Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pandangan Terhadap LGBT Berdasarkan Jarak Sosial (2)

13 Februari 2016   13:58 Diperbarui: 16 Februari 2016   08:14 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cara paling mudah ya tidak mencari teman yang perilaku seksualnya berbeda begitu...hehe.. Supaya tidak pusing mikirinnya. Bagaimana kalau ditengah pertemanan dia berubah? Nah itu susah...hahaha... Kebetulan saya memang tidak punya teman yang berbeda perilaku seksualnya.Berteman dengan siapa saja, okay saja buat saya. Namun bersahabat akrab haruslah lebih selektif. Karena saya percaya bahwa lingkaran teman menentukan juga bagaimana kualitas diri kita. Bergaul akrab dan intens dengan para pesimis mau tidak mau kita akan terpengaruh juga. Bergaul dengan para pengkritik dan pendemo (profesi baru : tukang demo), maka kita akan melihat masa depan Pemerintah suram. Entah ya orang lain, yang berpendapat bahwa bergaul dengan siapapun tidak harus membuat dirinya ikut arus. Benar juga, asalkan konsisten dengan konsekuensi dari pergaulan itu.

Kalau ada anggota komunitas, misalnya organisasi remaja, anggota jemaat, yang mengklaim bahwa dia gay atau lesbi atau transgender, bagaimana sikap Anda? Mengapa?

Penolakan/Penerimaan Sebagai Anggota Keluarga/Pasangan Hidup

Ini yang paling berat. Penentuan sikap sepenuhnya subyektif. Saya akan ceritakan dulu kegagalan saya menangani klien yang merasa dirinya gay.

Suatu hari seorang ayah datang berkonsultasi tentang anak laki-lakinya. Singkat cerita, ayah merasa bersalah karena cara mendidiknya terlalu keras sehingga anaknya menjadi 'aneh'. Ketika saya bertemu anaknya, mendengarkan ceritanya, saya sudah merasa bahwa ini bukan kompetensi saya. Niat untuk merefer klien ke psikolog lain ditentang ayahnya. Ia ingin anaknya ditangani dulu apa saja yang bisa saya tangani. Namun makin ke sini saya makin tidak sanggup. Anaknya bersikeras menyakinkan saya dan orangtuanya bahwa dia tidak bisa melepaskan diri dari keinginan punya pacar sesama jenis. Pilihan hidupnya berbeda sekali dengan keyakinan pribadi saya. Ini konflik yang tidak bisa saya tangani. Selain itu saya juga tidak mampu menahan haru melihat ayah dan ibunya menangis di ruang konseling. Beban mereka berdua bisa saya rasakan.

Sangat berat bagi orangtua untuk 'kehilangan' anaknya. Memang bukan hilang secara fisik, tapi secara psikis. Orangtua berbalik menyalahkan dirinya sendiri. Mereka terpuruk pada penderitaan tiada akhir dan berputar pada tanya yang tak terjawab, 'Mengapa?'. Ada juga orangtua yang saya temui menunjukkan kehilangan sangat ketika anak perempuannya mengaku punya pacar sesama perempuan. Kasus kedua ini saya tangani karena anak perempuan mereka masih dalam tahap awal. Ia mengaku tertarik untuk berpacaran karena sering dibully oleh laki-laki karena bentuk tubuhnya yang gemuk, sementara teman perempuannya tidak ada yang jahat. Ditambah bacaan yang sering dia baca berkaitan dengan bentuk pacaran antara sesama jenis.

Bagaimana saya bisa bersikap profesional saat menyaksikan seorang ibu menangis tersedu-sedu di depan saya karena menyalahkan dirinya sendiri? Saya tahu bahwa saya harus tetap objektif, bukan membawa peran saya (sebagai ibu) dalam proses konseling. Namun apa daya, keberpihakan saya jelas. Saya melihat duka mendalam di mata ayahnya. Kata-kata sang ayah teringat benar dalam benak saya, "Pendidikan saya ndak tinggi, Bu. Saya cuma buruh bangunan. Kalau memang saya salah mendidik, apa saya ndak boleh dapat kesempatan untuk memperbaikinya, Bu? Apapun akan saya lakukan supaya anak saya sembuh".

Saya berduka bersama para orangtua yang anaknya memilih gaya hidup alternatif selain laki-laki dan perempuan. Perspektif ini mungkin saja tidak bisa dipahami oleh para penggiat HAM yang aktif terus menerus mengusahakan agar ide pernikahan sejenis dilegalkan di negara ini. Apalagi para penggiat HAM tersebut belum memiliki anak *emoticon senyum*

Saya hanya ingin mengajukan pertanyaan sederhana ini. Pertanyaan dari seorang ibu, tanpa baju profesi. Apakah Anda yang memperjuangkan hak LGBT untuk diakui keberadaannya secara konstitusi termasuk konsekuensi legalitas pernikahan, memang menginginkan suatu saat nanti anak-anak Anda menikah dan berkeluarga dengan sesama jenisnya?

Siapkah Anda mendengar suatu saat anak Anda, laki-laki, menggandeng teman laki-lakinya, lalu berkata bahwa mereka ingin menikah? Lalu mereka berkata mereka ingin mengadopsi anak dan karena mereka berdua bekerja, mereka akan menitipkan anak adopsi itu di rumah Anda?

Atau pertanyaan lain, apakah Anda siap mendengar pasangan hidup Anda, katakanlah suami Anda, mengatakan kalau dia punya "istri baru" berjenis kelamin laki-laki juga? Atau istri Anda tiba-tiba mengenalkan "suami barunya" berupa perempuan dan tidak mau bercerai dari Anda? Bagaimana Anda menjelaskan pada anak-anak Anda tentang "istri baru"/"suami baru" pasangan Anda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun