penataan aset saja seperti dalam pasal terkait Hak Pengelolaan (HPL) tersebut.
Masyarakat Adat Butuh Kepastian Hukum yang Adil
Hutan adat sebagai ladang bertani  hutan dan berburu dalam keberlangsungan hidup  masyarakat lokal terutamanya masyarakat adat menuntut bentuk nyata kepastian hukum sebagai pengakuan dan perlundungan masyarakat adat untuk hak pengelolaan hutan di wilayah adat. Hutan Adat merupakan eksistensi kehidupan masyarakat adat.  Kepastian atas hak masyarakat adat sebagai prasyarat bagi kepastian berusaha di sektor kehutanan.
Bila kita telisik, ketidak-pastian Hak Hukum Masyarakat  telah ada dan pernah memuncak sejak reformasi bergulir dengan jatuhnya rezim Orde baru pada tahun 1998 yang ditandai dengan merebaknya konflik terbuka antara masyarakt lokal, terutama masyarakat adat dengan  perusahaan perusahaan besar/penguasa oligarkhi .
Sejak reformasi mulai berlangsung, proses politik sehat terus menghasilkan perubahan-perubahan mendasar menyangkut relasi kekuasaan antara penyelenggara negara dengan rakyat. Melalui UU 1945 amandemen II atas pengakukan penghormatan dan perlindungan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat sebagai HAM dan kesepakatan politik nasional bahkan Hingga ke peraturan saat ini terkait Hutan adat.
Memang, secara konstitusi Indonesia telah mengakui keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya dan hak atas tanahnya (Hak Ulayat) juga menjadi bagian yang diatur dalam RUU Pertanahan. Namun, aturan-aturan dalam RUU ini bersifat pasif terhadap hak atas tanah masyarakat adat.
Masyarakat adat dituntut harus proaktif dalam hal mendapatkan hak atas tanah adatnya. Pengakuan atas keberadaan masyarakat adat untuk memperoleh hak ulayat harus dikukuhkan oleh instansi pemerintah di berbagai lingkup daerah dan pusat.
Seperti contohnya di Kalimantan Timur, pengakuaan msyarakat adat dan hutan adatnya msih sangat minim dikarenakan proses administrasi dan potensi pemenuhan syarat  masyarakat adat serta informasi belum maksimal sesuai Peraturan Menteri LHK N0. 23/2015 tentang hutan hak dan pasal 6 terkait penetapan hutan adat diantaranya keberadaan masyarakat hukum adat/ha katas ulayat yang telah pemerintah melalui produk hukum daerah.
Hutan Adat Hemaq Beniung adalah hutan adat pertama di Kalimantan Timur yang mendapat pengakiuan negara pada tahun 2017 lalu melalui proses yang sangat panjang. Dimana disana juga ada aktivitas bertani dengan pendekatan sosio kultur dan ekologis. Masyarakat adat Hemaq Beniung bercocok tanam dan berburu dengan tetap menjaga kawasan hutan yang sekarang jadi hutan adat.
Dalam usulan RUU Pertanahan yang Kontradiktif dengan UUPA 1960 adalah tentang ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan pada awal tulisan bahwa RUU Pertanahan menjadikan UUPA sebagai landasannya. Menjadikan tujuan UUPA pula dalam membuat aturan-aturan yang tertuang didalamnya.