Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Harusnya Bagaimana Sih Pakaian Wanita yang Sudah Bersuami?

3 Oktober 2015   23:17 Diperbarui: 4 Oktober 2015   07:08 5928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi: female.kompas.com | shutterstock | Admin"][/caption]Topik di atas samasekali nggak ada kaitannya dengan agama tertentu. Saya tertarik karena ada klien wanita yang bajunya super mini. Yaaa.. sebetulnya masalah dia sih nggak ada kaitan langsung dengan penampilannya, cuman sayanya agak 'terpesona' dan tergerak untuk membahas hal itu dengannya.

Si istri datang ditemani suaminya. Pasutri muda, baru menikah, belum dikaruniai anak. Ada beberapa masalah di antara mereka. Salah satunya suami merasa ada ganjelan dengan istrinya karena ia pernah memergoki istrinya punya ttm (teman-temenan mesranyaaa...). Istri tahu dia salah tapi dia tidak bisa menyebutkan apa yang kurang dari suaminya hingga ia berpaling sebentar ke 'meja sebelah'.

Ketika saya hendak melakukan psikoterapi, saya berdiri dan berhadapan dengan istrinya. Wanita muda, wajah cukup menarik, tubuhnya 'montok' (mungkin kalau laki-laki melihatnya sexy ya). Dia pakai celana jeans pendek banget. Pahanya terpampang luaaaasss... kaosnya tank top yg menonjolkan belahan dadanya. Bener-bener deh..

"Mbak, ijin ngomongin penampilan boleh ya?" Saya lihat dia sambil tersenyum memaksa. Saya risih melihat penampilannya seperti itu.

Tampaknya dia pun tidak nyaman. "Ya Bu, ini tadi maunya pakai celana panjang kok," katanya. Lalu dia berusaha menutupi dada dan pahanya dengan mantel kain yang dipakainya.

"Kenapa nggak jadi pakai celana panjang?" Psikolognya kepo mode on hehe..

Tidak disangka, ia menunjuk pada suaminya. "Nggak boleh sama dia, Bu".

Dengan ekspresi (pura-pura) heran, saya bertanya pada suaminya yang tertunduk malu, "Bener neh istrinya ini nggak dibolehin pake celana panjang?"

Dia mengangguk.

'Duh! Ini suami cap apa sih? Kok aneh banget..' Saya mbatin, nggak habis pikir.

"Mas lebih suka dia ini pakai pakaian super mini gini ya? Pakaian yang seolah-olah memamerkan mulusnya tubuh istrinya ya? Bener gitu?"

Laki-laki muda yang menyandang gelar suami itu pun mengangguk sambil menunduk, tersenyum salah tingkah. Lalu buru-buru meralat jawabannya, "Ngg.. nggak gitu, Bu".

"Nggak gitu gimana, lha wong ini semuanya keliatan. Mulai dari atas sampai bawah. Maaf banget ya, saya tuh aliran konservatif. Menurut saya, seorang wanita yang sudah menikah harusnya menutup auratnya. Bukannya hal itu ada di ajaran agama Anda berdua?" Kumat neh sayanya, pengen ngasih 'kuliah' pasangan yang ajaib ini.

Suaminya menjelaskan kalau :
1. Sejak pacaran, istrinya selalu pakai pakaian seperti itu
2. Istrinya lebih cantik kalau menggunakan pakaian model terbuka gitu
3. Dia sebetulnya bangga dan ingin menunjukkan pada orang lain betapa cantiknya si istri
4. Dia ingin menjaga istrinya dari gangguan orang lain

Nggak cocok samasekali deh. Tok..tok... *gayanya Obelix ngetuk kepalanya kalau dia bingung*

Dasar saya hobbynya ngomong, jadi saya lanjutkan untuk mengeksplorasi paradigma kontradiktif suami ajaib itu.

Saya noleh pada istrinya dan berkata, "Kalau wanita sudah menikah, dia tidak lagi sendirian. Semua perilakunya akan dikaitkan dengan suami dan keluarga. Itu sebabnya seorang istri harus bisa menjaga nama baik dirinya sendiri dan juga nama baik suaminya. Kalau Mbak pakai pakaian seperti ini, sementara suami pakai pakaian lengkap, apa kira-kira pandangan orang lain terhadap Mbak?"

Suaminya pakai kaos berkrah, celana jeans, dan jaket. Tok..tok..again deh!

Istrinya hanya melihat saya. Ketawa saja. Saya ganti melihat pada suaminya dan bertanya hal yang sama. Karena tidak mendapatkan jawaban, saya lanjutkan, "Orang akan melihat ada seorang laki-laki yang mengajak wanita 'tidak baik' sedang berjalan-jalan. Istrinya Mas akan dianggap sebagai wanita yang kurang baik. Mau ya ada anggapan seperti itu?"

Suami menggeleng. Tidak menjawab. Istrinya juga menggeleng ketika saya tanya, "Mau dianggap wanita murahan yang sedang merayu laki-laki baik-baik?"

"Mas, saya akan tunjukkan gimana reaksi laki-laki lain kalau ngeliat pemandangan kayak gini ya", saya minta istrinya membiarkan mantel kainnya dibiarkan terbuka. Karena selama pembicaraan dia berusaha menutupi berkali-kali.

Saya berdiri di depan istrinya persis. Saya panggil suaminya, "Mas, lihat saya ya. Jangan nunduk gitu. Anggap saya laki-laki di luar sana. Khan katanya mau pamer, mau bangga punya istri sexy gini". Suaminya jengah. Berusaha tidak melihat ke saya. Tapi karena psikolognya ngotot, maka dia mau nggak mau melihat saya.

Kemudian saya peragakan bagaimana seorang laki-laki memandangi belahan dada wanita itu. Suwer deh.. Seumur saya jadi psikolog, baru kali ini saya berubah jenis kelamin! Sambil memandangi itu, saya ngomong, "Tahu nggak apa yang dipikirkan laki-laki kalau lihat seperti ini?" Saya tunjuk belahannya. Untung saya perempuan tulen, jadi cuman nunjuk doang! (Bagi yang mengenal saya, pasti ketawa kalau lihat gaya saya.. lha saya sendiri juga pengen ngakak plus mual)

"Woow.. Gedhenya.. Berapa ya ukurannya? Gimana ya rasanya kalau dipegang? Hmmm.. Dan saya akan membayangkan melakukan sesuatu supaya saya nggak penasaran. Mungkin saya akan pura-pura jatuh, trus kesenggol. Bisa jadi khan?"

Saya perhatikan suaminya mulai berubah duduknya. Mulai menegakkan punggung. Diam. Nggak ketawa-ketawa lagi. Saya teruskan role play ini.

Saya lihat pada pahanya. "Mas, lihat saya ya. Perhatikan baik-baik", sambil saya mainkan mata dan berdecak kagum pada pahanya yang mulus itu. Suwer deh, saya ngrasa jadi 'mahluk aneh'.. hiks.. tapi demi memberikan gambaran jelas pada suami istri itu, yaaa.. apa boleh buat. Sesi gila-gilaan kudu berlanjut..

"Tahu nggak apa yang dipikirkan laki-laki lain itu kalau lihat paha ini? Karena celananya sangat pendek, cuman sekitar sejengkal dari sini," saya tunjukkan dengan jari antara batas celana dan bagian tubuh atasnya (saya nggak tega untuk ngomong jelas..malu euy...). Mbaknya menggeleng. Suaminya diam saja.

"Hmm.. kayak apa ya dibalik celana itu? Pakai CD nggak ya? Gimana rasanya 'itunya' kalau dipakai? Masuk akal nggak kalau kemudian laki-laki itu berusaha memegang paha ini?"

Saya melihat ekspresi suami itu berubah. Tampak rasa tidak senang pada wajahnya. Duduknya mulai nggak tenang.

"Eit..nggak boleh marah. Khan tadi katanya mau dipamerin karena bangga? Katanya tadi istri lebih cantik kalau pakai baju seperti ini? Jangan marah dong. Ini khan display bebas..Ya nggak?" Sementara itu, istrinya menutupi bagian tubuhnya dengan mantelnya lagi. Kentara kalau dia mulai salah tingkah. Tapi saya larang. Saya katakan kalau saya belum selesai.

"Ayo Mas, gimana ini. Boleh saya lanjutkan lagi? Saya akan ceritakan tentang fantasi seksual yang mungkin muncul dibenak laki-laki lain itu.." Saya tantang dia. Dia tidak menjawab, tapi sikap tubuhnya menunjukkan kalau dia ingin saya berhenti.

Saya berhenti. Saya lanjutkan dengan diskusi. "Sekarang apa yang Mas mau lakukan?"

"Ya saya ingin menjaga dia, Bu. Tapi kalau nanti dia nggak mau berubah pakaiannya, ya saya tidak bisa melarang", jawabnya lemas.

"Lho gimana toh? Katanya tadi mau jadi imam dalam keluarga, tapi ngambil keputusan yang seperti ini saja nggak bisa. Jangan punya standard ganda gitu. Ayo Mas, gimana sebaiknya penampilan istri?"

"Tertutup, Bu. Tapi saya nggak bisa maksa kalau dia mau tetap seperti itu," Aduh! Muter-muter aja neh orang..

"Mbak, mau berubah nggak?"

"Mau, Bu".

"Sungguh?"

"Iya"

"Lihat, istrinya mau. Sekarang apalagi?"

Suami kembali menjelaskan kalau istrinya lebih cantik dengan pakaian sexy itu, tapi dia juga tidak mau istrinya diganggu orang, dia memilih untuk menyerahkan keputusan pada istrinya. Tidak tegas sama sekali.

"Apa dasarnya Mas ingin menjaga istrinya? Apa alasannya istri lebih baik pakai pakaian tertutup?"

Jawabannya hanya sebatas 'Ya saya ingin menjaga dia karena dia istri saya'. Terpaksa saya kaitkan dengan ajaran agamanya. Saya minta dia cari ayat di kitab sucinya.

"Kalau suami bikin peraturan pakai kitab suci sebagai patokannya, apa berani istri membantah? Kalau ketentuan suami itu cuman karena suami suka atau nggak suka, bisa jadi istri akan ngeyel. Ya nggak?"

Kayak koor, keduanya kompak mengangguk..hehe..

Saya katakan kalau suami tidak tegas, istri akan menjadi lebih dominan dan 'seenaknya sendiri'. Istri itu butuh suami yang mampu mengarahkan dirinya. Bukan membiarkan saja, tidak mampu memberikan pandangan atau alternatif terhadap sikap istri. Bisa jadi istri akan mencari sosok lain yang dianggapnya mampu memberikan arahan, mampu menjadi pengayomnya.

"Mbak, jawab jujur ya. Apa ttm-nya itu seringkali memberikan solusi kalau Mbak lagi curhat?"

Istrinya tidak langsung menjawab. Dia melihat suaminya, baru berkata pelan, "Iya, Bu".

Aha!

"Mas, ayo belajar jadi imam untuk keluarga. Mumpung belum ada anak neh. Latihan bersikap sebagai laki-laki yang bertanggungjawab melindungi, mengarahkan istri. Jadi, jawab dengan tegas, bagaimana soal penampilan istri di depan umum?" Saya menaikkan intonasi suara saya. Maksudnya biar keliatan tegas gitu..

"Ya, Bu, dia harus tertutup. Harus berubah. Tidak seperti itu lagi", jawabnya dengan nada suara (ikutan) tegas. Saya minta dia ulangi kata-katanya sambil melihat pada istrinya. Saya eksplorasi lagi dasar dari aturannya itu. Ternyata dia nggak hafal ayat dalam KSnya. Istrinya nggak hafal jugaa... Lha kalau mereka nggak hafal, apalagi saya..hehe.. Yaaa..terpaksa deh saya kasih tugas untuk cari (biasa ngasih tugas mahasiswa sih!).

Saya tanyakan apakah mereka sering beribadah bersama. Hiks..ternyata tidak! Sholatnya pun bolong-bolong.. Maksudnya nggak lengkap ya..

"Saya beri ide ya, gimana kalau mulai latihan jadi imam keluarga itu mulai dari ngajakin sholat bareng? Kayaknya kalau cuman ngajakin itu gampang khan? Mbak mau khan diajak sholat bareng?"

Kayak koor lagi, keduanya mengangguk. Semoga anggukan itu bener-bener keluar dari hati mereka.

Sesi diakhiri dengan komitmen suami: belajar untuk punya kualitas imam yang baik, belajar untuk bikin ketentuan dalam relasi mereka dengan dasar yang jelas, dan mau belajar untuk tegas. Komitmen istri : berubah penampilan dan lebih menghargai suami. Komitmen lainnya berkaitan dengan masalah lainnya juga.

Setelah mereka pulang, saya langsung minum air putih sebanyak-banyaknya. Role play yang aneh! Hwwwaaa.... Cukup sekali!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun