Ternyata Bu Sri berpikir jauh ke depan. Ia membuka tabungan atas nama masing-masing anak di Bank BRI. Setiap kali ada rejeki atau donasi dari donatur, dana itu langsung ditransfer ke rekening masing-masing. “Kalau saya tidak ada nanti, anak-anak ini tetap punya uang untuk hidup mereka,” ungkapnya sambil memberikan 3 buku tabungan. Sekilas saya lihat saldo akhir untuk masing-masing anak. Jumlahnya sedikit sekali. Bila digunakan untuk membeli beras 10 kg @10.000, mereka bisa membeli 10 kali. Uang hasil sumbangsih teman-teman saya titipkan ke Bu Sri untuk dimasukkan ke masing-masing tabungan mereka dengan jumlah yang sama. Sisanya saya berikan tunai untuk kebutuhan sehari-hari mereka dalam masa liburan ini.
Kegiatan anak-anak ini selalu berada dalam pengawasan Bu Sri. Ia mendampingi Nabila dan Aflah belajar, sedangkan terhadap Tsaqif tidak lagi seperti dulu. "Dia sering main HP," lapor Bu Sri pada kami berdua. Ya, anak remaja seusia Tsaqif memang membutuhkan model pendampingan berbeda. Saat ini Tsaqif sudah duduk di kelas 1 SMK Alat Berat, Nabila kelas 2 SMP, dan Aflah kelas 4 SD. Memang tidak ada SPP untuk ketiganya tapi kebutuhan sekolah lainnya cukup banyak.
Salah satu hal positif dari mereka adalah kemandirian. Hidup mengajarkan mereka untuk berani melakukan segalanya sendiri. Tsaqif berangkat sekolah naik sepeda dengan jarak kurang lebih 2 km. Nabila dan Aflah juga menggunakan sepeda untuk pergi ke sekolah. Hanya kadang-kadang saja mereka diantarkan naik motor oleh pamannya. Kalau Aflah tidak mengerti materi pelajaran, maka Nabila yang membantu adiknya. Sejak tahun 2015 hingga kini, prestasi akademik mereka termasuk cukup bagus.
Untuk menunjang pelajaran, mereka mengikuti les pelajaran di luar sekolah. Tsaqif les Fisika dan Matematika dengan biaya 120 ribu/bulan, Nabila mengikuti les Matematika dan Fisika dengan biaya 70 ribu/bulan dan Aflah les dengan biaya 50 ribu/bulan. Rata-rata jadwal lesnya seminggu 3 kali pertemuan. Tanpa disuruh, mereka selalu berinisiatif berangkat sendiri ke tempat les.
Sebagai anak tertua, Tsaqif harus bertanggungjawab terhadap kedua adiknya. Hal ini dia buktikan semenjak kedua orangtuanya tiada, ia aktif mengajak adik-adiknya rajin beribadah ke masjid dekat rumah. Bahkan Tsaqif tergabung dalam remaja masjid. Mereka bertiga juga aktif belajar mengaji di sana. Tidak pernah sekalipun Tsaqif mengajak adik-adiknya untuk meninggalkan Tuhan atau melakukan perilaku buruk lainnya. Bu Sri menguatkan hal ini. Selama mengasuh ketiganya, Bu Sri hampir tidak pernah mengalami kesulitan.
Kerukunan tampak sekali pada ketiga kakak beradik ini. "Kalau yang satu belum pulang, saudaranya bingung, Bu. Pasti dicariin," cerita Bu Sri. Mereka juga tidak pernah bertengkar. Yaa ... hanya beda pendapat selayaknya anak-anak.
"Kalau ketiganya ngumpul, mereka senang sekali. Guyon terus. Kayak lupa kalau orangtuanya sudah meninggal," tambah Bu Sri sambil berkaca-kaca matanya. Saya sendiri mengamati mereka memang saudara yang saling menyayangi satu sama lain. Ya, mereka anak-anak baik yang berasal dari didikan orangtua yang baik.
Nabila bercita-cita menjadi guru seperti ibunya. Uniknya dia ingin menjadi guru matematika padahal saat ini dia les matematika. Nabila berharap dia dapat mengajarkan matematika lebih baik sehingga muridnya besok tidak mengalami kesulitan seperti dirinya. Cita-cita mulia ya?
Aflah ingin menjadi koki. Rupanya dia punya hobby makan. Sepanjang pertemuan, dia sudah menghabiskan 16 buah camilan kering abon! Aflah memang bertubuh lebih “subur” daripada saudaranya yang lain. Pipinya gembul. Tidak pernah menolak makanan apapun. Ya, semoga Aflah bisa menjadi koki kelas dunia dan ikut dalam program Master Chef Kids.. hehe..