"Samarinda berasal dari kata Sama Rendah, permukaan daratan Samarinda sama tinggi dengan permukaan sungainya. Â Ini menjadi penanda kesadaran hidrologi dan geologi bahwa Samarinda adalah Kota Basah" Â oleh Fitriyani Sinaga
Fitriyani Sinaga dan Anak Sekolah Sungai sedang Shooting TVRI Nasional di Sungai Karang Mumus
Sebagai Ibukota Kalimantan Timur, Samarinda adalah kota penghubung bagi kota dan kabupaten lain di Kalimantan Timur. Sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi, Samarinda berkembang pesat.Â
Sejak lahirnya Samarinda adalah Kota yang berada di kawasan tepian air sungai. Namun dalam pengembangan dan perkembangan wilayah dan kawasan, kebijakan pembangunannya tidak mempertimbangkan DAS sebagai penuntun RTRW.
Dan terbukti sepanjang perkembangan sejarah Samarinda modern, sungai kemudian menjadi salah satu masalah utama. Karang Mumus misalnya sejak 20 tahunan lalu selalu menjadi perbincangan. Di mulai dari intervensi pertama lewat program prokasih, yang berlanjut dengan normalisasi dalam bentuk relokasi warga dan pembangunan sungai.
Meski selalu masuk dalam prioritas pembangunan namun Sungai Karang Mumus justru semakin hari semakin buruk kualitas dan kesehatannya. Dari sisi ruang dan lahan, pengunaan ruang dan lahan pada DAS Karang Mumus tidak berkesesuaian. Pada bagian hulu yang seharusnya berfungsi sebagai area tangkapan air dan peresapan, penggunaan terbesar justru untuk kawasan pertambangan batubara.
Pada bagian tengah, ruang dan lahan dikonversi menjadi permukiman dan pertanian/perladangan lahan kering serta terbuka. Sementara pada bagian hilir lebih banyak untuk permukiman dan ruang usaha.
DAS seharusnya dilindungi oleh hutan minimal 30% dari luas wilayahnya. Namun Samarinda adalah salah satu kota yang berada di provinsi yang dikenal sebagai salah satu pemilik hutan tropis terluas, namun ternyata tak punya hutan kota yang cukup.
Luas hutan di Kota Samarinda tidak lebih dari 1% luas wilayahnya. Kondisi ini semakin diperparah dengan maraknya konversi rawa menjadi daratan. Tak heran jika kemudian Kota Samarinda yang sejatinya merupakan Kota Air kini menjadi Kota Banjir.
Permasalahan di DAS Karang Mumus dan ruang sungai sepanjang alirannya menyebabkan sungai ini menjadi dangkal, menyempit, tercemar oleh aneka limbah dan sampah, serta kehilangan keanekaragaman hayatinya, berupa flora dan fauna, baik di zona perairan, zona amphibi maupun zona kering.