Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[MBA] Mereka Bilang Aku... Gila!

25 Februari 2016   11:56 Diperbarui: 25 Februari 2016   12:17 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya!

Mereka bilang gitu. Nggak tahu juga kenapa. Mungkin karena caraku memimpin. Bisa juga karena kata-kata yang sering kuucapkan. Tapi nggak masalah kok. Selama aku yakin bahwa niat dari tindakanku adalah optimalisasi amanah yang kuemban, ya kenapa tidak aku maju terus. Mereka cuman bisa komentar. Mereka nggak tahu betapa busuknya permainan di dalam sini. Baunya aja udah kecium dari teras kantorku.

Kalau aku nggak bertindak gila-gilaan, apa bisa masalah di sini teratasi? Apa bisa maling-maling itu kuberantas? Udah kelamaan mereka ngambilin "makanan" yang bukan hak mereka. Kalau aku nggak bergerak secepat dan segalak itu, gimana bisa kota ini maju? Yaaa.. mungkin memang aku berlebihan sih, aku ngrasa maju tidaknya kota ini sepenuhnya jadi tanggungjawabku. Paling tidak itu yang diajarkan oleh ayahku dulu. Jabatan itu amanat yang kudu dipenuhi sebaik-baiknya.

Mereka bilang aku "gila" gara-gara double minoritasku. Ya agama, ya etnis. Bahkan ada orang dengan etnis yang sama denganku mendadak ketakutan. Woooiii... Emang apa sih yang kalian takutkan? Takut orang-orang akan berbalik memusuhi etnis kita? Lalu bisnis kalian terganggu? Apa nggak kebalik tuh? Kalau aku ikut arus, ikutan bagi-bagi proyek, ikutan cara lama yang bikin kota ini tetap kumuh dan banjir, apa itu nggak bikin tambah runyam? Orang akan berkata, "Kayak gitu lho kalau etnis itu dikasih jabatan! Gendutin kantong sendiri!". Itu yang kalian mau? Ayolah... apa sih sebenernya yang kalian takutkan? Sejak jaman Belanda dulu, banyak kok orang-orang etnis kita yang mati ketembak. Itu tuh si Belanda aja yang bikin jurang pemisah. Dibagi-bagi kelas sosialnya, trus diadu domba.

Mikirr... kata komedian favoritku. Kita hidup di sini, buang nafas di sini, minum air dari tanah ini, ntar mati juga (semoga) di tanah ini. Ngapain nanya soal nasionalisme? Kalau kamu kerja di sini, makan dari bumi ini, udah selayaknya kamu mati-matian belain tempat kamu hidup. Bukan malah ngrusaknya. Sederhana khan? Kalau kamu ngaku pemilik tanah ini, tunjukkin kalau kamu emang pantas dibanding kami yang dianggap pendatang sampe kapan pun. Khan nggak bisa kamu bilang gini, "Ini tanah gue, mau gue apain ya terserah gue dong. Ini uang rakyat gue, mau gue hambur-hamburkan khan nggak masalah..". Mana bisa begitu?

Aku dibilang gila dan berani. Mereka nggak tahu, sesungguhnya aku ngrasa takut. Takut kalau aku nggak berhasil jadi panutan buat anak-anakku. Mereka akan lihat bapaknya, dikasih kesempatan sekali dalam hidupnya untuk jadi pelayan masyarakat berseragam, eh malah pulang dengan nama jelek. Nama jelekku bakalan dibicarakan sampe 7 turunan. Nggak ada lagi rasa bangga pakai nama margaku untuk anak cucuku kelak. Bayangan itu lebih menakutkan daripada teriakan orang-orang yang kuenyahkan proyeknya. Aku nggak bisa membayangkan, dinding rumah keluarga kami berhiaskan silsilah yang hilang. Aku lebih suka silsilah keluarga kami dihiasi anggota keluarga yang tahu diri di mana mereka tinggal dan berbuat maksimal di situ.

Mereka juga nggak tahu kalau aku takut nggak bisa mengaplikasikan nasihat dari orangtuaku. Peran mereka dalam hidupku sungguh besar. Ya, memang ada kemarahan dalam diriku mengingat apa yang telah para pejabat lakukan pada ayahku, tapi boleh dong aku menggunakan kemarahanku sebagai energiku untuk berbuat lebih baik daripada pejabat yang menindas ayahku dulu? Aku juga marah melihat sekelilingku dulu. Teman-temanku begitu miskin. Tapi mereka menerimaku di antara mereka. Aku senang melihat temanku minum air es dari kulkas di rumah. Kemiskinan merenggut masa depan mereka! Haruskah aku diam saja ketika aku punya kesempatan untuk berbuat lebih? Haruskah?

Mereka bilang aku ngawur kalau ngomong. Kasar katanya. Ya, mau gimana lagi. Alam mendidikku seperti itu. Entah mengapa darahku gampang banget naiknya kalau ada ketidakadilan nyerempet telingaku. Spontan aja sih keluar kata-kata yang aku pikir emang pantas disandingkan dengan perilaku mereka. Bukannya aku nggak nyoba berubah, udah kok. Buktinya kapan hari itu, waktu acara dengan anak-anak, eh ada pengurus acara yang nyoba main-main, ya udah aku marah-marah di toilet. Tapi masa tiap kali marah aku mesti ke toilet? Iya kalau toiletnya deket, kalau jauh? Bayar pula.. 

Kayaknya segini dulu aja. Masih banyak kerjaan yang nunggu. Lagian bentar lagi ada acara milih pemimpin di kota ini. Aku mesti kerja lebih keras supaya beberapa proyek selesai sebelum waktu pemilihan. Paling nggak ada jejak karyaku di sana. Nggak pusing mereka mau milih aku lagi atau nggak. Yang jelas, aku kudu mempertahankan tempo kerjaku dan level ketegangan yang udah aku bangun. Kalau aku lembek dikit, wah buyar semua kebijakan dan sistem yang dibangun. So, maap aja, aku kudu jalan dengan kecepatan seperti ini sampe tiba akhirnya nanti.

Makan siang dulu ahhh...

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun