Mahasiswa tinggi besar dan berkulit gelap memasuki ruang konseling didampingi keluarganya. Setelah saya tanya keluhannya, klien bernama ABC itu langsung berkata lugas, "Telingaku bising banget. Kayak ada suara mesin di dalamnya". Ibunya menambahkan kalau keluhan itu sudah lama berlangsung.Â
Menurut ABC, di dalam telinganya terus menerus berbunyi. Seperti bunyi nging..nging.. dan tidak bisa dihentikan. Tidak ada suara lain. Tidak ada suara-suara orang, tidak ada suara obrolan orang, hanya seperti mesin berdenging.
ABC menambahkan kalau dia tidak bisa konsentrasi belajar, sakit kepala dan tidak bisa tidur nyenyak menyebabkan semua aktivitasnya terganggu.Â
Keluarga lainnya ikut menimpali bahwa ABC sering marah akhir-akhir ini. Ibunya mengakui kalau sebelumnya, ia membawa anaknya ke psikolog, mereka sudah berusaha "mengobati" anaknya ke 'orang pintar'. Menurut 'orang pintar' itu, anaknya diikuti jin. Mereka diminta untuk lakukan ritual tertentu.
"Jinnya yang ngikutin itu sapa namanya, Bu?", tanya saya sambil senyum lebar. Ibunya ABC tertawa dan berkata, "Nggak ada namanya, Bu.. hahaha..", Si ABC hanya nyengir.
Saya menatap ke ABC dan tanya langsung, "Berapa lama Mas ABC pakai headset?"
Sebelum dia menjawab, keluarganya menimpali dengan kompak, "Tiap hariiii..."
Rupanya kebiasaan itu menjengkelkan bagi anggota keluarganya karena dia menjadi kurang peduli pada mereka.
Ternyata memang ABC punya kebiasaan menggunakan headset seharian penuh, hanya dilepas ketika mandi dan tidur. Bahkan di kamar mandi pun ia masih pakai headset.
Kebiasaan ini sudah berlangsung lama, kurang lebih 1 tahunan. Setelah wawancara klinis selesai dalam waktu singkat, saya rujuk klien ke THT.Â
Keluhan klien adalah keluhan fisik dan harus diprioritaskan untuk pengobatannya dulu. Konseling terhadap permasalahan psikologis merupakan agenda sesi berikutnya.
Beberapa hari kemudian klien kembali ke saya. Diagnosis dari THT adalah gejala tinnitus. Mereka senang sekali karena masalah anaknya bisa diselesaikan dan murni masalah fisik, bukan diikuti jin atau anaknya menjadi 'gila' (karena marah-marah).Â
Hanya dengan obat dari dokter THT selama 1 minggu yang diminum rutin, keluhan telinga bising berkurang. Tidurnya nyenyak, sakit kepalanya berkurang dan ABC lebih ramah.
Apa itu Tinnitus?
Bahasan tentang pengaruh sakit fisik terhadap aspek psikologis terdapat dalam cabang ilmu Clinical Health Psychology. Cabang ini menyenangkan untuk dipelajari dan didalami.Â
Dalam buku Handbook of Clinical Health Psychology (Llewelyn & Kennedy, 2003), tinnitus adalah gangguan telinga yang gejalanya telinga berdenging atau bising.Â
Kata tinnitus berasal dari bahasa Latin, yaitu tinnire (berdering). Definisi tinnitus secara medis dan modern dirumuskan oleh McFadden, yaitu tinnitus is the conscious expression of a sound that originates in an involuntary manner in the head of its owner, or may appear to him to do so. Definisi tersebut digunakan secara meluas hingga kini.
Tinnitus bukanlah penyakit fisik, melainkan gejala dari penyakit lainnya. Orang yang mengalami tinnitus seolah-olah mendengar bunyi, sensasi bunyi di dalam telinga meskipun tidak ada sumber suara aslinya. Sensasi ini bisa muncul hanya pada salah satu telinga atau keduanya.Â
Dalam kasus klien ABC, sensasi bisingnya terdapat pada kedua telinga. Penyebab tinnitus bermacam-macam, mulai dari penyakit fisik hingga ke kebiasaan yang salah.
Aspek Psikologis dari Tinnitus
Meskipun tinnitus bukan permasalahan psikologis, namun berdampak pada penderitanya mulai dari keluhan ringan hingga depresi.Â
Beberapa kondisi psikologis yang dapat terjadi a.l gangguan tidur, gangguan emosional, masalah konsentrasi, dan sensitif terhadap stimulus auditori lainnya.
Gangguan siklus tidur umumnya berupa perubahan pola tidur, kualitas tidur buruk, dan insomnia. Gangguan emosional yang kerap terjadi adalah pemarah, mudah tersinggung, paranoia (merasa orang lain membicarakan dirinya), cemas, gelisah tanpa tahu penyebabnya, dan depresi. Sedangkan masalah konsentrasi muncul ketika mereka harus mengerjakan tugas atau pekerjaan seperti biasanya tapi mereka membutuhkan waktu lama dan tidak mampu menyelesaikannya.Â
Sensitif terhadap stimulus auditori lainnya terjadi ketika ada suara lain. Mereka tidak bisa mendengar kalau suara lain lebih rendah volumenya daripada suara berdenging di dalam telinganya.
Dalam kasus klien ABC, semua gejala dan dampak dari tinnitus dialami. ABC mudah marah karena dia merasa keluarganya tidak suka padanya.Â
Mereka sering membicarakan dirinya. Dia juga merasa keluarganya tidak peduli dan tidak ada yang percaya padanya kalau telinganya bising.Â
ABC tidak bisa tidur nyenyak karena telinganya berbunyi terus menerus. Supaya tidak bunyi, ia menggunakan headset dan menyetel lagu yang lebih keras daripada sensasi bisingnya. Tentu saja cara ini memperparah kondisi dan kualitas pendengarannya.Â
Pada tinnitus, organ cochlea di dalam telinga yang bermasalah dan stimulasi tanpa henti semacam itu akan membuat kondisi semakin buruk.
Sebagai mahasiswa, ABC juga tidak mampu menyelesaikan tugas kuliah. Dengan adanya kuliah online, dia makin kesulitan. Kalau dia tidak pakai headset, dia tidak bisa konsentrasi.Â
Kalau pakai headset, suara bising itu seperti bertambah keras. Ia juga mengalami konflik dengan anggota keluarga lain karena kadang-kadang ia mendengar saudaranya berteriak, padahal saudaranya sedang berada di ruangan lain.Â
Keluhan ini bisa disalahmaknai sebagai halusinasi auditorik, padahal ini merupakan gejala sensitif terhadap stimulus auditoris.
Intervensi Psikologi dalam Kasus Tinnitus
Sebelum memilih teknik intervensi, perlu diketahui lebih dahulu penyebab tinnitus. Bila berkaitan dengan problem kesehatan fisik, maka rujukan ke dokter THT diperlukan atau pun dokter terkait lainnya.Â
Setelah pengobatan secara medis dilakukan, biasanya saya sarankan kembali ke saya lagi setelah 2 minggu pengobatan medis tersebut. Dari pengalaman selama ini, kalau pengobatan medis tidak dilakukan intensif maka intervensi psikologi kurang bermanfaat.
Dalam kasus ABC, gejala bisingnya berkurang signifikan. Saat kembali kontrol, ia lebih tenang, mampu mendengarkan dan tidak menunjukkan kegelisahan.Â
Proses konseling keluarga pun berlangsung lancar. Saya gunakan teknik terapi dasar dan berakhir dengan saling meminta maaf dalam suasana menyenangkan. ABC minta maaf pada ibu dan saudaranya. Begitu pula saudaranya. Psikolognya lega.
Semoga sharing ini bermanfaat.
Referensi:Â Llewelyn, S., Kennedy, P., 2003. Handbook of Clinical Health Psychology. USA: John Wiley and Sons.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H