Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Buyut Saya di Ampel juga"

17 Februari 2016   23:42 Diperbarui: 18 Februari 2016   00:16 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Makam Nyi Roro Kindjeng (Mak Tjoa)"][/caption]

Dalam perjalanan menuju tempat seminar tadi siang, sopir taxi cerita banyak hal. Mulai dari pelantikan walikota hingga ke sejarah. Di antara topik itu, dia berucap berapi-api ketidaksukaan (belum sampe pada taraf kebencian menalam hingga ke tulang sumsum kayaknya), terhadap etnis tertentu.

'Waduh.. Bahaya nih', batin saya. Kalau dia sadar saya masuk dalam kelompok etnis yang dia tidak suka, trus gimana dong nasib argo taxi saya.. :P  Secara insting, saya sudah merencanakan tindakan menyelamatkan diri kalau terjadi sesuatu.. Paranoid deh. Ini pasti gara-gara keseringan nonton CSI! Coba kalau saya sering nonton Donald Bebek..

Sementara dia membeberkan sejumlah 'bukti' tentang betapa etnis itu layak dibenci dan penyesalan mengapa Gus Dur memberikan ruang pada mereka, saya katakan kalau Gus Dur khan punya keturunan etnis itu. Bahkan dalam sejarah Wali Sanga pun ada darah etnis tersebut. Wah, langsung aja dia membantah bahwa semua wali keturunan dari Timur Tengah. Ya, saya dengerin aja sambil bergumam, "Hmm...". Mungkin karena mengira penumpangnya buta sejarah, dia makin naik semangatnya untuk cerita sampai ke ekspedisi Cheng Ho segala. Lalu dengan bangganya dia menyebutkan kalau dia masih keturunan Sunan Ampel. Masih sering silahturahmi dengan keluarga besar lainnya di daerah Ampel.

"Lokasi makam di Ampel itu terbagi-bagi ya, Pak?" tanya saya. "Ya, Bu, ada lokasi untuk keluarga, sahabat Sunan... " Dengan detail dia menguraikan lokasi makam dan ritual yang ada di sana.

"Kalau dari jalan raya yang banyak toko kurma itu, setelah pintu masuk, makam-makam sebelah kiri itu lokasinya siapa ya, Pak?" Wow.. dia makin semangat menjelaskan ada siapa saja di sana.

Lalu saya komentari seringan mungkin, "Wah, makam-makam di sana sudah bagus kalau gitu, Pak. Ada buyut saya di sana. Keluarga kami menyebutnya Mak Tjoa". Dueeengg!

Si bapak taxi langsung berhenti ngomong. Saya tahu dia melihat saya dari kaca. Ucapan berikutnya, "Astaghfirullah hal adzim, kita ini bersaudara, Bu! Memang ada makam Tjoa di sana".

Dengan nada lebih pelan, nggak segarang tadi, dia berkata, "Makam Tjoa itu di depan sendiri, Bu, di sebelah kiri". Sepertinya dia kagum, "Makamnya paling depan, Bu. Besar". Saya jawab singkat, "Iya, Pak, saya tahu. Saya pernah ke sana". Saya cerita sedikit dengan nada Lady of Walles (anggun maksudnya) tentang kunjungan ziarah yang pernah keluarga kami lakukan. Makin terdiam deh si bapak.

After that, nggak ada lagi pembicaraan kebencian etnis tadi. The end.

Bahkan dia mengundang saya untuk ikut silahturahmi bulanan keluarga besar Ampel. Well, ajakan menarik.. "Seandainya kita semua bisa seperti Sunan Ampel ya, Pak, yang punya sahabat dari banyak kalangan yang seperti yang Bapak cerita tadi. Ada Arab, Cina, semuanya dimakamkan di sana. Bagus khan?" nyindir nih ceritanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun