Kesempatan kedua untuk apa dulu? Mungkin itu pertanyaan Anda. Kesempatan kedua untuk hidup kembali. Bagaimana? Apa yang mau dilakukan? Bisa dipastikan sebagian besar orang akan menjawab akan berubah hidupnya menjadi lebih baik. Artinya sekarang ini belum menjalani hidup dengan baik? Hehehe...
Saya termasuk manusia yang beruntung karena diberikan kesempatan kedua oleh Tuhan. Sepertinya bukan hanya kedua, tapi ketiga, keempat, dan seterusnya. Huaahh..banyak amat ya. Awalnya saya tidak terlalu memikirkan seperti apa sih saya ingin menjalani hidup ini. Ya, samalah seperti manusia lainnya. Usia muda, karir bagus (tim pendiri F. Psi PTS dan Vice Dean jeh..), penampilan normal, wajah proporsional (jarak antara mata-hidung-mulut pas, nggak kependekan, nggak kepanjangan), kecerdasan lumayan (ya iyalah..lha ngetes sendiri IQ-nya), serasa dunia bisa saya kuasai.. The world is in my hand (kayak slogan handphone aja). Oya, saya perfeksionis habis juga..
Semuanya berubah total ketika tahun 1999 saya mengalami kecelakaan bus. Saat itu saya sedang bertugas mengawal mahasiswa dari luar kota menuju Surabaya bersama rekan dosen lainnya. Bus menabrak pohon besar di pinggir jalan, terguling, berputar sekian derajat, lalu berhenti persis di pinggir jurang! Selama proses tabrakan itu saya mengikutinya. Saya sadar sepenuhnya. Melihat jelas saat bus menabrak pohon, mengikuti gerakan bus terguling dan jatuh ketika bus berputar. Bahu kiri saya patah karena tertimpa papan kayu kaki tiga. Sakitnyaaa.... Ajaibnya, saya tidak luka luar samasekali. Selama itu pula saya masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk berdoa. Ya, berdoa. Sepanjang mengamati tabrakan hingga kami semua keluar dari kaca depan bus, saya masih bisa berdoa. Perasaan tenang dan pasrah seketika melingkupi diri saya. Tahu nggak, saya tidak takut mati. Kata pasrah yang sering saya dengar berupa konsep, saat itu menjelma menjadi realita. Ternyata pasrah itu menyenangkan! Menenangkan. Disaat-saat genting itu, saya sadar, bahwa bukan jabatan yang saya bawa, bukan karir, bukan juga harta yang saya punya. Saya sadar juga bukan sikap perfeksionis yang penting dalam hidup ini. Semuanya hilang..
Titik balik pertama dalam kehidupan saya. Sejak itu saya mencoba mencari tujuan hidup saya. Untuk apa saya hidup dan bagaimana harusnya menjalani hidup ini kalau nanti saat saya mati, semuanya akan hilang? Kenapa Tuhan tidak mengijinkan saya mati dalam kecelakaan bus itu? Jawabannya hanya satu : Hidup Bermakna (Meaningful Life). Usia ini bukan milik kita, kapan tanggal kadaluarsanya pun kita tidak tahu. Maka saya memutuskan menjalani hidup secara lebih sungguh-sungguh. Hidup bertujuan. Agar tidak menyesal dikemudian hari.
Namun manusia itu mudah berubah dan lupa. Saya hidup seperti gaya lama. Rupanya Tuhan tidak menginginkan saya lupa. Peristiwa berikutnya membuat saya kembali pada tujuan hidup bermakna yang sudah saya canangkan. Terperangkap dalam lift dan jatuh dari lantai 5 itu momen kesempatan hidup ketiga (Kado dari Tuhan). Hmm.. hidup memang tidak mudah. Sekali bikin janji dengan Tuhan, bakal diingatkan terus supaya ditepati. Masih ada kesempatan keempat yang diberikan ketika saya selamat dari seretan truk pada motor saya. Waktu itu saya sudah yakin bakal mati beneran, karena motor saya kesangkut dengan ujung truk (besi hiasan bempernya). Ternyata tidak. Uff... Kesempatan hidup lainnya diberikan ketika saya masih tetap bisa bangun setelah beberapa kali operasi. Masih tetap bisa berkarya, masih bisa nulis di Kompasiana..hehe...
Hidup Bermakna
Ada ungkapan favorit saya dari Stephen Covey yang kira-kira bunyinya begini : Eager to learn, to love and to live legacy. Hidup untuk belajar selalu tanpa henti, untuk mencintai kehidupan itu sendiri dan meninggalkan warisan berupa sikap terhadap hidup. Motto yang saya temukan untuk jadi penyemangat.
Ini beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencapai hidup bermakna :
1. Tujuan Hidup
Saya tidak ingin ketika saya mati nanti, orang-orang bilang begini, "Syukurin.. akhirnya mati..". Saya ingin orang-orang bilang, "Naftalia ini pernah mampir dalam hidup saya". Entah mampir itu minta minum, atau sekedar ngobrol, tapi saya ingin bermakna dalam hidup orang lain.
Tanpa tujuan hidup yang jelas, akivitas keseharian tidak bermanfaat. Hampir sebagian besar klien saya tidak punya tujuan hidup sehingga tidak tahu mau berbuat apa ketika ada masalah datang. Seorang klien, pemuda, kaya raya, pendidikan baik, tampang bagus, mengeluh. Ia depresi. Hidupnya hampa, katanya. Dia bercerita sambil menangis bahwa ia ingin mati saja. Haduuuhhh... Ketika saya tanyakan apa tujuan hidupnya, ia menatap saya seolah-olah saya menyuruhnya makan cacing tanah hidup-hidup. "Maksud Ibu?" Lhoo.. ganti saya yang melongo.