Saya mendukung konstitusi tentang kewarganegaraan. Apabila kaum penyuka sesama jenis melakukan kejahatan atau perbuatan kriminal lainnya, maka tentu saja harus mendapatkan hukuman sesuai perbuatannya. Saya sepakat bahwa tidak boleh ada diskriminasi terhadap siapapun dalam perolehan kesempatan kehidupan yang layak, pendidikan, pekerjaan, beribadah, dan sebagainya. Namun pada pelaksanaannya tentu juga harus mempertimbangkan kelompok masyarakat lainnya, konteks sosial, kompetensi, dan seterusnya.
Beberapa tahun yang lalu, kami (teman-teman dan saya) pernah melakukan penelitian untuk transgender (waria). Kami membandingkan antara waria di Surabaya dan Kuala Lumpur. Salah satu hasilnya adalah pemerataan pendidikan dan pekerjaan. Di Kuala Lumpur, Malaysia, responden kami berpendidikan minimal S1 dan tertinggi S3. Pekerjaannya pun beragam, mulai dari staf kantor, pembersih jendela gedung tinggi hingga ke dosen di Perguruan Tinggi. Sementara di Surabaya, para waria lebih banyak menjajakan diri di lokalisasi, serta membuka salon kecantikan. Pendidikan mereka tidak tinggi, hanya maksimal SMA. Temuan lainnya soal gaya hidup. Di Kuala Lumpur, tidak semua waria mengalami gangguan identitas jenis kelamin, tapi sekadar ikut-ikutan teman-temannya. Responden waria di Surabaya hampir semua berlatarbelakang keluarga berantakan dan pola pengasuhan yang salah. Bahkan salah satu seorang responden waria memiliki 3 saudara yang mirip kondisinya yaitu gay, lesbi, dan pecandu.
Hal yang mendesak untuk dilakukan baik oleh Pemerintah maupun kelompok sosial lainnya, termasuk kelompok profesi (seperti profesi saya nih) adalah mengedepankan program-program perbaikan kualitas kehidupan bagi para warga negara Indonesia yang terlanjur masuk dalam pilihan hidup yang berbeda ini. Agar kondisi mereka tidak makin terpuruk. Apalagi mereka yang berorientasi seksual disebabkan kelainan kromosom seks. Tentunya diperlukan bantuan dari eksternal. Namun apabila individu menderita gangguan preferensi seksual, mereka dapat ditolong untuk menghilangkan penyebab perilaku seksualnya. Contohnya : pedofilia. Seorang pedofil tentu akan menghadapi konsekuensi hukum tapi pemulihan terbuka dilakukan.
Penolakan/Penerimaan Sebagai Mitra Kerja
Termasuk di dalamnya mencakup partner bisnis, karyawan, kolega, dan sebagainya. Sejauh orientasi seksual dan gaya hidupnya tidak mengganggu kinerjanya dan ketenangan bekerja orang lainnya, hal itu tetap bisa diterima. Sementara itu mereka juga perlu dijaga agar tidak menjadi objek pelecehan dari lingkungannya. Interaksi sosial di mana pun pasti akan menciptakan gesekan dan konflik. Untuk itu perlu masing-masing pihak saling mengendalikan perilakunya.
Bagi kelompok masyarakat yang menolak keberadaan mereka, dan bersikukuh tidak bisa menerima mereka dalam lingkungan pekerjaan/bisnis, perlu punya dasar penolakan yang jelas. Jangan hanya semata-mata karena merasa jijik dengan keberadaan mereka (homophobia). Alasan yang berdasarkan regulasi dan panduan kompetensi. Begitu pula kelompok masyarakat yang dapat menerima kaum LGBT.
Dalam konteks indikator jarak sosial ini, saya memasukkan bilamana mereka menjadi klien saya. Nah ini.. Sebagai seorang psikolog klinis, yang memang urusannya menangani berbagai persoalan manusia, sangat tidak profesional bila saya menolak membantu mereka. Namun psikolog klinis memiliki spesifikasi penanganan kasus, seperti halnya dokter yang punya spealisasi. Sejak awal saya tidak memiliki kompetensi penanganan kasus gangguan identitas jenis kelamin maupun gangguan preferensi seksual. Sehingga klien yang datang pada saya selalu saya rekomendasikan pada rekan sejawat lainnya yang memang mendalami issue LGBT.
Tulisan bagian pertama ini saya cukupkan hingga di sini dahulu. Pada bagian kedua nanti saya akan bahas tentang jarak soslal yang lebih dekat yaitu sebagai tetangga, teman, dan keluarga.
Semoga bermanfaat.
Tulisan bagian kedua : di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H