[caption caption="Membangun Karakter Bangsa"][/caption]
Menarik mengamati fenomena sosial akhir-akhir ini. Utamanya dunia seputar media sosial. Hampir semua kejadian di mana pun pastilah termuat dalam media sosial. Mulai dari penyanyi yang tidak tahu tentang lambang negara, percakapan cadas antara Gubernur DKI dengan Najwa Shihab, kunjungan Presiden ke Hambalang sebagai jawaban telak dari ocehan mantan presiden yang gemar sekali bilang “jaman saya dulu”, hasutan balon cagub DKI tentang pemimpin yang tidak beretnis dan beragama tertentu, gusuran tempat ibadah, sweeping ormas (ngakunya) beragama terhadap kepala daerah, dan masih banyak lagi. Tidak kalah ramai silang pendapat para menteri yang terungkap ke publik.
Wuihh... Alangkah meriahnya negeriku, Indonesia. Saya membayangkan, betapa melelahkannya bila kita, sebagai rakyat biasa, tiap hari mengikuti tingkah polah para pemimpin di negeri ini. Pun juga tingkah para netizen yang tanpa filter mengumbar umpatan, makian bahkan gambar-gambar melecehkan pimpinan di media sosial. Berita-berita positif, semisal prestasi olahraga, kenaikan devisa, keberhasilan panen di tengah musim hujan, dan sebagainya, tak terdengar gaungnya. Apa karena tidak ada atau memang tidak bernilai jual sehingga berita semacam itu tidak mampu bersaing dalam media-media yang ada? Entahlah.
Kilasan peristiwa-peristiwa yang saya sebutkan di awal tadi memunculkan lintasan kalimat dalam benak saya, ‘Bangsa ini sedang bertumbuh tanpa tujuan yang jelas’. Ya! Tanpa tujuan nilai-nilai perilaku. Bila ada konsep revolusi mental, maka saya belum melihat aplikasi nyatanya. Mungkin memang diperlukan tangan besi untuk melakukan revolusi mental. Bukan dengan pendekatan humanis, tapi ketegasan yang dibalut dengan nada otoriter. Katanya kita harus bisa menikmati buah dari demokrasi. Namun menurut saya jauh lebih penting konsep demokrasi yang membawa bangsa ini pada keluhuran nilai. Apalah artinya bisa bebas mengemukakan pendapat atas nama demokrasi (freedom of speech) bila hal itu tidak membawa kebaikan baik bagi penyuaranya maupun pendengarnya?
Kalau ditanya dengan satu kalimat sederhana, “Orang Indonesia itu kayak apa sih?”. Dulu mungkin jawabannya gampang yaitu ramah, suka menolong, senang gotong royong (sampai ada rumah sakit bernama demikian di Surabaya) dan sebagainya. Maka saat ini agak sulit menjawab dengan pasti pertanyaan itu. Jawaban bagus pastilah ingin diberikan, namun secepat itu sanggahan muncul dalam benak. Mari kita lihat satu persatu.
Orang Indonesia itu ramah. Sanggahan secepat kilat muncul tak terucap : tapi di medsos banyak juga sih yang maki-maki orang lain, bahkan Presiden RI dimaki pula. Kalau bulan puasa tiba, selain perasaan senang bagi yang menjalankan, ada pula perasaan was was di beberapa kalangan karena takut gerombolan (pengaku) penganut agama tertentu melakukan sweeping gila-gilaan. Jadi, ramah yang bagaimana? Dan di mana?
Orang Indonesia itu orangnya jujur. Bisa dipercaya. Kernyitan alis akan muncul seiring gambaran peristiwa tertangkap tangan oleh KPK seorang pejabat tinggi negara, baju orange dipakai oleh si A, B, C, dst, pungli di kuburan (di negeri ini mati pun tidak tenang), revisi UU KPK, dan koar-koar para pemerhati tentang calon-calon pejabat/mantan yang layak dijadikan tersangka korupsi.
Orang Indonesia itu adalah insan beragama. Terbukti dari jumlah pemeluk agama dan banyaknya tempat ibadah dibangun di negeri ini. Hmm... Bila sungguh-sungguh beragama, mendalami ajaran agama masing-masing, maka para pemeluk agama itu akan menyadari bahwa hidup berdampingan tanpa saling menghancurkan/membunuh/menghasut adalah esensi dari ajaran agamanya. Inti ajaran agamanya tentu saja tidak mengajarkan “hancurkan orang lain agar engkau masuk Surga”. Saya lupa siapa yang berkata bahwa orang beragama belum tentu ber-Tuhan. Ya, terdapat perbedaan antara beragama dan memiliki kehidupan spiritualitas. Bila orang-orang yang mencantumkan agama pada KTP-nya sungguh-sungguh mencantumkan agamanya pada pikiran-hati-tindakannya, maka mereka akan menyadari betul bahwa Tuhan senang dengan keberagaman.
Sejak semula perbedaan memang diciptakan-Nya. Kalau tidak, maka gunung-gunung akan sama tingginya, laut sama dalamnya, wajah manusia akan serupa di seluruh dunia, ritual agama akan sama, warna daun hijau pun akan sama. Lalu siapakah manusia yang berani meniadakan perbedaan dan keberagaman itu atas nama agama yang dianutnya? Bukankah dengan demikian ia menggugat Allah yang Maha Kuasa?
Menurut saya, bangsa ini perlu punya patokan pertumbuhan psikologis dan spiritual yang jelas. Character building mungkin lebih tepat. Dan hal itu berlaku sama di seluruh pelosok negeri. Susah pastinya, komentar para pesimis. Kita khan diciptakan dengan kehendak bebas, kata penganut aliran individualis. Ya, saya setuju. Namun perlu diingat bahwa sejatinya manusia diciptakan bukan untuk berbuat sebebas-bebasnya. Justru dalam kebebasan absolut terletak ketidakbebasan. Maka manusia perlu batasan norma dan nilai akan tercapai kebebasan bertumbuh dan bermakna.
Saya mendambakan sebuah masyarakat yang sejahtera fisik, psikis dan spiritual. Tidak muluk-muluk. Hanya satu contoh sederhana. Orang Indonesia itu punya integritas. Saya bisa bangga katakan hal itu pada orang luar yang bertanya. Saya akan katakan, “Kalian bisa mengandalkan orang-orang Indonesia. Mereka adalah orang dengan integritas. Apa yang mereka katakan, itulah yang mereka lakukan”. Kapankah?
“Jangan kuatir kehilangan barang bila Anda berada di Indonesia. Di mana pun. Jangankan mobil, HP pun akan tetap ditempatnya bila Anda lupa membawanya”. Apakah kita bisa mengatakan itu? Mungkin sebagian besar dari Anda akan menggelengkan kepala dan berkata, “No way. Nggak mungkin bangetlah”. Lalu Anda akan membeberkan sejumlah faktor yang membuatnya tidak mungkin, antara lain tingkat kemiskinan, harga bbm yang masih naik turun, banyaknya jumlah penduduk Indonesia, bervariasinya jenis didikan, dan hal lain. Intinya, ide itu absurd kalau diterapkan di Indonesia. Pertanyaan saya, sedemikian susahnyakah mengubah mental bangsa ini? Apa iya begitu?
Semustahil apapun upaya membentuk karakter bangsa tetap harus dilakukan dengan cepat, tegas dan sistematis. Tentu saja diiringi dengan perbaikan sistem pemerintahan, kestabilan ekonomi, dan juga perbaikan infrastruktur. Revolusi mental perlu ditegaskan. Negara harus berani memegang kendali pertumbuhan akhlak bangsa. Tidak bisa diserahkan pada orang per orang, keluarga-keluarga, atau lembaga-lembaga yang masing-masing punya kepentingannya sendiri. Kalau negara tidak menentukan karakter bangsa, maka Indonesia hanya berfungsi sebagai tempat tinggal bersama sejumlah orang dengan ketentuan : siapa yang kuat itulah yang berkuasa. Lihat saja sekarang. Orang seakan-akan boleh menghina sesamanya. “Kalau orang kualitas RT jadi Presiden ya begini hasilnya,” ungkap seorang bakal calon (kalau ada yang mau) gubernur DKI. Wuihh.. sombongnya. Merasa kuat dalam disiplin ilmunya, lantas boleh menghina pimpinan tertinggi negara ini? Alangkah lebih elok bila memang keilmuannya sangat kuat, lebih dari ‘pimpinan-kualitas-RT’ itu, ia sumbangkan tanpa suara ke pemerintah sekarang. Toh kalau hasil pemikiran cemerlang gilang gemilangnya berhasil membawa perubahan signifikan, khan anak cucunya sendiri yang akan menikmati juga?
Salah satu sarana yang bisa digunakan adalah pendidikan formal. Dimulai dari jenjang pendidikan paling awal yaitu taman bermain kanak-kanak hingga ke jenjang paling tinggi yaitu S3 (kecuali sudah ada yang setara dengan merk HP yang sudah S7). Hanya melalui pendidikan formal yang bertujuan jelas dan menitikberatkan pada pendidikan karakterlah, akhlak bangsa ini bisa mulai ditemukan bentuknya. Kedua, pemerintah perlu menerapkan gagasan bela negara lebih mantap dan matang. Pendidikan non formal a la militer dengan kurikulum jelas jauh lebih baik daripada sekedar penataran 40 jam tanpa tindakan.
Setiap penduduk di negara ini perlu punya rasa cinta negaranya, perlu punya sense of belonging terhadap lingkungannya, dan hal itu dapat ditumbuhkan dalam pendidikan yang sama. Mengapa takut dengan militerisme? Karena tidak ada keterbukaan. Takut represi seperti jaman dulu? Itulah gunanya disosialisasikan dan transparan. Jiwa patriotisme perlu dimunculkan. Bukan seperti sekarang ini, fenomena lempar batu sembunyi tangan (lebih senang menyalahkan orang lain daripada mengakui kesalahan diri sendiri) lebih diterima sebagai bagian dari karakter bangsa. Misalnya kasus korupsi. Mengapa korupsi? Seorang terdakwa, perempuan cantik, menjawab, “Karena gaji anggota dewan kecil. Masih harus dibagi ke parpol, dsb, dsb”.
Negara perlu bersikap tegas dalam membentuk karakter bangsa. Halangan, pro kontra pasti ada, tapi sejauh program itu lebih banyak manfaatnya dan juga dilandasi dengan dasar kuat, mengapa tidak? Saya yakin masyarakat Indonesia tidak keberatan untuk bersama-sama memiliki karakter luhur, kuat dan benar. Semoga.
Sidoarjo, akhir Maret 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H