Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Kapan Nikah?", Penyebab Stres Sepanjang Masa

3 Juni 2019   00:09 Diperbarui: 3 Juni 2019   08:49 1324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: http://kapankamunikah.com

Dua cewek ngobrol di toilet mal. Cewek berambut pendek mengeluh ke temannya. Rupanya masalahnya cukup serius, menilik nada suara dan pilihan kata-katanya. Dia jengkel sekaligus bingung apakah Lebaran ini pulang kampung atau tidak. Inginnya sih pulang, tapi pertanyaan keluarga besar yang tidak sanggup dia hadapi.

Menginjak usianya hampir kepala 3, dia selalu ditanya kapan menikah. Ditanya juga kerja di mana dan berapa gajinya. Kalau sudah dijawab, keluarga besarnya akan beramai-ramai mencarikan jodoh untuknya. 

Pertanyaan kapan menikah ini rupanya memang momok sepanjang masa ya? Yang tanya nggak bosan, yang ditanya jadi stres dan malas berkumpul bersama keluarga. Bertebaran juga meme soal ini. Bahkan ada yang ngajari kalau ditanya kapan nikah, tanya balik: kapan meninggal, kapan kurus, dan seterusnya. Seru sih... tapi bikin masalah baru. Ya nggak? Dicoret dari KK, dikurangi jatah warisannya, dikutuk jadi kodok.. hehehe... 

Kenapa Stres?
Kalau ditanya gitu, rata-rata jawabannya: "Ya karena pertanyaan itu bikin mules.. bikin bete. Nggak semangat." Yaaa.. itu benar. Tapi kenapa bete ditanyain gitu? Mungkin Anda menjawab: "Karena itu bukan urusan mereka. Ngerasa terganggu ditanyain sesuatu yang bukan urusan mereka." Tepat sekali! 

Kalau sudah tahu masalah kapan nikah itu bukan urusan mereka, lha kenapa masih stres? Masih senewen? Ngerasa bete? Bingung dengan pertanyaan saya? 

Maksudnya kalau Anda udah tahu bahwa persoalan menikah itu adalah urusan Anda pribadi, kenapa jadi jengkel kalo ada yang nanya? Ya, bisa jadi Anda akan jawab: "Karena dengan pertanyaan itu, saya ngerasa nggak nyaman". Ya nggak? 

Lalu kenapa ngerasa nggak nyaman? Yaaa... ditanya lagi. Jangan emosi dulu. Pertanyaan demi pertanyaan ini penting dijawab supaya tahu kenapa stres. Kenapa pertanyaan "kapan nikah" itu bikin stres dan orang cenderung menghindari pertemuan keluarga gara-gara itu. 

Oke balik lagi ke pertanyaan saya. Kenapa ngerasa nggak nyaman? Ayooo.. jawabnya jujur lho ya. Lagi puasa.. nggak boleh bohong.. hahaha.. 

Tahu nggak kenapa? Karena pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sering Anda tanyakan pada diri Anda sendiri. Dan Anda sedang frustrasi karena nggak tahu jawabannya. Anda meletakkan diri Anda dalam pusaran harapan sosial bahwa pada usia-usia tertentu, orang harus sudah menikah.

Anda setuju sepenuhnya dengan hal itu, secara bawah sadar tentunya. Makanya Anda senewen kalau pertanyaan "kapan nikah" itu disuarakan keras-keras oleh orang lain, sebab Anda sudah menyimpannya erat-erat dalam lubuk hati terdalam. Anda serasa ditampar. Tertohok. Nggak percaya?

Buktinya ketika disodorkan pertanyaan itu, Anda sibuk menangkis dengan berbagai jawaban terbaik yang sudah disiapkan. Anda sudah mengumpulkan berbagai jawaban jitu untuk melumpuhkan serangan pertanyaan itu. 

Bukan hanya jawaban yang dipersiapkan, tapi Anda sudah ancang-ancang.. Nanti kalau ketemu Bibi A, aku akan... Kalau ketemu Bibi B, aku akan... dan seterusnya. Macam pendekar pasang kuda-kuda... hehe... Kalau pertanyaan itu bukan menohok sanubari Anda, kenapa pasang strategi untuk menghalaunya? 

Ubah Mindset
Jadi sodara-sodara yang konflik en stres sampai nunda-nunda beli tiket pulang kampung, ubah mindset Anda dulu. Katakan pada diri Anda bahwa tuntutan dan harapan dari lingkungan sosial itu memang ada dan bukan berlaku umum untuk semua orang.

Ingat ya. Setiap orang punya garis start dan finishnya masing-masing. Ada yang mulai bekerja saat SMA, tapi ada yang baru bekerja setelah usia 40 tahun karena suaminya meninggal. 

Ada yang sudah pernah ke luar negeri saat usia 5 tahun, tapi ada juga yang baru pertama kali ke luar negeri saat usia 70 tahun. Itu baru garis mulainya. Ada yang melahirkan anak usia 19 tahun, tapi ada juga saat usia 30 tahun. So? 

Tiap orang punya garis mulai dan akhirnya sendiri. Ada orang yang menikah usia 20 tahun, atau 30 tahun atau bahkan 40 tahun. Apa masalahnya? Tiap orang juga punya garis akhirnya masing-masing. 

Ada yang pensiun dini di usia 35 tahun lalu memulai usaha sendiri, ada yang tamat S1 saat usia 40 tahun, ada juga yang meninggal usia 17 tahun. Anda pasti bisa menyebutkan fenomena lainnya. 

Setiap orang punya garis start dan finishnya masing-masing.

Orang-orang biasanya mengatakan bahwa menikah terlalu lama akan berisiko kehamilannya. Nanti anaknya cacat, nanti kehamilannya bermasalah, nanti suaminya keburu meninggal padahal anaknya masih bayi, dan sebagainya. Ya khan? Pertimbangan-pertimbangan itu benar, tapi kenyataannya tidak selalu begitu. Dunia kedokteran sudah makin canggih saat ini.

Sistem kekeluargaan juga mengalami perubahan. Ngapain takut untuk sesuatu yang bahkan belum terjadi? Lagian siapa yang mengatakan kalau menikah itu harus punya anak? Emang yakin kalau sudah menikah itu pasti punya anak? Pasti mampu menghasilkan anak? Kalau menikah sesuai usia harapan sosial, lalu istri tidak bisa hamil karena beberapa masalah, apakah pernikahan itu gagal? Ya tentu saja tidak. 

Paradigma kedua yang perlu Anda sesuaikan adalah rasa berharga dan kebermaknaan hidup. Janganlah beranggapan bahwa kalau belum menikah di usia tertentu itu mencerminkan pribadi yang "tidak normal", tidak berharga, tidak layak untuk dicintai, dan seterusnya. Anggapan diri semacam itu bikin Anda sendiri ilfil. Ngerasa nelangsa sampe tulang sumsum. Sampai ingin pindah ke planet lain.

Ukuran diri berharga atau tidak bukanlah karena ada pasangan yang mau menikahi Anda. Tapi pada bagaimana Anda memperlakukan diri Anda sendiri. Bagaimana Anda memenuhi tujuan hidup yang Anda miliki lalu hidup akan bermakna. Semakin Anda merasa perlu dikasihani, makin stres Anda rasakan kalau ditanyain kapan nikah. Mau? 

Fokus pada Penanya
Kalau sudah tahu bahwa pertanyaan "kapan nikah" itu bukan urusan mereka dan Anda sudah mengubah mindset seperti di atas, maka Anda bisa berubah fokus. Jangan lagi fokus pada diri sendiri seperti dulu. 

Fokuslah pada mereka. Pada para penanya itu. Kembalikan pertanyaan mereka dengan pertanyaan lagi. Tidak perlu sibuk menangkis, mempersiapkan jawaban sampai nggak tidur (macam bikin contekan ujian aja), dan sejumlah jurus anti-baper lainnya. Santai saja. 

Fokus pada penanya itu jauh lebih menyenangkan. Itu teknik cepat untuk membuat pertanyaan berubah haluan. Anda perhatikan baik-baik si penanya. Lalu kembalikan pertanyaan mereka pada diri mereka sendiri. Misalnya nih.. 

"Halo Cinta, kamu udah nikah belom?" tanya Bibi A. Mulai deh.. gitu batin Anda. Ingat ya, fokus pada penanya. Dalam hal ini si Bibi A sudah menikah, anak-anaknya juga. Cucunya 1 orang, usia 3 tahun dan dititipkan sama Bibi A karena kedua orangtuanya kerja. 

"Penting banget soal itu ya, Tante?" tanya balik. Nggak usah menjawab. Pertanyaan kapan nikah itu bukan tentang Anda, tapi tentang diri mereka sendiri sebenarnya. 

"Ya nggaklah.. Nikah itu khan penting untuk kamu, Cinta. Bukan untuk Tante dong,". Ini alasan klise. Jangan kepancing. 

"Kenapa penting untuk saya, Tante?" tanya balik. Dia yang tanya, dia yang harus kasih alasan kenapa. 

"Lho.. umurmu berapa sekarang? Lihat itu si B udah nikah. Seumuranmu itu.. Anak Tante si C, lebih muda dari kamu itu udah nikah juga. Sekarang udah punya anak.. bla.. bla...". Antara bangga dan miris sebetulnya yang dia rasakan. Yakin deh. Bangga karena anaknya udah "laku" padahal masih muda, dan miris karena dia terpaksa ngurus cucu umur 3 tahun yang super aktif. 

"Ohh.. Jadi saya harus nikah secepatnya supaya bisa nitipkan anak ke Mama saya dan bikin hidup Mama saya menderita karena nggak bisa nikmati masa tuanya seperti yang Tante rasakan? Sepertinya saya nggak tega sama Mama saya, Tante.. Hmmm.. ngomong-ngomong, si C masih punya waktu untuk ngajak Tante jalan-jalan kayak saya ngajak Mama saya jalan-jalan?". Lalu pamit untuk ngambil opor ayam lagi. 

Ada teman bercerita kalau bibinya komentar pedas sekali. Bibinya berkata kurang lebih seperti ini: "Kalau anakku dilamar orang kaya, meski dia masih umur 19 tahun ya tak izinkan menikah. Daripada ditolak trus seperti kamu ini, udah usia 32 tahun belum ada yang mau." 

Sakit hati benar teman saya itu. Saya ajari dia untuk fokus pada bibinya. 

"Beneran Tante? Tante mau ngizinkan anak umur 19 tahun untuk nikah?"

"Iyalah.. apalagi laki-lakinya kaya, sudah punya kerjaan, meski lebih tua ya nggak apa-apa"

"Nikah usia muda sama orang kaya itu cuman ada 2 kemungkinan, Tante. Pertama, anak itu jadi barang dagangan orangtuanya. Kedua, anak itu hamil duluan trus buru-buru nikah. Nah, anak Tante yang mana?"

"Lho.. belum ada yang ngelamar. Tante cuman bilang kalau seandainya ada laki-laki yang ngelamar anakku, ya tak izinkan. Asal kaya.. " 

"Artinya Tante sudah punya feeling kalo anak Tante akan nikah muda dengan 2 kemungkinan itu ya?" 

Teman saya senang sekali dengan tips saya itu. Dia tahu pasti kalau Tantenya akan ngomong lagi soal itu karena anaknya sudah mulai punya pacar. Malah akhirnya dia tidak sabar untuk ketemu Tantenya hanya untuk memastikan dia mampu menangani... hehe... 

Kalau yang tanya itu orangtua Anda, artinya komunikasi di antara kalian nggak bagus. Orangtua belum mengenal anaknya,dan Anda belum sungguh-sungguh kenal mereka. 

Maka langkah pertama adalah perbaiki kualitas komunikasi itu. Pahami mereka, tanpa nada emosi. Ajak mereka melihat kehidupan Anda, pekerjaan Anda, dan tujuan-tujuan Anda. Dengan demikian mereka akan mendukung Anda ketika ada orang-orang bertanya melulu tentang kapan Anda nikah. 

Kalau Anda fokus pada penanya, Anda tidak akan kehilangan momen-momen membahagiakan berkumpul bersama keluarga. Anda bisa tetap ceria dan pulang dari pertemuan dengan rasa puas pada diri sendiri. 

Anda akan merasa bahagia karena "menang" terhadap diri sendiri. Ya, Anda menang dari kondisi emosional yang berpotensi merusak suasana pertemuan keluarga. Bukankah hal itu bagus? 

Segini dulu. Semoga mudik kali ini bukan menakutkan tapi menyenangkan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun