Selang beberapa hari kemudian, pihak sekolah memediasi pertemuan antara si A, orangtua si A, anak saya dan saya. Sebelumnya banyak pihak yang menyarankan agar saya melaporkan si A pada pihak berwajib. Namun saya tidak mengambil tindakan itu karena beberapa pertimbangan. Saya ingin bertemu dahulu dengan si A dan orangtuanya.
Ketika saya bertemu dengan si A (orangtuanya belum hadir saat itu), saya mendapatkan data bahwa bukan kali ini saja si A bersenggolan dengan pornografi. Beberapa tahun sebelumnya, ia pernah ketahuan orangtuanya menyimpan film-film porno di lapto. Link film itu ia dapatkan dari temannya. Sesuai dengan dugaan saya, bahwa si A bukan anak yang baru melakukan hal ini. Saat itu saya merasa kasihan pada si A. Dia adalah korban. Bisa jadi korban lingkungan, orangtua atau siapa saja. Dan si A perlu ditolong agar tidak menyimpang terlalu jauh (kecanduan pornografi).
Si A juga berkata pada saya kalau sebetulnya dia hanya bermaksud bergurau saja. Tidak ada juga si B atau 3 cewek lain yang dia mintain fotonya. Dia tidak menyadari gurauannya berakibat fatal seperti ini. Dia mengaku malu dan menyesal karena sudah berbuat seperti itu. Sepanjang pertemuan itu, si A terus menunduk. Si A sempat minta tolong pada anak saya agar tidak menceritakan perbuatannya pada teman-teman lainnya karena dia malu.
Pertemuan dengan orangtua si A berlangsung cukup lancar. Ibunya langsung minta maaf atas perilaku anaknya. Dia mengatakan sudah sering berkomunikasi dengannya. Juga sudah berupaya mencegah perilaku si A dari hal-hal negatif. Dia sungguh tidak menyangka bila anaknya melakukan hal itu. Berbeda dengan sikap ibunya, ayah si A sempat marah ketika saya katakan bahwa ada desakan dari pihak keluarga saya agar melaporkan kasus ini ke polisi. Kemarahan itu membuat saya 'panas' juga. Kami bersitegang. Dengan agak keras, saya tegur ayah si A. Saya paham mengapa dia marah. Itu ungkapan ketakutan dan kekuatiran bila saya meneruskan kasus ini pada pihak berwenang. Tapi dia memilih cara yang salah dalam mengungkapkannya. Untunglah dia tidak melanjutkan. Pertemuan berakhir dengan cukup baik.
Pihak sekolah, terutama wali kelas mereka, mengaku sangat menyesal dengan kejadian ini. Dia sudah sering mengatakan pada anak didiknya untuk bersikap terbuka padanya. Ya, dia mengaku kecolongan dengan adanya kasus ini. Pihak sekolah berjanji untuk memberikan sanksi pada si A. Dalam proses pengusutan kasus ini, ada beberapa guru yang tampaknya tidak menganggap kasus ini penting (atau tidak menyadarinya?). Mungkin bagi mereka, kasus ini tidak perlu 'dibesarkan' karena 'toh tidak terjadi apapun'. Tidak ada foto yang diberikan, tidak ada niat serius (si A hanya guyon), dan tidak ada 'korban'. Hmmm.. saya miris dengan kondisi dan respon dari pihak sekolah tersebut. Sempat terpikir untuk memberikan edukasi tentang UU Perlindungan Anak pada mereka.
Pesan saya pada para orangtua :
- Kedekatan anak-orangtua perlu dibangun sejak dini. Komunikasi dan kasih sayang ditumbuhkan, bukan proses instan. Bagaimana kita tahu kalau anak kita dekat dengan orangtuanya? Salah satunya keterbukaan mereka ketika mereka mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan.
- Pentingnya menanamkan pendidikan karakter dan agama pada anak-anak. Bukan dalam bentuk nasihat terus menerus, tapi juga bisa dalam bentuk cerita, berbagi kisah, dan juga melibatkan anak-anak dalam peristiwa-peristiwa hidup. Membiarkan anak mengambil keputusan ketika mereka menghadapi masalah juga bagus dilakukan.
- Mendukung dan memuji tindakan anak bila mereka melakukan hal yang benar diperlukan. Bukan hanya memberikan teguran bila mereka melakukan kesalahan.
- Anak-anak tetaplah anak-anak. Selama mereka berada dalam asuhan kita, orangtuanya yang bertanggungjawab.
Semoga kasus ini tidak terjadi pada anak-anak lainnya. Dan bisa memberikan inspirasi bagi orangtua yang kurang dekat dengan anak-anaknya karena perilaku anak Anda bisa jadi mengganggu anak keluarga lainnya.
Sidoarjo, November 2015
Â
Keterangan Gambar :
Gambar lainnya dokumentasi pribadi