Akhir-akhir ini LGBT menempati topik pembicaraan di media sosial. Pendapat pro kontra bermunculan. Ada yang setuju dengan keberadaan mereka dengan alasan utama kemanusiaan, ada yang menentang karena tidak sesuai dengan norma sosial dan ajaran agama dan ada yang netral karena tidak berkaitan dengan kaum LGBT. Kejelasan bersikap itu menciptakan jurang pemisah antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Apalagi ada yang menengarai bahwa komunitas LGBT sedang melakukan gerakan masif untuk meneguhkan keberadaan mereka di bumi Nusantara ini. Otomatis muncul gerakan kontra. Gelombang arus lawan bermunculan, dengan mengingatkan para orangtua untuk waspada.
Memang kita perlu punya kejelasan sikap agar kita sendiri jelas tentang apa yang kita perjuangkan, yang kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, dalam mendidik anak, dan aspek kehidupan lainnya. Tapi bukan hal mudah untuk menentukan sikap hendak berdiri di sebelah mana. Salah satu penyebabnya adalah posisi. Mungkin posisi yang agak riskan dalam menentukan sikap adalah kelompok profesi seperti saya ini..hehe.. Sesuai tuntutan profesi, kami harus bersikap terbuka terhadap siapapun yang datang membutuhkan pertolongan, namun tidak bisa dipungkiri individu dibalik baju profesinya memiliki peran lain. Bisa saja dia seorang ibu, ayah, saudara, suami, istri, anak, dan sebagainya. Dan tiap individu tersebut dibesarkan dengan keyakinan dan norma tertentu yang bisa jadi bertentangan dengan isu yang sedang menghangat itu.
Kerap saya amati bahwa penggiat HAM menyerukan bahwa LGBT bukan orang-orang yang harus dijauhi, mereka juga punya hak asasi untuk hidup sebagaimana manusia lainnya. Satu sisi hal itu sangatlah benar (absolutely right), tidak diragukan lagi. Tapi bagaimana hak asasi manusia lainnya? Apakah manusia lainnya tidak berhak hidup dalam lingkungan sosial yang nyaman, tanpa rasa cemas? Apakah para orangtua tidak punya hak untuk menikmati masa mendidik anak tanpa takut adanya ancaman bahwa anaknya akan berciuman dengan sesama jenisnya? Masih banyak pertanyaan dalam benak saya. Namun untuk memilah bagaimana kita harus bersikap, saya menggunakan panduan skala jarak sosial dari Bogardus. Agar kita jelas sedang berjuang terhadap apa dan bagaimana.
Jarak Sosial
Menurut Bogardus, tiap individu mempunyai suasana psikologis dalam berinteraksi dengan individu lainnya. Sejauh mana orang itu menerima atau menolak kelompok orang lainnya. Penerimaan atau penolakan ini diukur melalui bentuk interaksi sosial yang ada, yaitu mulai dari sesama warga negara hingga ke hubungan pernikahan. Ada 7 indikator jarak sosial sebagai berikut :
1. Keluarga dekat melalui pernikahan (1.00)
2. Sebagai teman dekat (2.00)
3. Sebagai tetangga (3.00)
4. Sebagai mitra kerja (4.00)
5. Sebagai Warga Negara (5.00)
6. Sebagai pengunjung di negaranya (6.00)
7. Ditolak masuk negaranya (7.00)
Makin tinggi angkanya, maka makin jauh jarak sosial individu tersebut dengan kelompok lainnya. Masing-masing indikator masih dapat dikembangkan sesuai persoalan sosial yang hendak diungkap. Misalnya untuk indikator pertama : keluarga dekat karena pernikahan, dapat dijabarkan dalam beberapa aspek lagi :
- Apakah akan menikahi (kelompok issue)
- Apakah akan menikahkan anak dengan (kelompok issue)
- Apakah akan menerima saudara ipar dari (kelompok issue)
- Apakah akan menerima keponakan yang berasal dari (kelompok issue)
Kelompok issue di sini dapat berupa ras, etnis, agama, mayoritas, minoritas, dan juga pandangan terhadap kaum LGBT. Bagaimana secara keseluruhan masyarakat bersikap terhadap fenomena LGBT ini? Kita akan mulai dari jarak sosial terjauh.
Penolakan/Penerimaan untuk Masuk Ke Indonesia
Bagi mereka yang menyerukan penolakan terhadap kaum LGBT, apakah yang ditolak itu manusianya atau komunitas atau isu legalitas pernikahan sesama jenisnya? Bagi mereka yang menerima dan berjuang agar keberadaan LGBT diterima di Indonesia, apakah yang diterima itu menyangkut individunya yang mengalami perbedaan orientasi seksual berbeda ataukah organisasinya ataukah persamaan dalam hal aspek kehidupan pernikahan?
Pada umumnya kelompok yang memperjuangkan mereka menggunakan referensi ketentuan hukum yang berlaku di negara lain ("Di beberapa negara Barat sudah ada yang melegalkan pernikahan sesama jenis"), atau mengggali sejarah bangsa lain dan bangsa sendiri untuk mengingatkan masyarakat bahwa gaya hidup penyuka sesama jenis sudah berurat akar ("Dalam sejarah yang terukir di Candi ada adegan perkawinan antara X dan Y", "Budaya ketoprak juga mengenal adanya istilah...", dan sebagainya). Lalu apakah yang hendak dituju pada akhirnya? Apa yang sungguh diperbolehkan masuk ke Indonesia?
Pokok perjuangannya harus jelas. Apakah isu legalitas pernikahan sejenis itu yang hendak dihalangi masuk ke sini? Kalau memang iya, maka referensi hukum pernikahan sejenis di negara lain tidak bisa digunakan. Apakah organisasinya yang dicurigai akan melebarkan sayapnya di Indonesia yang layak ditolak atau diterima? Bagi kelompok masyarakat yang menolak, apa sesungguhnya yang Anda tolak? Kejelasan inti persoalan ini akan menentukan kebijakan yang diambil.
Bagi saya pribadi, saya menolak masuknya organisasi kaum LGBT yang mendukung isu pelegalan pernikahan sejenis. Tidak ada tawar menawar dalam hal itu. Ide untuk legalitas pernikahan tersebut akan membawa dampak perubahan negatif dalam masa mendatang. Apakah saya menutup mata dan bersikap konservatif padahal negara lain sudah melegalkan? Pertanyaan saya, mengapa harus mengacu pada kebijakan negara lain? Apakah nilai budaya kita memang sama? Lalu bagaimana dengan sejarah? Bukankah sejak dulu sudah ada kehidupan sesama jenis? Saya akan bertanya kembali : Lantas, kita diharuskan untuk menghidupkan kembali? Haruskah kita kembali ke masa lalu sementara penghayatan akan hidup bermakna sudah semakin hakiki?
Penolakan/Penerimaan Sebagai Tamu Negara/Perwakilan
Hampir sama seperti topik di atas, namun berbeda dalam hal permanensinya. Apakah masyarakat bisa menerima kehadiran organisasi kaum penyuka sesama jenis di Indonesia? Ataukah mereka hanya bisa menerima individunya saja tapi menjadi warga negara? Bagaimana dengan warga negara asing yang menetap lama di Indonesia dan ternyata mereka termasuk dalam kaum LGBT? Apakah mereka diterima atau dipulangkan?
Apakah mereka (kaum LGBT) diperbolehkan masuk dalam bentuk yang tidak kasat mata misalnya melalui gambar-gambar di media sosial Line dan WA? Di sana ada simbol laki-laki dan laki-laki yang dipersatukan dengan gambar hati.
[caption caption="Emoticon WA terbaru"]Emoticon WA terbaru
Bagaimana dengan cabang usaha/bisnis yang terang-terangan menyatakan dukungannya terhadap keberadaan LGBT di Indonesia? Apakah mereka dibiarkan terus membuka cabang usahanya ataukah diharuskan mengubah arah dukungannya? Contoh terbaru Kedai Kopi Starbuck. Entah yang lainnya.
Bagi saya sebagai pribadi, saya tidak sepakat dengan berbagai upaya kampanye yang dilakukan oleh media sosial luar. Emoticon WA dan Line sebagai contohnya. Penyusupan halus semacam ini lebih berbahaya daripada demontrasi di depan Istana Negara. Namun karena saya tidak akses untuk menghentikan penggunaan emoticon di medsos, maka saya tidak akan menggunakannya serta mendidik anak-anak saya untuk tidak menggunakan. Perwakilan organisasi LGBT pun saya bersikap tidak menerima kehadirannya. Apa urgensinya mereka membentuk organisasi? Untuk meraih dukungan sebanyak-banyaknya? Lalu setelah itu apa?
Penolakan/Penerimaan Sebagai Warga Negara
Pencabutan status kewarganegaraan bagi teroris adalah mutlak. Namun bagaimana dengan kaum LGBT? Salah satu pernyataan keras seorang tokoh agama (entah benar entah hoax, semoga hoax) bahwa kaum penyuka sesama jenis harus dihukum mati. Aduh! Keras banget sikapnya. Semoga ucapannya berada dalam konteks yang benar. Bagaimana sikap masyarakat terhadap warga negara yang memilih bergabung dalam komunitas LGBT?
Saya mendukung konstitusi tentang kewarganegaraan. Apabila kaum penyuka sesama jenis melakukan kejahatan atau perbuatan kriminal lainnya, maka tentu saja harus mendapatkan hukuman sesuai perbuatannya. Saya sepakat bahwa tidak boleh ada diskriminasi terhadap siapapun dalam perolehan kesempatan kehidupan yang layak, pendidikan, pekerjaan, beribadah, dan sebagainya. Namun pada pelaksanaannya tentu juga harus mempertimbangkan kelompok masyarakat lainnya, konteks sosial, kompetensi, dan seterusnya.
Beberapa tahun yang lalu, kami (teman-teman dan saya) pernah melakukan penelitian untuk transgender (waria). Kami membandingkan antara waria di Surabaya dan Kuala Lumpur. Salah satu hasilnya adalah pemerataan pendidikan dan pekerjaan. Di Kuala Lumpur, Malaysia, responden kami berpendidikan minimal S1 dan tertinggi S3. Pekerjaannya pun beragam, mulai dari staf kantor, pembersih jendela gedung tinggi hingga ke dosen di Perguruan Tinggi. Sementara di Surabaya, para waria lebih banyak menjajakan diri di lokalisasi, serta membuka salon kecantikan. Pendidikan mereka tidak tinggi, hanya maksimal SMA. Temuan lainnya soal gaya hidup. Di Kuala Lumpur, tidak semua waria mengalami gangguan identitas jenis kelamin, tapi sekadar ikut-ikutan teman-temannya. Responden waria di Surabaya hampir semua berlatarbelakang keluarga berantakan dan pola pengasuhan yang salah. Bahkan salah satu seorang responden waria memiliki 3 saudara yang mirip kondisinya yaitu gay, lesbi, dan pecandu.
Hal yang mendesak untuk dilakukan baik oleh Pemerintah maupun kelompok sosial lainnya, termasuk kelompok profesi (seperti profesi saya nih) adalah mengedepankan program-program perbaikan kualitas kehidupan bagi para warga negara Indonesia yang terlanjur masuk dalam pilihan hidup yang berbeda ini. Agar kondisi mereka tidak makin terpuruk. Apalagi mereka yang berorientasi seksual disebabkan kelainan kromosom seks. Tentunya diperlukan bantuan dari eksternal. Namun apabila individu menderita gangguan preferensi seksual, mereka dapat ditolong untuk menghilangkan penyebab perilaku seksualnya. Contohnya : pedofilia. Seorang pedofil tentu akan menghadapi konsekuensi hukum tapi pemulihan terbuka dilakukan.
Penolakan/Penerimaan Sebagai Mitra Kerja
Termasuk di dalamnya mencakup partner bisnis, karyawan, kolega, dan sebagainya. Sejauh orientasi seksual dan gaya hidupnya tidak mengganggu kinerjanya dan ketenangan bekerja orang lainnya, hal itu tetap bisa diterima. Sementara itu mereka juga perlu dijaga agar tidak menjadi objek pelecehan dari lingkungannya. Interaksi sosial di mana pun pasti akan menciptakan gesekan dan konflik. Untuk itu perlu masing-masing pihak saling mengendalikan perilakunya.
Bagi kelompok masyarakat yang menolak keberadaan mereka, dan bersikukuh tidak bisa menerima mereka dalam lingkungan pekerjaan/bisnis, perlu punya dasar penolakan yang jelas. Jangan hanya semata-mata karena merasa jijik dengan keberadaan mereka (homophobia). Alasan yang berdasarkan regulasi dan panduan kompetensi. Begitu pula kelompok masyarakat yang dapat menerima kaum LGBT.
Dalam konteks indikator jarak sosial ini, saya memasukkan bilamana mereka menjadi klien saya. Nah ini.. Sebagai seorang psikolog klinis, yang memang urusannya menangani berbagai persoalan manusia, sangat tidak profesional bila saya menolak membantu mereka. Namun psikolog klinis memiliki spesifikasi penanganan kasus, seperti halnya dokter yang punya spealisasi. Sejak awal saya tidak memiliki kompetensi penanganan kasus gangguan identitas jenis kelamin maupun gangguan preferensi seksual. Sehingga klien yang datang pada saya selalu saya rekomendasikan pada rekan sejawat lainnya yang memang mendalami issue LGBT.
Tulisan bagian pertama ini saya cukupkan hingga di sini dahulu. Pada bagian kedua nanti saya akan bahas tentang jarak soslal yang lebih dekat yaitu sebagai tetangga, teman, dan keluarga.
Semoga bermanfaat.
Tulisan bagian kedua : di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H