Lalu bagaimanakah nasib pemilik tangan tersebut beserta keluarganya? Cap apa yang akan diberikan pada anak keturunan pemilik tangan tersebut, Pak? Pahlawankah? Ataukah Pembasmi Etnis yang layak dikenang sepanjang masa? Darah kami, kaum yang tidak bersalah (seperti kata Bapak), memang akan kering. Bagaimana pun juga kita semua akan mati. Bedanya cara kita mati, Pak. Darah itu akan dikenang sebagai korban dari kebencian rasial sekelompok orang. Keluarga sedarahnya akan menangis tak henti selama beberapa waktu, namun karena kemiskinan sehingga mereka tidak mungkin lari ke mana pun (seperti yang Bapak bilang), maka mereka tetap akan bekerja, berkeluarga dan meneruskan hidup di Indonesia.
Seandainya Bapak punya waktu untuk merenungkan kembali niat Bapak men-share tweet tersebut, dan terdapat persediaan serba sedikit jiwa patriot dalam diri Bapak, saya yakin Bapak tahu apa yang akan Bapak lakukan. Tengoklah sebentar cuitan balasan dalam twitter Bapak. Apakah sudah ada yang “terbakar” dengan konten tweet Bapak?
Akhir kata, saya teringat kata-kata seorang teman muslim. “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya”, lalu ia melanjutkan, “Sesungguhnya semua manusia dalam keadaan merugi, kecuali yang beriman dan beramal sholeh. Hendaknya kita semua saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran”. Begitu katanya, Pak. Kalau dalam bahasa saya, Pak : Kalau ucapan kita tidak bisa sesejuk embun di pagi hari (bermanfaat), maka jauh lebih baik kita berdiam diri.
Salam Sejahtera untuk Bapak Dubes yang Terhormat,
Sidoarjo, akhir Maret 2016
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI