Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memanipulasi Anak untuk Berhenti Merokok

17 September 2015   11:19 Diperbarui: 17 September 2015   12:55 1177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konon gerakan meminta dukungan orang lain untuk membantunya berhenti merokok ini dimulai oleh sejumlah anak di negara barat. Mereka berhasil meraih simpati. Kemudian akhir-akhir ini ada ayah-ayah perokok melakukan hal yang sama. Memasang foto anaknya seperti gambar di atas untuk meraih dukungan sebanyak 1000 like. Para pembaca terharu melihat perjuangan anaknya. Beribu 'like' diberikan. Apakah ayahnya berhenti merokok setelah itu? Tidak semua postingan semacam itu memberikan hasilnya.

Tangggungjawab Siapa Berhenti Merokok?

Awalnya saya tidak begitu memperhatikan fenomena minta bantuan like ini, tapi ketika ada beberapa kali muncul, saya pun tergerak untuk mengamati sekaligus berpendapat. Pertanyaan saya hanya satu:

Kalau ada perokok, ingin berhenti, maka siapa yang bertanggungjawab menghentikannya?

Tepat sekali. Jawabannya pada diri sendiri. Bukan orang lain. Keputusan untuk menjadi perokok itu sepenuhnya keputusan diri sendiri. Memang ada yang berkilah kalau diajak teman, sungkan kalau tidak mengikuti ajakan teman, kuatir disingkirkan dalam pertemanan, ya bolehlah sejumlah alasan diberikan. Tapi tetap saja keputusan untuk mengambil rokok, menyalakan, menghisap dan mengulangi lagi adalah keputusan pribadi.

Keputusan pribadi itu harus disertai dengan kesediaan menanggung konsekuensi. Salah satunya kesehatan diri sendiri, kesehatan orang lain dan juga kesulitan ekonomi. Kalau sudah muncul kesadaran bahwa konsekuensi itu lebih baik dihindari karena merugikan, maka muncul keinginan untuk berhenti merokok. Tetapi kalau belum timbul kesadaran bahwa merokok itu tidak hanya merusak kesehatan diri sendiri tapi juga keluarganya, maka perilaku merokok itu akan jalan terus.

Keharusan memikul tanggungjawab atas perilaku sendiri itu memang berat. Paling mudah adalah melemparkan tanggungjawab pada orang lain, sehingga ia bebas dari rasa bersalah ketika ia tidak mampu menghentikan perilakunya. "Khan aku sudah usaha.. Tapi gimana lagi, nggak ada yang mau bantuin". Sekilas tampak enak, sederhana dan sesat!

Banyak perilaku menyimpang, atau gangguan perilaku, bermula dari ketidakmauan bertanggungjawab pada diri sendiri. Individu ogah bertanggungjawab dan menanggung konsekuensi dari perbuatannya. Merekalah penderita neurosis. Memang paling mudah menyalahkan orang lain. Misalnya: Karyawan perusahaan yang lama tidak mendapatkan promosi, sementara anak buahnya sudah melesat karirnya. Dia marah dan kecewa. Sibuk menyalahkan atasan, anak buah, keluarga atas nasibnya itu. Padahal dia yang memiliki hak sepenuhnya untuk berubah.

Contoh lain: kasus bunuh diri seorang bapak yang sudah berkeluarga. Pada surat terakhirnya, ia berkata kalau dia sudah tidak sanggup hidup lagi karena kesulitan ekonomi. Ini cara berpikir menyimpang. Kalau dia dan istrinya saja tidak sanggup, apalagi istrinya sendirian. Ketakutan untuk memikul tanggungjawab sebagai kepala keluarga membuat bapak itu memilih 'pergi' dari dunia ini. Masih banyak contoh lain tentang bagaimana orang tidak mau bertanggungjawab pada perilakunya. Kembali pada kasus di atas.

Bagi saya, fenomena menggunakan anak untuk minta dukungan orang lain dalam bentuk 'like' sebanyak 1000 adalah konyol. Ayah yang melakukan hal ini adalah ayah yang tidak bertanggungjawab. Ia melimpahkan tanggungjawab pada anak dan orang lain. Kalau tidak ada yang memberikan 'like' pada posting tersebut, apa yang terjadi?

"Ayah nggak jadi berhenti merokok," kata ayah santai pada anaknya.

"Tapi ayah sudah janji mau berhenti kalau aku bantu ayah.." si anak merengek. Menagih janji sang ayah.

"Yaaa... tapi itu khan kalau kamu dapat 1000 like. Sekarang ini sudah berapa like kamu dapatkan? Cuman 50 khan? Artinya ayah masih boleh merokok.. " jawab ayah kalem.

"Ayah, aku takut ayah sakit. Aku dan mama sayang ayah. Nggak peduli jumlah like itu, Yah. Berhentilah merokok..." diiriingi isak tangis, anak memohon ayahnya berhenti merokok.

"Kamu nggak berhasil dapat 1000 like kok, ya ayah nggak bisa dong berhenti merokok," kilah si ayah tanpa beban.

Kemungkinan dialog semacam itu yang akan terjadi. Anda lihat, siapa yang harusnya bertanggungjawab? Jadi menurut saya, cara berhenti merokok-dengan-syarat-1000-like itu samasekali tidak benar. Niat palsu. Ayah yang menggunakan anaknya itu tidak sungguh-sungguh ingin berhenti. Kalau dia mau berhenti, maka dia akan proaktif. Ia akan mengunjungi terapis, berkonsultasi dengan dokter, berkomitmen mengurangi jumlah rokok per harinya, dan bisa juga minta bantuan keluarga/teman untuk menegurnya bila ia sudah melewati batas jumlah rokok yang ia tentukan.

Anak Belajar Menjadi Orang yang Tidak Bertanggungjawab

Sisi lain dari fenomena tersebut adalah anak belajar untuk tidak bertanggungjawab pada perilakunya. Ia melihat kalau dia mau berhenti dari suatu perilaku, maka hal itu bisa dilakukan dengan syarat. Kalau dia ingin berhenti mengompol, maka ia akan bilang ke ibunya : "Kalau Ibu bisa dapat 1000 like, aku berhenti ngompol." Nah..

Anak belajar untuk melakukan sesuatu dengan syarat, padahal kita mengajarkan anak-anak untuk bisa mencintai tanpa syarat. Dalam hal ini, anak 'dipaksa' untuk memiliki paradigma :

- Kita tidak bisa menghentikan perilaku kita yang salah, karena keputusan untuk berhenti itu tergantung pada orang lain

- Kalau tidak ada orang yang mau membantu kita untuk berubah, maka sebaiknya kita tidak berubah.

Apa memang paradigma seperti itu yang kita inginkan tumbuh dalam diri anak-anak kita?

Memanipulasi Anak Sebagai Dalih

Anak Menjadi Terbeban

Kalau target 1000 like tidak tercapai, siapa yang merasa bersalah?

Kalau sebelum target 1000 like tercapai, karena tidak ada batasan waktu, lalu si ayah-tercinta itu meninggal dunia sebelum sempat berhenti merokok yang disebabkan karena penyakit akibat merokok, siapa yang akan meratapi dan menyesali diri?

Saya pikir saya tidak perlu menjawab. Karena para pembaca tahu jawabannya. Satu pertanyaan lagi:

Apakah ayah yang semacam itu (pada 2 kasus di atas terutama) sungguh-sungguh sayang pada anaknya?

Apakah Perokok Bisa Sungguh-sungguh Berhenti?

Bisa. Asal memang berniat untuk berhenti. Klien saya membuktikannya. Ia mau dibantu terapi berhenti merokok. Hanya 30 menit keinginannya untuk merokok lenyap. Bahkan mual ketika ia mengambil rokok dan mencium baunya. Terapi berulang beberapa kali untuk memastikan kebiasaannya berhenti. Ternyata bisa. Teman-teman kerjanya tersemangati juga, meski pada awalnya mereka meledek karena tidak percaya perokok semacam dia bisa berhenti. Niat dulu. Lalu berupaya keras membuat komitmen dengan diri sendiri. Cari bantuan bila memang diperlukan. Pasti bisa. Jangan gunakan anak sebagai dalih ketidakberdayaan Anda.

Semoga tulisan singkat ini bisa menggugah para ayah perokok untuk berhenti dengan penuh tanggungjawab.

*) Keterangan Gambar Utama: Anak yang Minta Dukungan 1000 Like Agar Ayahnya Berhenti Merokok

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun