Terdengar pintu kamarnya dibuka dengan keras oleh Bejo, pelayan setianya. Spontan Sang Jenderal menoleh dan membentak, “Sudah berapa kali saya bilang!!! Ketuk dulu!!! Saya tidak suka kamu masuk begitu saja! Ngerti?!”
Wajahnya memerah.
Bejo, yang sudah terbiasa dengan peringai majikannya, hanya menunduk dan berkata lirih, “Maaf Tuan Jenderal”. Ia pun mundur beberapa langkah. Lalu diam. Menunggu.
Sang Jenderal pun kembali mengarahkan pandangannya pada kemeja putih di depannya.
“Ada apa? Ada yang penting hingga kamu masuk terburu-buru begitu?”
“Ngg…ngg… Saya ingin memastikan apakah besok Tuan Jenderal mau mengadakan upacara di lapangan desa kita?” tanya Bejo hati-hati.
“Iya tentu saja. Semua sudah dipersiapkan oleh tim kita. Saya memang harus memimpin upacara besok. Sudah menjadi kewajibanku untuk memimpin upacara kemerdekaan tanah kita ini. Bukankah demikian, Bejo?”
Bejo masih menimbang. Ada yang ingin ia katakan, tapi kuatir dengan konsekuensinya. Di sisi lain ia tidak tega untuk membatalkan niat junjungannya ini. Namun ia memberanikan diri.
“Mohon maaf, Tuan Jenderal. Menurut saya, alangkah baiknya bila Tuan menghadiri upacara bersama Gubernur di lapangan kota. Beliau pun sudah mengundang Tuan secara pribadi, bukan? Lagipula kali ini Gubernur ingin berpamitan pada kita semua. Bagaimana…”
“DIAAMMMM!!!” Tuan Jenderal membentak untuk kedua kalinya. Bejo tergagap. Sebenarnya dia sudah mempertimbangkan situasi ini namun tak urung hatinya bergetar juga. Bentakan Sang Jenderal rupanya tidak berhenti sampai di situ.
“KAMU INGIN AKU MENGKHIANATI SUARA RAKYATKU??? KAMU TIDAK PAHAM PERJUANGAN, BEJO!!!” Menggelegar suara Tuan Jenderal memenuhi ruangan pribadinya. Nafasnya memburu. Hidungnya mengembang. Tanda ketidaksabaran bermunculan.