Sekilas seperti hitungan matematika anak TK. Semua orang pasti bisa mengerjakannya. Tapi di sini saya bukan ingin mengajak untuk berhitung seperti itu. Saya tertarik untuk mengaplikasikan konsep hitungan itu dalam perbuatan kita sehari-hari.
Ide ini muncul ketika saya menanggapi cerita seorang teman baik beberapa saat lalu. Ia menceritakan kalau seminggu terakhir dirinya sibuk mengurus anak tidak mampu. Anak itu, sebut saja Tono, ditinggalkan oleh ibunya di panti asuhan milik teman saya tadi. Sedangkan ibunya sibuk juga.. tapi sibuk pacaran dengan laki-laki lain (suaminya sudah meninggal) sambil bekerja juga. Menurut teman saya, sikap ibunya tidak peduli. Karena sudah menganggap anaknya menjadi tanggungjawab panti asuhan, maka ibunya tidak mau terlibat samasekali. Bukan hanya material tapi non-material pun ibunya tidak ambil pusing.
Nah, suatu hari teman saya ini ribut dengan si ibu yang bersikukuh tidak mau membawa anaknya meskipun dia sudah mapan. Akibatnya si anak berulah juga. Teman saya marah dengan ibunya, karena dia menganggap si ibu berusaha mengalihkan tanggungjawab pada pihak panti. Sambil bercerita, teman saya marah sambil mengata-ngatai ibunya dengan kata-kata kasar. Duh! Saya yang mendengarnya risih. Perbuatan baik yang dia lakukan yaitu menampung anak itu, mendidiknya, merawat ketika anak itu sakit, mengkhitankan, mengajaknya jalan-jalan, dan sebagainya seolah-olah 'terbang' seiring dengan kata-kata kasar yang dia lontarkan pada ibu si anak itu.Â
Sebelum kemarahannya berlanjut menjadi duri dalam dagingnya, saya mencoba memberinya paradigma berbeda. Kalau perbuatan baik itu kita beri bobot = 1, sedangkan perbuatan tidak baik itu kita beri nilai = -1. maka apa yang dia lakukan itu 1 - 1 = 0. Nilai dari perbuatan baik itu menjadi hilang. Tidak ada nilai ibadahnya sama sekali. Hal-hal baiknya ada tapi tidak ada 'rasa manis'nya. Tinggal ampasnya saja. Persis seperti parutan kelapa yang sudah kehilangan santannya, maka tinggal ampasnya saja. Ampasnya ada, tapi santannya habis. 1-1=0.
Seringkali kita (termasuk saya) masih melakukannya. Berbuat baik pada orang lain, tapi kita mengatakan hal-hal buruk tentang orang itu. Contoh paling sederhana adalah memberikan sedekah/sumbangan atau apapun namanya pada pengemis. Setelah menyumbang, lalu mikir atau ngomong dengan orang lain, "Ya gitu lho kalau malas kerja, jadi miskin!". Itu artinya 1-1=0.
Bukan hanya mengatakan yang buruk yang nilainya -1, tapi motivasi yang tidak tulus termasuk di dalamnya. Misalnya memberikan sumbangan pada panti asuhan, korban bencana, dan sebagainya kemudian minta diliput. Alasannya sih untuk memberikan inspirasi pada orang lain, tetapi sesungguhnya supaya mendapatkan image "orang baik". Memang niat itu hanya dirinya sendiri dan Tuhannya yang tahu. Dan itu artinya 1-1=0.
Dibutuhkan pengendalian diri terhadap organ tubuh tertentu yaitu mulut untuk tidak mudah berkomentar. Tidak mencela. Setelah melakukan perbuatan baik, sudah. Lepaskan. Ikhlaskan. Selesai. Tawaran saya, rumus matematika yang lain yaitu 1+1=2.
Maknanya perbuatan baik bernilai 1, mendoakan orang yang dibantu semakin baik hidupnya = 1 dan hasilnya adalah 2. Nilai 2 (dua) itu adalah baik di dunia dan (semoga) mendapatkan tempat baik di akhirat nanti. Jadi daripada ngomelin orang yang diberi bantuan, mending langsung mendoakan. Atau mengucapkan syukur karena diberi kesempatan Allah untuk menjadi orang yang mampu membantu. Bukan menjadi orang yang perlu dibantu. Itu nilainya 1.
Selain itu, ada makna lain dari rumus 1+1=2. Lakukan perbuatan baik saat ini (1) dengan penuh komitmen, tanggungjawab dan sejumlah kualitas positif lainnya (1) maka "buah perbuatan" itu akan dinikmati bukan hanya diri sendiri tapi lingkungan sekitarnya (2). Keren khan? Salam perubahan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H