Bermula dari Program Kitabisa yang digagas oleh Kompasiana pada tahun 2015, para Kompasianer di Surabaya (Koneks) terlibat aktif dalam membantu kehidupan anak-anak luar biasa ini. Mereka bertiga bernama Tsaqif, Nabila dan Aflah. Ketiga saudara kandung ini berasal dari luar Surabaya. Nasib kurang baiklah yang membawa mereka ke kota tercinta ini.
Latar Belakang Keluarga
Setelah program bantuan lewat Kitabisa tersebut, para anggota Koneks secara sporadis tetap mendukung mereka bertiga. Pada hari Minggu (3/11) kemarin, Mbak Avy (Ketua Koneks) bersedia menemani saya untuk mengantarkan titipan barang dan uang dari teman-teman. Barang kebutuhan pokok 1 dos, baju-baju layak pakai sebanyak 2 dos dan sejumlah uang tunai untuk mereka.
Kedatangan kami berdua disambut oleh Ibu Sri, Nabila, Aflah dan seorang sepupu mereka (yang saya lupa siapa namanya .. ). Ibu Sri adalah bibi kandung terdekat dari keluarga ibunya. Penampilannya sederhana, murah senyum, suaranya lembut.
Beliau mempersilakan kami untuk masuk dan duduk di ruang tamu. Ponakan yang sedari tadi ikut mendengarkan, tiba-tiba duduk di pangkuan Bu Sri. Sementara Nabila dan Aflah duduk di sofa berbeda. Sambil ngobrol dengan Nabila, tampak sekali Aflah manja ke kakaknya. Dia memeluk, lalu bersembunyi di belakang kakak perempuannya. Sementara Tsaqif sedang membantu di masjid.
Tsaqif bersaudara adalah anak yatim piatu. Ayah dan ibunya sudah meninggal dunia. Sang ayah meninggal pada tahun 2011 karena sakit kencing manis. Ibunya menyusul kepergian suaminya pada tahun 2014. Seketika itu juga ketiganya kehilangan panutan hidup.
Tak terbayangkan kesedihan mereka. Kehilangan satu orangtua saja sudah menimbulkan duka mendalam, apalagi dalam waktu tidak terlalu lama mereka harus merelakan kepergian ibunya secara mendadak. Diawali sakit panas, ibunya berobat dan tidak kunjung sembuh. Tidak lama kemudian sang ibu menghembuskan nafas terakhir disaksikan ketiga buah hatinya.
Untunglah ada Bu Sri, adik kandung ibunya yang segera memboyong mereka ke Surabaya. Ibu Sri sendiri bukanlah wanita yang berkecukupan. Hidupnya sederhana. Rumah yang ditempati adalah milik keluarga besar. Panggilan naluri sebagai bibi yang mendorong Bu Sri memboyong para keponakan tercinta. Sejak mereka kecil, Bu Sri sudah sering mengasuh ketiganya bila mereka berlibur ke Surabaya.
Bu Sri sendiri tidak menikah. Hidupnya diberikan untuk membantu kakak-kakaknya. Sebelum mengasuh Tsaqif bersaudara, Bu Sri pernah mengasuh keponakan lain yang juga yatim piatu, namun sekarang keponakan-keponakan itu sudah mandiri. Sehari-hari kesibukan Bu Sri mengasuh para keponakannya. Sementara kakak-kakaknya bekerja, anak-anak mereka diasuh oleh Bu Sri. Bisa dibayangkan suasana rumah yang tidak pernah sepi dari canda tawa anak-anak dan tentu saja.. keributan khas anak-anak!
Bu Sri tidak bekerja di luar rumah, hanya ada dagangan gas LPG 3 kg yang tampak berderet di ruang tamu. Untuk memenuhi kebutuhan Tsaqif bersaudara, Bu Sri mengandalkan bantuan dari para saudara kandung lainnya serta bantuan dari donatur tidak tetap. Kebutuhan anak-anak tersebut selain kebutuhan sandang pangan, juga pendidikan.
Ternyata Bu Sri berpikir jauh ke depan. Ia membuka tabungan atas nama masing-masing anak di Bank BRI. Setiap kali ada rejeki atau donasi dari donatur, dana itu langsung ditransfer ke rekening masing-masing. “Kalau saya tidak ada nanti, anak-anak ini tetap punya uang untuk hidup mereka,” ungkapnya sambil memberikan 3 buku tabungan. Sekilas saya lihat saldo akhir untuk masing-masing anak. Jumlahnya sedikit sekali. Bila digunakan untuk membeli beras 10 kg @10.000, mereka bisa membeli 10 kali. Uang hasil sumbangsih teman-teman saya titipkan ke Bu Sri untuk dimasukkan ke masing-masing tabungan mereka dengan jumlah yang sama. Sisanya saya berikan tunai untuk kebutuhan sehari-hari mereka dalam masa liburan ini.
Kegiatan anak-anak ini selalu berada dalam pengawasan Bu Sri. Ia mendampingi Nabila dan Aflah belajar, sedangkan terhadap Tsaqif tidak lagi seperti dulu. "Dia sering main HP," lapor Bu Sri pada kami berdua. Ya, anak remaja seusia Tsaqif memang membutuhkan model pendampingan berbeda. Saat ini Tsaqif sudah duduk di kelas 1 SMK Alat Berat, Nabila kelas 2 SMP, dan Aflah kelas 4 SD. Memang tidak ada SPP untuk ketiganya tapi kebutuhan sekolah lainnya cukup banyak.
Salah satu hal positif dari mereka adalah kemandirian. Hidup mengajarkan mereka untuk berani melakukan segalanya sendiri. Tsaqif berangkat sekolah naik sepeda dengan jarak kurang lebih 2 km. Nabila dan Aflah juga menggunakan sepeda untuk pergi ke sekolah. Hanya kadang-kadang saja mereka diantarkan naik motor oleh pamannya. Kalau Aflah tidak mengerti materi pelajaran, maka Nabila yang membantu adiknya. Sejak tahun 2015 hingga kini, prestasi akademik mereka termasuk cukup bagus.
Untuk menunjang pelajaran, mereka mengikuti les pelajaran di luar sekolah. Tsaqif les Fisika dan Matematika dengan biaya 120 ribu/bulan, Nabila mengikuti les Matematika dan Fisika dengan biaya 70 ribu/bulan dan Aflah les dengan biaya 50 ribu/bulan. Rata-rata jadwal lesnya seminggu 3 kali pertemuan. Tanpa disuruh, mereka selalu berinisiatif berangkat sendiri ke tempat les.
Sebagai anak tertua, Tsaqif harus bertanggungjawab terhadap kedua adiknya. Hal ini dia buktikan semenjak kedua orangtuanya tiada, ia aktif mengajak adik-adiknya rajin beribadah ke masjid dekat rumah. Bahkan Tsaqif tergabung dalam remaja masjid. Mereka bertiga juga aktif belajar mengaji di sana. Tidak pernah sekalipun Tsaqif mengajak adik-adiknya untuk meninggalkan Tuhan atau melakukan perilaku buruk lainnya. Bu Sri menguatkan hal ini. Selama mengasuh ketiganya, Bu Sri hampir tidak pernah mengalami kesulitan.
Kerukunan tampak sekali pada ketiga kakak beradik ini. "Kalau yang satu belum pulang, saudaranya bingung, Bu. Pasti dicariin," cerita Bu Sri. Mereka juga tidak pernah bertengkar. Yaa ... hanya beda pendapat selayaknya anak-anak.
"Kalau ketiganya ngumpul, mereka senang sekali. Guyon terus. Kayak lupa kalau orangtuanya sudah meninggal," tambah Bu Sri sambil berkaca-kaca matanya. Saya sendiri mengamati mereka memang saudara yang saling menyayangi satu sama lain. Ya, mereka anak-anak baik yang berasal dari didikan orangtua yang baik.
Nabila bercita-cita menjadi guru seperti ibunya. Uniknya dia ingin menjadi guru matematika padahal saat ini dia les matematika. Nabila berharap dia dapat mengajarkan matematika lebih baik sehingga muridnya besok tidak mengalami kesulitan seperti dirinya. Cita-cita mulia ya?
Aflah ingin menjadi koki. Rupanya dia punya hobby makan. Sepanjang pertemuan, dia sudah menghabiskan 16 buah camilan kering abon! Aflah memang bertubuh lebih “subur” daripada saudaranya yang lain. Pipinya gembul. Tidak pernah menolak makanan apapun. Ya, semoga Aflah bisa menjadi koki kelas dunia dan ikut dalam program Master Chef Kids.. hehe..
Kalau Anda membaca tulisan saya ini dan tergerak untuk membantu mereka, hal itu menyenangkan sekali. Mereka memang tidak berkeinginan untuk minta dibantu. Semuanya murni dari keinginan rekan-rekan dan saya. Mereka bukan butuh dikasihani, tapi keputusan positif yang dibuat oleh Tsaqif bersaudara yaitu tetap taat pada agamanya dan tidak pernah berbuat di luar norma, itulah yang harus didukung sepenuhnya.
Keinginan kami hanya satu saat ini : Mereka bertiga tidak boleh putus sekolah. Bila Anda sepakat dengan kami dan ingin menjadi orang yang berperan penting dalam kehidupan ketiganya, kami senang sekali.
Entah masuk akal atau tidak, tapi saya yakin bahwa masa depan mereka sebagian ada di tangan kita semua. Sesuai dengan kemampuan, waktu dan sumber daya yang kita miliki. Setuju?
Penutup
Sekian kisah hidup Tsaqif, Nabila dan Aflah. Bila Anda berminat untuk tahu lebih jauh tentang mereka, silakan hubungi saya.
Semoga apapun yang kita lakukan, sesederhana apapun, berguna bagi hidup mereka dan juga diri kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H