Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Saya Nggak Butuh Apa-apa, Sudah Cukup"

25 Oktober 2015   19:55 Diperbarui: 26 Oktober 2015   03:27 3712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Tertawa Lepas Bahagia"][/caption] Kata-kata itu meluncur dari bu Sumini. Ibu berusia 70 tahunan ini bekerja sebagai pemulung. Jam kerjanya unik. Mulai pk. 20.00 hingga 22.30 WIB. Saya temukan beliau ketika saya sedang menunggu anak saya belanja sesuatu di minimarket. Waktu menunjukkan pk. 21.00 saat itu. Saya lihat seorang nenek, mengaduk-aduk sampah. Di sebelahnya ada sepeda tua dengan kotak dibocengannya. Lama juga saya amati hingga akhirnya saya ajak ngobrol.

Bu Sumini tinggal di wilayah perumahan Tropodo, Waru, Sidoarjo. Sehari-harinya ia tinggal bersama kedua cucu laki-lakinya. Cucu pertama sudah SMP, berasal dari salah satu anaknya. Cucu kedua, masih SD, orangtuanya tinggal di kota lain. Karena himpitan ekonomi, para orangtua itu menitipkan anak-anak mereka ke neneknya. Suami bu Sumini sendiri sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.

Menjadi pemulung memang bukan pilihan, seandainya bu Sumini punya alternatif lain. Namun pekerjaan tersebut mampu menghidupi diri dan kedua cucunya, ia pun ikhlas menjalani. Sengaja ia memilih malam hari karena "saya tidak bisa bersaing dengan anak-anak muda. Mereka kerja siang hari, Mbak", katanya. Sumini tidak takut kehilangan barang bagus meskipun malam hari. "Ini saja sudah cukup kok", lanjutnya.

Perbincangan singkat pun berakhir. Sumini, nenek tua bertekad baja itu melanjutkan pekerjaannya. Bak sampah demi bak sampah ia hampiri. Tak kenal lelah. Malam itu saya pulang dengan rasa syukur atas kehidupan baik yang bisa saya jalani. Masih ada orang-orang yang hidupnya jauh lebih kurang beruntung dibandingkan saya, dan hal ini membuat saya tidak pantas mengeluh.

Beberapa hari kemudian saya berkunjung ke rumah bu Sumini. Saya berjanji padanya membawakan barang-barang bekas di rumah untuk menambah modal dagangannya. Duh, saya ngenes lihat rumahnya. Beda sekali dengan rumah di sebelahnya. Kontras. Bu Sumini keluar menemui saya. Wajahnya sumingrah.

[caption caption="Ini rumahnya"]

[/caption] "Maaf ya, Jeng.. Rumahnya berantakan. Tadinya semua ini saya taruh di luar sana. Tapi kata pengurus kampung, harus dimasukkan. Ada lomba Agustusan. Kampung ini kalah, katanya, karena saya. Sekarang semuanya ada di sini", ceritanya tanpa beban. Dia kemudian menceritakan kalau barang-barang itu bukan semuanya hasil memulung. Ada juga pemberian orang, seperti yang saya lakukan. Kesulitannya adalah memilah barang-barang itu. Kertas bekas, botol plastik, kaleng dan sebagainya. Untuk kaleng dan botol, harus dikempeskan dulu barulah bisa dijual. Sedangkan tenaganya tidak sekuat dulu. Cucunya tidak bisa maksimal membantu karena sibuk dengan tugas sekolahnya. Bu Sumini juga tidak mau merepotkan mereka.

[caption caption="Tumpukan Barang Bekas yang Bisa Dijual Lagi"]

[/caption]

[caption caption="Rupa-rupa Barang "Modal" Dagangan"]

[/caption] Selain barang bekas, beliau juga menjual makanan bebek. Saya melihat dua tadah besar, berwarna coklat, kering, dan aromanya agak aneh. Makanan bebek hasil olahan bu Sumini terdiri dari makanan bekas yang dia ambil dari sampah dan juga pemberian tetangga. Nasi basi, sisa sayur dan makanan lainnya, dicampur jadi satu. Dibumbui sedikit, jadilah pakan ternak itu. Karena rasanya yang gurih (menurut bebeknya lho ya, bukan saya), makanan bebeknya cukup digemari para peternak bebek. Per kilo dijual seharga Rp. 2.000. Rata-rata mereka beli lebih dari sekilo.

[caption caption="Pakan Bebek Hasil Olahan Sendiri"]

[/caption] Saya tergerak untuk melakukan sesuatu untuk beliau. Saya tanyakan tentang biaya sekolah cucunya, biaya hidupnya, dan kebutuhan lainnya. Bu Sumini menjelaskan kalau biaya pendidikan kedua cucunya mendapatkan bantuan dari komunitas Gereja setempat. Kebutuhan makan sehari-hari ia tidak pernah kekurangan. Selalu ada saja orang yang memberinya makanan. "Nasi basi pun saya terima, Jeng. Bisa dibuat karak, lalu saya makan sama jagung", ungkapnya. "Kalau ada sisanya, saya buat makanan bebek itu".

Untuk kebutuhan lain, bu Sumini mengaku tidak ada. "Ibu nggak ingin beli baju?" tanya saya penasaran. Bu Sumini ketawa dan berkata, "Sudah tua kok, Jeng, buat apa baju..". Untuk cucunya, dia belikan baju di pasar Progo, dekat rumah. Hasil dari kerjanya sendiri. Kehidupannya sungguh sangat sederhana. Tampak sekali keikhlasannya melakoni skenario kehidupan yang disediakan alam baginya. Tidak juga protes mengapa cucunya menjadi tanggungjawabnya, tidak juga protes mengapa seusia dia masih harus bekerja, tidak juga protes mengapa Tuhan tidak adil padanya.

"Hidup itu ya begini, Jeng. Dijalani. Kalau marah, tambah berat", kalimat sederhana tapi bermakna dalam.

Terakhir saya tanyakan, apa yang dia butuhkan yang mungkin bisa kami (teman-teman dan saya) lakukan untuknya. Jawabannya sungguh diluar dugaan.

"Saya ngga butuh apa-apa lagi, Jeng. Sudah cukup. Nggak usah dibantu lagi. Mohon maaf, bukan nolak. Ini sudah lebih dari cukup buat saya, Jeng. Saya nggak kekurangan". Plak! Tamparan keras paling tidak buat saya sendiri. Amazing!

Buat saya, penolakan itu bukan bentuk kesombongan. Tapi bentuk kesederhanaan, jauh dari sikap serakah. Bahagia itu sederhana. Bersyukur itu bisa kapan saja. Asal ada kesadaran diri.

Sidoarjo, Oktober 2015.

 

---

Catatan : semua foto dokumentasi pribadi dan saya sudah ijin pada bu Sumini untuk menceritakan kisahnya agar orang lain mendapatkan inspirasi.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun