Publik tersentak dengan usia para pelaku kejahatan seksual. Kok bisa ya, umur segitu, masih kecil sudah berani memperkosa orang? Keheranan karena anggapan umum bahwa anak di bawah umur tidak akan mungkin melakukan kejahatan luar biasa semacam itu. Tapi bagaimana lagi, faktanya sudah terjadi.
Lalu orang beramai mengatakan bahwa saat ini Indonesia sedang krisis moral. Sangat setuju. Pendidikan moral haruslah dikembalikan pada keluarga. Setuju lagi. Memang begitulah harusnya. Orangtua atau figur orangtua yang mengasuh anak-anak pelaku kejahatan seksual itu pastinya hanya bisa menyesali. Mereka tidak cukup membekali anak-anaknya dengan pendidikan akhlak yang baik. Kini mereka menuai hasil (tidak) mendidiknya.
Namun dibalik seruan agar pendidikan karakter (yang didalamnya terdapat muatan nilai-nilai moral) tidak semudah itu dilakukan orangtua. Bagi orangtua yang tinggal di kota, berpendidikan cukup baik, secara finansial cukup mapan (buktinya masih bisa akses FB untuk baca catatan ini), dan juga memiliki komunitas sosial keagamaan, maka pendidikan karakter tidak asing. Mereka mencari cara-cara untuk mendidik anak-anaknya lebih baik. Tetapi bagaimana dengan keluarga yang kondisi ekonomi minim?
Akankah para orangtua tersebut mampu memikirkan bagaimana caranya mendidik karakter anak-anaknya? Kita tidak bisa berkata, “Ya harus bisa dong!”. Kawan, percayalah tidak semudah itu. Ketika para orangtua berekonomi minim tersebut sungguh-sungguh tidak punya uang sepeser pun, padahal tagihan (apapun) sudah jatuh tempo, apakah mereka mampu mengatasi perilaku anak-anaknya? Tidak! Benak mereka dipenuhi berbagai ide untuk mendapatkan uang. Mikir cara ini, mikir cara itu. Semuanya buntu. Akhirnya sakit kepala. Pemarah. Membiarkan anak-anaknya bermain dengan teman-temannya tanpa kontrol. Karena mereka sibuk mencari uang di mana pun, dan dengan cara apapun. Iya kalau kondisi ini hanya terjadi dalam sehari seminggu. Bagaimana bila berhari-hari? Berminggu-minggu? Bertahun-tahun? Sempatkah mereka menanamkan nilai-nilai moral?
Lantas apakah kita bisa menghakimi mereka? Jumlah mereka jauh lebih banyak dari keluarga berada, mapan, berpendidikan baik, dan punya akses informasi lebih luas. Saya teringat kata-kata seorang teman dalam dunia HRD. Kala itu kami berdiskusi tentang implikasi peraturan perusahaan ke karyawan. Katanya, “Kita nggak bisa ngomong peraturan dengan orang yang perutnya lapar”. Hmmm... bener juga. Agak saya ubah sedikit dalam konteks topik tulisan ini. “Kita tidak bisa bicara tentang pendidikan karakter anak dalam keluarga, selama keluarga itu masih lapar”.
Negara Harus Hadir
Pak Jokowi mengatakan hal itu pada suatu momen. Entah kenapa, kata-kata itu tertanam kuat dalam pikiran saya. Ya, negara harus hadir, bukan hanya dalam penegakan hukum, tapi juga dalam keseluruhan sendi kehidupan.
Program pembangunan infraktruktur sedang giat dibangun, penguatan sektor pangan juga dilakukan, pemberantasan mafia digalakkan agar harga bahan pokok lebih stabil. Program kesehatan disediakan. Beasiswa pendidikan pun banyak ditawarkan. Namun dalam keseharian, masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan tetap lapar. Ke mana mereka bisa membawa piring makanannya untuk sekedar bisa makan 1 kali sehari? Ke mana mereka bisa membawa botol susu kosong bayinya tatkala uangnya habis? Ke mana anak-anak kecil dari keluarga amat miskin mendapatkan makan siangnya sepulang sekolah?
Negara punya piranti untuk memberikan makan penduduknya. Dana pastilah ada. Bila tidak ada, negara bisa mengajak kalangan masyarakat berpunya untuk berpartisipasi. Salah satu ide yang terpikir adalah membuka dapur umum selama 6 bulan berturut-turut. Setiap kelurahan di seluruh Indonesia menyediakan makan siang untuk penduduknya. Dari mana makanan itu? Dari sumbangan orang-orang yang lebih beruntung. Anak-anak bisa datang ke sana untuk makan siang bergizi. Ibu-ibu bisa membawa bayinya untuk sekadar mendapatkan susu. Kalau masih ada sisa makanan, mereka bisa membawanya pulang untuk makan malam. Paling tidak, mereka tidak terlalu kepikiran soal hari ini mau makan apa.
Apakah orang-orang yang menyediakan makanan itu lantas berubah status menjadi orang yang perlu diberi bantuan makanan? Menurut saya tidak akan terjadi. Dengan memberi sesuai kemampuan, para donatur makanan ini akan mempunyai taraf kehidupan fisik, psikis, sosial dan spiritual yang lebih baik. Itu kalau mereka bisa memaknai lho ya. Tapi kalau tidak, ya tidak masalah. Para donatur itu juga tidak akan jatuh miskin.
Perubahan Cara Bermasyarakat
Dalam beberapa kasus, kondisi budaya setempat turut pula mempengaruhi perilaku para generasi mudanya. Bagaimana kita bisa menyalahkan mereka? Konformitas lebih kuat dibandingkan pola hidup lainnya. Rekayasa sosial mungkin diperlukan, dan itu wewenang negara melalui lembaga-lembaga terkait. Saya tidak bisa berkomentar banyak soal itu.
Satu hal yang jelas, perubahan cara bermasyarakat perlu diprakarsai oleh pimpinan negara. Tentukan pola hidup yang sesuai dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Kembalikan pendidikan kenegaraan dalam bentuk konkritnya. Tujuan bernegara yang terwujud dalam perilaku bermasyarakat harus dibenahi. Kalau tidak ada panduan pola ciri khas hidup bernegara, maka semua orang akan menentukan pola bermasyarakat sesuai keinginannya. Komunitas-komunitas sosial dan keagamaan menentukan sendiri apa yang terbaik bagi mereka. Tanpa disadari, kondisi semacam itu membuat Indonesia hanya sekadar tempat hidup bersama tanpa adanya ketentuan yang jelas. Indonesia bisa menjadi negara barbar. Tidak ada value (nilai-nilai kehidupan) yang ditanamkan dengan kuat, sistematis dan teruji. Mau ke manakah bangsa ini bertumbuh?