Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Seandainya Aku Mengalami Hal itu.."

14 Februari 2016   11:39 Diperbarui: 14 Februari 2016   16:25 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi Personifikasi Pengalaman Negatif Orang Lain"][/caption]"Seandainya aku ngalami hal itu, aku bakalan..." atau

"Kalau aku di sana, aku akan..." atau

"Kalau aku yang ngalami kayak gitu, wah.. aku nggak kira mampu... ".

Ungkapan-ungkapan wajar sebenarnya ya. Hampir tidak bisa dikendalikan kemunculannya. Biasanya orang berkomentar seperti itu ketika melihat peristiwa tidak menyenangkan, misalnya : kecelakaan, bencana, penyakit, penangkapan penjahat, korban kejahatan, dan sebagainya. Intisari dari semua komentar itu adalah mengandaikan diri berada dalam situasi tersebut lalu merencanakan tindakan untuk mengatasinya. Lalu apa yang salah? Bukankah baik mengantisipasi? Itulah masalahnya.

Personifikasi Peristiwa Negatif

Peristiwa tidak menyenangkan memang mengundang simpati bagi pengamatnya. Namun menjadikan peristiwa tersebut menjadi 'milik pribadi' sama dengan mengundang suasana dari peristiwa itu masuk dalam diri sendiri. Menjadikannya sebagai bagian dari naskah kehidupan. Mekanisme ini yang disebut personifikasi peristiwa negatif.

Kalau ada yang pernah membaca buku The Secret, mungkin tahu apa makna personifikasi peristiwa negatif. Dalam buku The Secret dijelaskan bahwa pikiran-pikiran yang kita miliki akan menarik alam semesta untuk muwujudkannya. Rhonda Byrne, penulisnya, menyarankan agar kita selalu berpikir hal-hal yang positif akan berlaku hukum daya tarik (The Law of Attraction). Hampir sama dengan hukum tabur tuai, apapun yang kita lakukan akan kembali ke diri sendiri.

Seorang ibu berbagi pengalamannya saat pelatihan Meaningful Life. Suatu kali dia berada di Jakarta dan terjebak banjir di bandara. Selama 3 hari dia tidak bisa kembali ke Surabaya karena banjir tidak kunjung surut. Alhasil dia harus menginap di bandara selama itu. Dia menceritakan cukup detail pengalamannya, termasuk caranya mempertahankan diri (mandi, sikat gigi, dan sebagainya). Saya bertanya padanya apakah ia pernah mengetahui sebelumnya tentang banjir di Jakarta, khususnya di bandara. Ia menjawab pernah menonton beritanya di TV.

Lalu tanyakan lagi, apakah waktu menonton berita itu, ia melakukan dialog batin yang mengandaikan kalau ia berada dalam situasi tersebut, ia akan melakukan sesuatu? "Iya, Bu. Kok Ibu tahu?" tanyanya heran. Bukan baru kali itu saja saya menemukan bahwa apa yang dialami orang-orang dalam hidupnya adalah hasil program pikiran bawah sadarnya. Mereka tanpa sadar memposisikan diri sebagai pelakon utama dalam peristiwa orang lain, lalu merencanakan tindakan untuk mengatasi persoalan itu.

Sadari dan Bersihkan

Biasanya saya menyarankan agar kita menyadari dulu program apa saja yang kita tanam dalam ingatan kita. Lalu mereview semua peristiwa hidup kita. Bila ada pola berulang, misalnya ditipu berkali-kali, konflik terus menerus dengan banyak orang, menderita penyakit tertentu, dan sebagainya, maka perlu ditelusuri lebih jauh dibalik pola berulang itu adalah paradigma berpikirnya. Saya sendiri pun melakukannya. Cara ini cukup efektif dilakukan secara mandiri, tanpa bantuan profesional.

Berikutnya menjaga diri dari personifikasi peristiwa negatif. Bila menonton berita, mengetahui peristiwa duka, kecelakaan, atau apapun, bersikaplah seperti penonton yang baik. Hanya memandang atau mendengar saja, tanpa memaknai secara personal. Berempati tepatnya. Bukan berarti kita tidak menaruh perhatian pada pengalaman duka orang lain lho ya. Berempati membuat kita lebih objektif dan mampu memilah mana peristiwa yang sungguh kita inginkan.

Membersihkan program bawah sadar yang terlanjur tertanam memang butuh sedikit upaya dan waktu. Kadangkala orang tidak siap karena beberapa alasan. Salah satunya ada keuntungan psikologis (psychological benefit) bila tetap berada dalam situasi negatif. Misalnya sering menderita sakit akan mendapatkan perhatian dari orang lain, berada dalam kemiskinan akan mendatangkan bantuan tanpa henti sehingga tidak perlu bekerja keras, dan seterusnya.

Kita Menjalani Hidup Sesuai Naskah Kehidupan

Naskah kehidupan kita adalah hasil dari apa yang kita pikirkan, rasakan, dan lakukan. Kalau kita tidak mampu membuat naskah kita sendiri, maka orang lain yang akan menuliskannya untuk kita baik dengan sengaja (mengendalikan hidup kita) atau tanpa sengaja (personifikasi peristiwa negatif). Melalui tulisan kecil ini, ijinkan saya untuk mengajak Anda sekali melihat kembali naskah hidup Anda lalu mencoba bersama-sama melakukan perubahan sederhana. Bagaimana? Biasanya sih...Tantangan terbesar akan datang dari diri sendiri, siapkah berubah?

Selamat hari Minggu...

*) Ilustrasi Personifikasi Pengalaman Orang Lain

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun