Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Strategi Menghadapi Bullying

12 Agustus 2015   09:41 Diperbarui: 24 Maret 2022   13:37 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak saya tidak mau sekolah, Bu. Dia diejek teman-temannya. Alat tulisnya diambil, bukunya disembunyikan. Anak saya tidak suka berkelahi, jadi dia tidak bisa melawan. Pelakunya banyak, bukan hanya satu orang tetapi beberapa orang. Anak saya minta pindah sekolah, Bu. Apa yang harus saya lakukan?”

Keluhan di atas berasal dari seorang ibu yang datang konsultasi bersama anaknya. Anaknya masih kelas 5 SD. Keluhan semacam itu tidak hanya satu kasus saja, melainkan cukup banyak. Rata-rata anak yang mengalaminya tidak menceritakan sejak awal perlakuan yang diterimanya. Mereka berusaha mengatasinya sendiri. Ketika mereka merasa sudah tidak mampu lagi, barulah mereka bercerita pada orangtua dengan keputusan bulat : ingin pindah sekolah. Titik.

Apakah Anda sering mendengar keluhan seperti itu? Atau anak Anda sendiri pernah mengalaminya? Atau Anda dulu pernah mengalami?

Sebenarnya apa yang terjadi?

Perlakuan tidak menyenangkan seperti kasus di atas dapat dialami oleh siapa saja. Bukan hanya anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Namun khusus pada kesempatan ini, saya akan bahas perlakuan tersebut pada anak-anak.

Menurut Goodwin (2009), tindakan untuk melecehkan, menghina, mengejek, melukai, menyerang baik secara fisik maupun verbal termasuk kateogri bullying.Tindakan bullying dilakukan dengan tujuan untuk membuat orang lain tidak berdaya, terluka, merasa tidak berarti, menghilangkan rasa percaya diri dan rasa tidak aman.

Pelaku bullying biasanya memilih korban dengan karakteristik lebih lemah dan dianggap tidak setara dengan mereka. Pelaku bisa terdiri dari satu orang atau bahkan sekelompok orang. Perlakuan tidak menyenangkan itu bukan hanya sesekali, tetapi dilakukan berulang kali. Pelaku bullying bisa siapa saja, mulai dari teman, keluarga hingga guru atau atasan.

Siapa yang Dapat Menjadi Korban Bullying?

Anak-anak atau individu yang menjadi korban bullying biasanya memiliki karakteristik tersendiri. Mereka yang rentan menjadi korban adalah mereka yang :

  1. Tidak percaya diri. Anak-anak yang menunjukkan kurangnya percaya diri merupakan sasaran empuk bagi siapa saja. Sekalipun mungkin badan mereka cukup besar, tapi bila tidak punya kepercayaan diri, maka tetap saja mereka menjadi target.
  2. Tidak memiliki teman. Biasanya terjadi bila seseorang memasuki lingkungan baru. Tidak adanya teman dapat berarti tidak adanya dukungan sosial. Mereka hanya sendirian dan hal itu tentu saja “menyenangkan” bagi pelaku bullying.
  3. Merasa diri tidak berharga. Anggapan bahwa dirinya tidak berharga, merasa terkucil, kesepian, tidak layak untuk dijadikan teman adalah serangkaian karakteristik yang mudah dijadikan target bullying.
  4. Tidak memiliki kemampuan lain. Anak-anak yang tidak punya kelebihan atau sesuatu yang dapat dibanggakan, cenderung menjadi korban bullying. Mereka yang tidak menonjol dalam bidang akademik, tidak memiliki kemampuan dalam bidang olahraga dan seni, serta tidak punya kegemaran (hobby) untuk ditekuni biasanya lebih mudah dijadikan korban.
  5. Merasa berbeda dengan orang lainnya. Perasaan berbeda yang dimiliki bukan dijadikan sebagai kebanggaan, tapi membuat mereka tidak nyaman. Hal inilah yang dapat memicu tindakan bullying.

 

Apa yang Dapat Dilakukan?

Tidak bisa dipungkiri, ketika orangtua mendengar anaknya mengalami bullying, mereka ingin segera datang ke sekolah dan menonjok pelakunya! Benar khan?

Hmmm… tapi itu bukan tindakan tepat, wahai Bapak-Ibu.. Lalu apa yang bisa dilakukan? Ingat! Hati boleh panas, tapi kepala tetap dingin (kalau tidak bisa, coba buka kulkas dan ‘ngadem’ sebentar di sana).

Sebagai langkah awal, ada 3 hal yang tepat dan dapat dilakukan orangtua :

  1.  Mendengarkan. Mendengarkan. 
  • Respon umum orangtua adalah : ‘Biarkan saja. Tidak perlu ditanggapi. Kamu terlalu sensitif. Dulu ayah/bunda juga mengalami. Nanti khan teman-temanmu bosan sendiri’. Respon ini samasekali tidak tepat dan tidak membantu. Bagaimana bisa membandingkan dengan jaman dulu saat TV masih berwarna hitam putih? Mengabaikan keluhan anak akan berdampak pada diri anak bahwa dia memang layak diperlukan tidak baik oleh teman-temannya.
  • Dengarkan cerita anak dengan serius. Minta anak memperagakan bagaimana perlakuan itu terjadi. Tanyakan dengan detail. Tapi bukan interogasi ya. Siapapun tidak suka bila diinterogasi. Kalau tidak percaya, coba Anda lakukan pada pasangan Anda ketika Anda curiga bahwa dia selingkuh. Tidak bakalan ngaku khan?
  • Tidak menghakimi anak dan tidak menyalahkan. Dia sudah cukup menderita dengan perlakuan itu, tidak perlu lagi ada komentar negatif. Ada orangtua yang menyalahkan anaknya. “Rasain sekarang gimana nggak enaknya. Kamu sih sering gangguin adik di rumah, sekarang kamu diganggu di sekolah”. Komentar itu samasekali tidak tepat. Bukan membuat anak bangkit dari masalahnya, tapi akan membuat dia makin terpuruk. Apakah memang itu yang Anda inginkan?
  • Katakan padanya bahwa dia punya hak untuk diperlakukan sama. Punya hak untuk dilindungi. Anak perlu tahu hal itu. Dorong dia untuk bercerita lebih lengkap.
  • Jangan marah, apalagi berlebihan, misalnya memukul meja, membanting kursi atau melempar gelas saat mendengarkan anak bercerita. Pertama, hal itu akan merugikan Anda sendiri. Anda harus keluar uang lagi untuk mengganti barang-barang yang rusak itu, apalagi kalau barang itu milik mertua. Nah khan, bisa panjang urusannya.. Kedua, anak akan takut. Dia takut Anda akan bereaksi seperti itu di sekolah, yang mana hal itu akan membuat dia berpikir ulang untuk bercerita lagi.
  1. Membangun Rasa Percaya Diri. 
  • Ada banyak cara untuk membangkitkan rasa percaya diri anak. Mulailah dari diri sendiri. Apakah Anda sering mengoloknya di rumah? Memberikan julukan yang tidak baik padanya? Kalau iya, segera berhenti.
  • Ajak anak beraktivitas fisik, melatih beberapa gerakan beladiri sederhana, dan cari berbagai hal positif pada diri anak. Katakan pada anak bahwa dia berharga, dia anak yang disayang oleh semua orang.
  1. Bermain Peran
  • Ajak anak bermain peran. Minta anak menunjukkan situasi bullying yang dialami, lalu latih beberapa tindakan untuk mengatasinya. Pujilah anak bila dia bisa melakukan tindakan untuk mengatasi dalam latihan itu. Berikan motivasi bahwa dia bisa. Hindari kata-kata meledek selama proses latihan.
  • Latih anak untuk mengambil keputusan dalam situasi kritis. Apa yang harus dia lakukan itu penting baginya. Anak perlu tahu konsekuensi dari tindakan itu sehingga dia bisa menentukan langkah ketika berhadapan dengan situasi yang tidak terkendali.
  1. Hubungi Pihak Sekolah

      Bila Anda memutuskan untuk melaporkan kasus bullying anak Anda ke sekolah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :

  • Pastikan data yang Anda miliki sudah cukup sebagai dasar melaporkan. Kalau tidak ada data, nanti Anda akan dianggap tukang gosip. Susah khan…
  • Informasikan pada anak bila Anda akan menghubungi sekolahnya. Kalau anak tidak tahu, tiba-tiba dia melihat Anda muncul di sekolah, bisa jadi kemunculan Anda menjadikan bahan ledekan baginya.
  • Saat bertemu dengan pihak sekolah, upayakan bersikap tenang. Ceritakan kejadian versi Anda dengan detail, sistematis dan runtut. Tidak perlu beropini macam tulisan di Kompasiana. Oya, tidak perlu mendramatisir keadaan seperti sinetron ya. Nanti dikira Anda sedang latihan akting. Siapa yang percaya kalau gitu?

 Penutup

Bullying bisa terjadi pada siapa saja. Tidak perlu menyalahkan diri sendiri bila anak mengalami bullying. Dalam sisi positif, dengan adanya peristiwa bullying, anak akan belajar menghadapi situasi sulit dalam hidupnya. Bukan berarti saya mengharapkan anak Anda di-bully terus menerus ya.. Tidak begitu. Sesekali anak mendapat kesempatan untuk menghadapi situasi yang kurang menyenangkan itu ada bagusnya juga. Orangtua juga bisa punya kesempatan untuk lebih dekat dengan anak-anaknya.

Semoga artikel ini bermanfaat.

 

Referensi :

Strategi Mengatasi Bullying, David Goodwin, 2009, Penerbit : Lexy Pello, Jawa Timur

---

Ilustrasi: wisegeek.com

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun