[caption caption="Tertawa Lepas Bahagia"][/caption]Â Kata-kata itu meluncur dari bu Sumini. Ibu berusia 70 tahunan ini bekerja sebagai pemulung. Jam kerjanya unik. Mulai pk. 20.00 hingga 22.30 WIB. Saya temukan beliau ketika saya sedang menunggu anak saya belanja sesuatu di minimarket. Waktu menunjukkan pk. 21.00 saat itu. Saya lihat seorang nenek, mengaduk-aduk sampah. Di sebelahnya ada sepeda tua dengan kotak dibocengannya. Lama juga saya amati hingga akhirnya saya ajak ngobrol.
Bu Sumini tinggal di wilayah perumahan Tropodo, Waru, Sidoarjo. Sehari-harinya ia tinggal bersama kedua cucu laki-lakinya. Cucu pertama sudah SMP, berasal dari salah satu anaknya. Cucu kedua, masih SD, orangtuanya tinggal di kota lain. Karena himpitan ekonomi, para orangtua itu menitipkan anak-anak mereka ke neneknya. Suami bu Sumini sendiri sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.
Menjadi pemulung memang bukan pilihan, seandainya bu Sumini punya alternatif lain. Namun pekerjaan tersebut mampu menghidupi diri dan kedua cucunya, ia pun ikhlas menjalani. Sengaja ia memilih malam hari karena "saya tidak bisa bersaing dengan anak-anak muda. Mereka kerja siang hari, Mbak", katanya. Sumini tidak takut kehilangan barang bagus meskipun malam hari. "Ini saja sudah cukup kok", lanjutnya.
Perbincangan singkat pun berakhir. Sumini, nenek tua bertekad baja itu melanjutkan pekerjaannya. Bak sampah demi bak sampah ia hampiri. Tak kenal lelah. Malam itu saya pulang dengan rasa syukur atas kehidupan baik yang bisa saya jalani. Masih ada orang-orang yang hidupnya jauh lebih kurang beruntung dibandingkan saya, dan hal ini membuat saya tidak pantas mengeluh.
Beberapa hari kemudian saya berkunjung ke rumah bu Sumini. Saya berjanji padanya membawakan barang-barang bekas di rumah untuk menambah modal dagangannya. Duh, saya ngenes lihat rumahnya. Beda sekali dengan rumah di sebelahnya. Kontras. Bu Sumini keluar menemui saya. Wajahnya sumingrah.
[caption caption="Ini rumahnya"]
[caption caption="Tumpukan Barang Bekas yang Bisa Dijual Lagi"]
[caption caption="Rupa-rupa Barang "Modal" Dagangan"]
[caption caption="Pakan Bebek Hasil Olahan Sendiri"]
Untuk kebutuhan lain, bu Sumini mengaku tidak ada. "Ibu nggak ingin beli baju?" tanya saya penasaran. Bu Sumini ketawa dan berkata, "Sudah tua kok, Jeng, buat apa baju..". Untuk cucunya, dia belikan baju di pasar Progo, dekat rumah. Hasil dari kerjanya sendiri. Kehidupannya sungguh sangat sederhana. Tampak sekali keikhlasannya melakoni skenario kehidupan yang disediakan alam baginya. Tidak juga protes mengapa cucunya menjadi tanggungjawabnya, tidak juga protes mengapa seusia dia masih harus bekerja, tidak juga protes mengapa Tuhan tidak adil padanya.
"Hidup itu ya begini, Jeng. Dijalani. Kalau marah, tambah berat", kalimat sederhana tapi bermakna dalam.
Terakhir saya tanyakan, apa yang dia butuhkan yang mungkin bisa kami (teman-teman dan saya) lakukan untuknya. Jawabannya sungguh diluar dugaan.
"Saya ngga butuh apa-apa lagi, Jeng. Sudah cukup. Nggak usah dibantu lagi. Mohon maaf, bukan nolak. Ini sudah lebih dari cukup buat saya, Jeng. Saya nggak kekurangan". Plak! Tamparan keras paling tidak buat saya sendiri. Amazing!
Buat saya, penolakan itu bukan bentuk kesombongan. Tapi bentuk kesederhanaan, jauh dari sikap serakah. Bahagia itu sederhana. Bersyukur itu bisa kapan saja. Asal ada kesadaran diri.
Sidoarjo, Oktober 2015.
Â
---
Catatan : semua foto dokumentasi pribadi dan saya sudah ijin pada bu Sumini untuk menceritakan kisahnya agar orang lain mendapatkan inspirasi.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H