Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Saya? Boneka... "

8 Agustus 2015   17:36 Diperbarui: 8 Agustus 2015   17:42 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

"Saya? Boneka.."

Kata-kata mengenaskan itu keluar dari mulut seorang remaja laki-laki. Ia tidak tahu siapakah dirinya, apa tujuan hidupnya, apa cita-citanya kelak.

"Kenapa kamu katakan dirimu boneka?"
"Ya.. saya alat bagi orang lain untuk memenuhi harapan mereka"

Sebelumnya, ibunya bercerita kalau anak bungsunya ini adalah harapan terakhirnya. Ketiga anak perempuannya yang lain tidak lulus sekolah karena hamil diluar nikah. Tidak ingin gagal lagi, si ibu mengatur anaknya sedemikian rupa sehingga anak bungsunya tidak punya ruang gerak (Orangtuanya yang gagal mendidik, kok anak bungsu yang jadi pelampiasan? Nggak habis pikir deh).

Disisi lain, anak tidak punya keberanian untuk menentukan pendapatnya sendiri karena ibu selalu punya cara untuk mengendalikan dirinya antara lain fasilitas dan finansial. Anak menjadi tergantung pada orangtuanya. Terjadi pertukaran yang tidak seimbang.

Ibu membawa anak yang mulai tidak bisa dikendalikan lagi ini menemui psikolog agar "diperbaiki". Keluhan ibu terhadap anaknya: malas kuliah dan main game terus menerus.

"Kenapa malas kuliah? Katanya jurusan itu kamu yang milih sendiri?" tanya saya setelah ibunya keluar ruangan.
"Sebetulnya saya tidak suka jurusannya. Tapi karena ibu selalu bilang tidak memaksa milih jurusan teknik, tapi sehari bisa masuk keluar kamar saya lebih dari 4 kali dengan ngomong yang sama. Ya, saya pilih jurusan teknik itu saja", ceritanya panjang lebar.

"Ya.. alasan itu bisa diterima. Apalagi yang bikin kamu malas kuliah?"
"Kata-kata ibu.. Saya berusaha lolos ujian mahasiswa baru. Tapi ibu bilang kalau karena ayah saya bayar koneksinya sekian puluh juta, supaya saya bisa diterima. Jadi bukan karena usaha saya. Rasanya kecewa, Bu". Lalu ia menarik nafas.

Hmmm... Ibunya sungguh berniat "mengasuransikan" hidupnya pada anak bungsunya ini. Satu hal yang tidak ia sadari, anak itu titipan Tuhan, bukan milik orangtua yang bisa dinihilkan potensi dan dipangkas kepribadiannya.

Ibu itu juga tidak sadar ia sedang menciptakan sosok manusia tanpa masa depan.

Paradigma Menyesatkan

Bukan kali itu saja saya menghadapi klien dengan permasalahan yang hampir sama. Orangtua menganggap anaknya sebagai aset, properti, barang kepemilikan, yang bisa diperlakukan semau-maunya. Orangtua titip harapan kegagalannya pada anak yang "tersisa". Lalu mereka berharap "piala" itu bisa dibanggakan ke mana-mana dan diakui sebagai "hasil perjuangannya".

Bagaimana dengan sisi si anak itu sendiri? Pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Pada awalnya anak akan mengikuti keinginan orangtua, namun hingga pada suatu titik, anak akan menemukan kehendaknya sendiri. Kehendak yang sudah Tuhan berikan padanya. Di sinilah konflik terjadi. Pertengkaran, umpatan, bahkan kutukan terhadap masa depan anak pun terlontar.

Pada kasus yang lain, ada seorang remaja putri yang berupaya mati-matian menguasai ilmu akuntansi. Namun apa daya, ia gagal. Sikap terhadap kegagalan itu berlebihan (menurut saya). Lalu saya tanyakan mengapa hanya tidak lulus beberapa matakuliah seperti menghadapi hari kiamat, siswi itu menjawab, "Saya tidak ingin mengecewakan mama saya, Bu. Semua kakak saya tidak ada yang kuliah, hanya saya saja. Padahal saya ingin masuk jurusan pariwisata, tapi mama bilang tidak boleh".

Paradigma orangtua yang menganggap mereka layak memperlakukan anak-anaknya sesuai dengan keinginannya, dan untuk itu mereka boleh melakukan apa saja terhadap anaknya, adalah paradigma yang menyesatkan. Bagi orangtua itu sendiri dan bagi anak tentunya. Menyesatkan bagi orangtua karena mereka lupa bahwa anak itu titipan Tuhan. Maka yang berlaku bagi anak itu adalah kehendak-Nya, bukan kehendak -apalagi pemaksaan- dari orangtua.

Biarkan Mereka Menemukan Jalannya Sendiri

Saya ingin menyakinkan para orangtua yang membaca tulisan ini, bahwa bila Anda membiarkan anak menemukan jalannya sendiri, maka kebahagiaan akan menjadi milik keluarga (Anda dan anak-anak Anda). Bukan berarti anak-anak tidak perlu didampingi, dinasihati, diarahkan, atau dibimbing, samasekali bukan itu. Semuanya perlu dilakukan, terutama sejak anak-anak masih kecil.

Mengarahkan anak untuk menentukan masa depannya dalam hal karir dan pekerjaan merupakan kewajiban orangtua, namun niat awal dalam pengarahan/pendampingan itulah yang penting. Hendaknya orangtua mawas diri dan murni. Niscaya anak akan berjalan sesuai dengan kehendak Penciptanya.

Kegagalan mendidik anak yang satu, janganlah ditimpakan pada anak lainnya. Janganlah membuat anak yang lain -seolah-olah- harus "membayar" kesalahan itu dengan segudang prestasi atau cetakan-karir-gemilang yang sudah dipersiapkan.

Bagaimana?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun