Â
"Saya? Boneka.."
Kata-kata mengenaskan itu keluar dari mulut seorang remaja laki-laki. Ia tidak tahu siapakah dirinya, apa tujuan hidupnya, apa cita-citanya kelak.
"Kenapa kamu katakan dirimu boneka?"
"Ya.. saya alat bagi orang lain untuk memenuhi harapan mereka"
Sebelumnya, ibunya bercerita kalau anak bungsunya ini adalah harapan terakhirnya. Ketiga anak perempuannya yang lain tidak lulus sekolah karena hamil diluar nikah. Tidak ingin gagal lagi, si ibu mengatur anaknya sedemikian rupa sehingga anak bungsunya tidak punya ruang gerak (Orangtuanya yang gagal mendidik, kok anak bungsu yang jadi pelampiasan? Nggak habis pikir deh).
Disisi lain, anak tidak punya keberanian untuk menentukan pendapatnya sendiri karena ibu selalu punya cara untuk mengendalikan dirinya antara lain fasilitas dan finansial. Anak menjadi tergantung pada orangtuanya. Terjadi pertukaran yang tidak seimbang.
Ibu membawa anak yang mulai tidak bisa dikendalikan lagi ini menemui psikolog agar "diperbaiki". Keluhan ibu terhadap anaknya: malas kuliah dan main game terus menerus.
"Kenapa malas kuliah? Katanya jurusan itu kamu yang milih sendiri?" tanya saya setelah ibunya keluar ruangan.
"Sebetulnya saya tidak suka jurusannya. Tapi karena ibu selalu bilang tidak memaksa milih jurusan teknik, tapi sehari bisa masuk keluar kamar saya lebih dari 4 kali dengan ngomong yang sama. Ya, saya pilih jurusan teknik itu saja", ceritanya panjang lebar.
"Ya.. alasan itu bisa diterima. Apalagi yang bikin kamu malas kuliah?"
"Kata-kata ibu.. Saya berusaha lolos ujian mahasiswa baru. Tapi ibu bilang kalau karena ayah saya bayar koneksinya sekian puluh juta, supaya saya bisa diterima. Jadi bukan karena usaha saya. Rasanya kecewa, Bu". Lalu ia menarik nafas.