Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Masih Ada Orang yang Takut Mengambil Keputusan?

29 Juni 2017   01:21 Diperbarui: 29 Juni 2017   16:27 4028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Crosswalk.com

Contoh kasusnya banyak banget, mulai dari milih makanan sampe ke komitmen dalam relasi. Ditanya pacar, "Kamu mau makan apa?" Jawaban aman : "Terserah kamu aja. Kamu seneng aku juga seneng". Lha kalo pacarnya minta makan sirup hiu yang seporsi harganya setengah juta, apa iya ikutan seneng? Apalagi kalo disuruh bayarin. Yakin seneng? 

Ada klien saya yang kebingungan dengan ulah anaknya. Si anak kalo minta apa aja harus diturutin saat itu juga. Kalo nggak, si anak akan teriak, nendang, trus mukul-mukul. Sekali waktu si anak minta dibeliin HP jam 9 malem. Dengan cara yang sama. Ibunya ketakutan. Keinginan anak dituruti. Orang tua yang takut dengan anaknya karena dia tidak mau mengambil resiko anaknya terluka. Karena dia tidak punya wawasan tentang cara mengasuh anaknya. 

Orang tua takut anaknya "hilang" (minggat, kabur, ngambek, mogok, dsb). Sehingga orangtua memilih untuk tidak mengambil keputusan jelas dan tegas terhadap persoalan. Lebih bersikap sebagai orangtua yang perhatian dan baik hati, padahal dia sedang menjerumuskan anaknya sendiri. 

Contoh lain dalam perusahaan. Atasan yang kurang wawasan, biasanya nggak mau ngambil keputusan. Karena dia tidak tahu apa yang akan terjadi. Paling enak ya cari aman. Nanti kalo salah, dia nggak kena. Tapi kalo ternyata bener, dia akan bilang bahwa dia memang memberikan kepercayaan pada anak buahnya. Nyebelin poll! Ya nggak?

Kasus lain yang lebih super duper menjengkelkan saat pasangan (biasanya suami) nggak berani ngambil keputusan untuk punya 2 pekerjaan atau mulai pekerjaan baru. Sementara si istri udah sibuk aja bercuap-cuap tentang aneka rupa tagihan. Kalo didesak, jawaban suami: "Nanti kalo usaha barunya rugi gimana? Nanti kalo ditipu gimana?" Dst. dst. dst. Dia nggak punya wawasan yang bener dan luas tentang resiko berbisnis. Ditambah males mencari. Klop dah. 

2. Takut Nggak Populer

Orang-orang kayak gini ini bakalan milih cara yang aman aja, ikut apa kata orang banyak, sekalipun dia tahu itu salah. Yang penting orang lain tetap menganggapnya baik, perhatian, penuh kasih sayang, santun, berpihak pada mereka, dan sebagainya deh. Demi mempertahankan citra positif dirinya, dia tidak akan mau ngambil keputusan yang bertentangan dengan orang banyak. 

Dia juga nggak bakalan menjatuhkan lawan dengan tangannya sendiri. Kata orang Suroboyo, "Nabok nyilih tangan". Untuk apa? Ya supaya tetap populer dong. Mereka butuh panggung supaya mereka tetap jadi bintangnya. Nah supaya tetap di atas panggung, mereka harus merendahkan orang lain. Mana ada 2 bintang di atas panggung? 

Kenapa orang takut nggak populer? Karena mereka punya kebutuhan psikologis akan penghargaan. Sejatinya mereka tuh miskin penghargaan. Bahkan dirinya sendiri tidak mampu mencukupi kebutuhan psikologis itu. Mereka mencarinya dari lingkungan sekitarnya. Identitas diri mereka terletak pada penghargaan itu. Kebayang khan kalo mereka kehilangan identitas dirinya? Yup! Betul. Mereka 'kosong'. 

Pengajar yang 'miskin' penghargaan cenderung ngasih nilai mahasiswanya bagus dan bagus banget. Hampir nggak ada yang nggak lulus. Knapa? Kalo dia nggak meluluskan, nanti dia tidak populer. Kalo nggak populer, nggak ada yang menghargai dia sebagai dosen yang baik hati, murah nilai, dan bersahabat dengan mahasiswa. 

Orangtua yang takut nggak populer akan membiarkan anak-anaknya bertindak semaunya demi untuk sebutan : "Orangtuaku itu enak banget. Bebas. Nggak suka ngekang aku, nggak kayak ortu lainnya". Ortu kayak gitu butuh dihargai sebagai ortu yang demokratis (katanya). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun