Ilustrasi - pribadi yang ceria (Shutterstock)
Cara berpikir menentukan kesehatan mental Anda!
Serius.. Bukan jargon politik atau slogan warung kopi lho. Semuanya dimulai dari kerangka pikir, lalu menjelma menjadi keyakinan diri, berkembang menjadi sikap dan turun ke perilaku. Secara sederhana demikian urutannya. Kalau ingin tahu detailnya, harus ikut kuliah psikologi..hehe... *promosi mode on*
Ada beberapa tipe kesalahan berpikir yang bisa menjerumuskan seseorang dalam masalah yaitu :
1. Memandang situasi hanya dalam 2 (dua) kategori: hitam atau putih, benar atau salah, berhasil atau gagal. Cara pandang seperti ini akan tampak ketika seseorang menghadapi persoalan, ia akan bereaksi berlebihan antara lain bunuh diri. Baginya dunia sudah berakhir ketika mereka berada dalam persoalan kehidupan, misalnya karena diputus pacar, di-PHK, tidak bisa bayar utang, ditinggalkan pasangan dan anak-anaknya, diejek dan sebagainya. Hanya ada dua pilihan dalam hidupnya : Hidup atau mati.
Dalam relasi sosial, orang dengan tipe berpikir seperti itu juga rawan konflik dengan siapa saja. Biasanya mereka kurang fleksibel dalam bersikap serta memaknai perkataan orang lain sebatas apa yang terlihat. Mereka tidak bisa melihat adanya kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa jadi lebih baik daripada cara yang mereka lakukan saat itu.
Bila orang ini mempunyai prinsip hidup, maka ia akan memegangnya sekuat tenaga dan sepenuh hati. Tidak mudah untuk membuatnya berbelok. Tentu saja hal itu bersifat positif, namun akan menjadi negatif bila dalam menerapkan prinsip hidup tersebut, yang bersangkutan tidak bisa fleksibel dalam cara mencapai tujuan.
Kata-kata yang sering diungkapkan : "Jika aku tidak berhasil mencapai tujuan, maka aku adalah orang yang gagal".
2. Memprediksi masa depan secara negatif, tanpa mempertimbangkan aspek lain. Orang-orang dengan paradigma ini bawaannya pesimis melulu. Tiap ada program baru akan dipandangnya dengan tatapan mata sinis lalu berkata pada temannya, "Nggak kira jalan! Banyak kelemahannya. Lihat aja nanti, aku sudah bilang kalau program bakal gagal!".
Paradigma memandang-dunia-selalu-suram ini bukan hanya dalam pekerjaan, tapi merata pada semua aspek kehidupan. Lebih gawat lagi kalau diterapkan dalam relasi sosial. Sikap terhadap pasangan dan anak-anak bukan mendukung namun lebih pada menghakimi, "Tuh bener khan.. Apa aku bilang, kamu nggak kira berhasil". Mereka selalu mengedepankan aspek negatif dari sesuatu tanpa mampu memberikan pertimbangan lebih baik. Kalau dibantah, wah... Bakalan marah dan mengatakan kalau orang yang membantahnya itu tidak menghargai dirinya.
3. Senang memberikan label permanen pada diri sendiri atau orang lain, tanpa memperhitungkan perubahan yang terjadi. Biasanya label pada diri sendiri bersifat negatif. Misalnya : "Aku ini orang yang kurang beruntung", atau "Aku bodoh", "Kami dari keluarga miskin, jadi maklum nggak ada yang pintar", dan sebagainya.
Orang yang memberikan label negatif pada dirinya sendiri ini biasanya sensitif dalam pergaulan. Bila ada orang lain yang berbuat sesuatu, ia akan merasa kalau orang tersebut menyindir dirinya. Atau beranggapan kata-kata atau tindakan orang lain itu ditujukan pada dirinya. Misalnya ada orang yang melabel dirinya bodoh dan miskin. Dalam rapat di keluarga besar, salah seorang kerabat berkata kalau urunan arisan keluarga sebaiknya tidak besar, karena harus mempertimbangkan anggota keluarga yang tidak mampu. Nah, mendengar kata-kata seperti itu, ia tersinggung karena merasa ditujukan padanya.
Label pada orang lain pun bernada negatif, semisal : "Dia bukan orang baik, bapaknya maling", "Orang desa kayak gitu, mana bisa jadi kaya", dan sebagainya. Label itu diberikan tanpa adanya bukti jelas atau mendukung. Hanya berdasarkan pengalaman subyektif atau bahkan berdasarkan cerita dari orang lain. Dalam relasi sosial, orang-orang semacam itu bersikap selektif. Tidak bisa bergaul dengan banyak orang. Cenderung menjadi pemilih. Sikapnya pun didasarkan pada label yang dia sematkan pada orang lain itu.
4. Berpikir "seharusnya" dalam segala situasi. Biasanya paradigma ini muncul dalam konflik suami istri, orangtua dan anak. salah satu pihak (kalau dua-duanya malah parah!) akan berkata, "Harusnya istri itu bisa masak, rumah rapi, jadi kalau suami pulang, suami merasa senang, capeknya hilang", atau "Harusnya laki-laki itu bisa membetulkan genteng, ganti lampu mati, ngecat tembok, betulin kran air, bukannya cuman kerja..kerja terus..". Kalau terhadap anak, "Harusnya kamu ngalah sama adikmu, khan kamu sudah besar" (emangnya ada pelatihan untuk menjadi kakak dan dapat sertifikat kelulusan?).
Ada seorang teman yang mengeluh karena istrinya tidak memahami dirinya. Katanya, "Istriku harusnya tahu suaminya suka apa. Aku seneng minum kopi pagi hari. Tapi kalau aku nggak minta, dia nggak bikinkan. Selalu harus minta dulu. Aku pengen dia langsung tahu". Padahal di saat yang sama, si istri sibuk mempersiapkan 2 anak kecil mereka berangkat sekolah TK dan SD. Permintaan kopi tidak pernah ditolak oleh si istri. Paradigma "seharusnya" meniadakan faktor lain yang terlibat dalam suatu peristiwa. Seolah-olah mereka seperti memakai kacamata kuda.
5. Tidak bisa menerima hal baik atau positif. Paradigma irrasional jenis ini selalu beranggapan bahwa hal-hal baik yang terjadi pada mereka itu hanya kebetulan belaka. Bukan karena komitmen atau kemampuan mereka. Kalau mendapatkan prestasi, misalnya, mereka akan berkata, "Oh itu karena aku lagi beruntung aja. Lain kali belum tentu berhasil". Kalau mendapatkan nilai bagus, komentarnya, "Gurunya lagi baik hati".
Sekilas memang tampaknya orang-orang semacam ini rendah hati. Bersikap seolah-olah pujian atau penghargaan bukan karena usaha mereka, dan mereka tidak pantas mendapatkannya. Namun bila ditelaah lebih lanjut, cara berpikir demikian mencerminkan rasa takut. Takut untuk tidak berhasil terus menerus. Bagi mereka, keberhasilan hari ini belum tentu milik mereka besok, jadi daripada kecewa, lebih baik tidak mengakuinya. Mereka juga canggung, tidak pernah dilatih bagaimana menerima pujian. Jadi ketika menerima pujian, cara lebih cepat adalah menolaknya.
Itulah sekilas 5 paradigma irrasional yang bisa membantu mempercepat terganggunya kesehatan mental. Sebenarnya masih ada 6 (enam) jenis paradigma irrasional lainnya. Saya simpan dulu aja ya...hehe..
Seberapa jauh pengaruh paradigma irrasional ini mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang?
Ketika menghadapi masalah, orang akan berusaha menyelesaikan dengan cara berpikir yang dia miliki. Semakin irrasional cara berpikirnya, maka akan tampak masalah yang dihadapi makin besar dan berat. Orang itu akan berputar-putar dengan masalahnya tanpa menemukan solusi yang tepat. Kebanyakan sih solusi itu hanyalah perubahan cara pandang. Bergeser dari satu paradigma ke paradigma lainnya.
Beberapa hari yang lalu, ada seorang klien. Dia mahasiswa fakultas X yang kena DO. Menangislah dia. Baginya sudah tidak ada jalan keluar. Cita-citanya sejak kecil ingin berkuliah di fakultas X itu. Orangtuanya bingung, paman bibinya juga. Akhirnya mereka membawa si anak itu pada saya. Setelah ngobrol cukup lama, saya sajikan hal-hal baru yang bisa dia lakukan. Singkat cerita, keluar dari ruang konseling, ia sudah mampu tersenyum. Bibinya yang menunggu di luar heran. Malah ganti bibinya yang nangis karena lihat ponakan sudah bisa ceria lagi. Hadeeeh... saya yang bingung...hahaha...
Tidak semua orang menyadari cara berpikirnya irrasional. Reaksi umum adalah menyalahkan orang lain, mengatakan bahwa orang lain tidak memahami dirinya. Bila saja mereka mau duduk sejenak dan melihat kembali sejarah perjalanan hidupnya, mereka akan mendapatkan pencerahan bahwa cara pandangnya selama ini membuat hidupnya tidak mengalami perubahan bermakna. Kendalanya hanya satu : Ego! Ya kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H