Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Gelas Berisi Batu Koral (Pilihan Prioritas Kehidupan)

25 Agustus 2014   20:46 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:35 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Gelas Berisi Koral

Suatu sore saya bertemu dengan seorang teman. Kami ngobrol tentang pelbagai persoalan antara lain pilihan antara bekerja ataukah menjadi ibu rumah tangga, pilihan antara mendahulukan keluarga ataukah kegiatan sosial, dan sebagainya. Pilihan-pilihan yang tidak mudah bagi yang mengalaminya. Nasihat bijaknya hanya satu : Harus punya prioritas!

Lalu teman saya menceritakan tentang gelas berisi koral. Seorang guru menyuruh muridnya memenuhi sebuah gelas dengan koral. Ternyata masih ada ruang kosong di antara batu koral tersebut. Gurunya menyuruh muridnya mengambil batu kerikil untuk dimasukkan ke dalam gelas tersebut. Ternyata masih ada sisa ruang kosong dalam gelas. Kemudian guru meminta muridnya mengambil pasir halus dan memasukkannya. Namun masih ada celah diantara batu-batuan itu. Terakhir diambilnya air dan dituangkan perlahan-lahan. Gelas menjadi penuh.

Perumpamaan itu menggambarkan prioritas kehidupan yang harusnya kita miliki. Batu koral yang paling besar menjadi pondasi adalah prioritas utama, maka batu itu harus menempati urutan pertama. Apakah batu koral kehidupan kita? Spiritualitas. Ya!

Semua hal yang kita kerjakan harus berlandaskan spiritualitas. Pekerjaan yang kita lakukan, didikan terhadap anak-anak, pikiran kita, dan sebagainya harus memiliki landasan spiritual. Jika tidak, maka semuanya sia-sia belaka. Perbuatan kita tidak memiliki nilai. Hanya seperti ampasnya kelapa setelah diperas berkali-kali. Kita hidup tapi mati. Mengapa kita bekerja dengan baik? Supaya mendapatkan pujian dari atasan atau ingin bersyukur dengan kemampuan yang kita miliki?

Kalau memang kita bekerja dalam dan untuk Tuhan kita, maka rasa lelah setelah bekerja akan hilang. Lelah secara fisik tetap ada tapi lelah psikis akan sirna. Jika kita tidak membawa pekerjaan kita lebih dalam secara spiritual, maka dampak dari rasa lelah itu merugikan diri sendiri. Kita akan mudah terbawa emosi ketika melihat perilaku anak-anak yang tidak sesuai aturan, rumah berantakan, nilai pelajaran mereka jelek, laporan dari orang lain tentang ulah anak-anak kita. Reaksi emosi ini biasanya berwujud pada pukulan fisik ke anak-anak seperti fenomena berikut ini.

Suatu hari saya berbelanja di minimarket dekat rumah. Tiba-tiba saya mendengar rengekan anak kecil. Ibunya, masih mengenakan seragam kerja, membentak anak agar diam. Bukannya diam, si anak makin keras rengekannya. Sekarang ditambah hentakan kakinya. Usia anak tersebut kurang lebih 3 tahun. Ibunya menyeret tangannya, memukul pantatnya dan mencubit tangannya. Sempat saya dengar ibunya berkata kalau ia capek dan tidak suka anaknya meminta barang dengan rengekan. Tentu saja si anak tidak bisa mendengar kata-kata ibunya karena ia sibuk merengek dan menangis. Dengan kasar, ibunya menarik anaknya keluar dari lorong barang minuman, mengomel, mengancam, tanpa peduli anaknya terseyok-seyok mengikuti langkahnya. Saya trenyuh melihat hal itu namun tidak berdaya untuk berbuat sesuatu.

Batu kerikil menggambarkan keluarga kita. Prioritas kedua setelah spiritualitas. Dengan bekerja kita mendapatkan kemapanan finansial (karena kita labil ekonomi…hehehe…) untuk meningkatkan kualitas kehidupan keluarga. Bukan supaya anak-anak kita terpenuhi kebutuhan materinya saja, tetapi juga kualitas pendidikan karakternya pun harus terpenuhi. Aktivitas pekerjaan harusnya tidak boleh mengalahkan keluarga. Ketika keluarga sudah mulai dikorbankan demi pekerjaan, maka saat itulah prioritas kedua ini turun pamornya. Saya ingin bertanya pada Anda, mengapa Anda betah berada lama di kantor dibandingkan di rumah? Mengapa Anda berupaya optimal untuk memajukan perusahaan dibandingkan mendampingi anak-anak Anda belajar (dan tidak menonton sinetron saat anak belajar)? Hanya Anda yang bisa menjawab dengan jujur. Cerita berikut ini mengungkapkan maksud saya akan prioritas keluarga lebih penting dibandingkan pekerjaan.

Teman saya, sebut saja namanya Bunga Mawar, adalah wanita karir. Ia sempat menduduki posisi wakil pimpinan bank swasta cukup besar di tanah air. Suaminya juga seorang pendidik yang cukup diperhitungkan karyanya. Perjalanan karir Bunga Mawar terpaksa harus berhenti ketika anaknya didiagnosa menderita dyslexia (kesulitan membaca). Memang tidak mudah baginya untuk meninggalkan posisi dan jabatannya, namun baginya mendampingi putra sulungnya jauh lebih penting. Itu pengakuannya pada saya. Hingga kini Bunga Mawar tetap menjadi ibu rumah tangga. Anaknya sudah memasuki tingkat pendidikan tinggi. Prestasi akademiknya cukup memuaskan untuk kondisinya. Keputusan yang diambil Bunga Mawar beberapa tahun yang lalu berbuah manis saat ini.

Isi gelas berikutnya adalah pasir halus. Pasir mengisi ruang kosong. Ruang yang tersisa di antara baru koral dan kerikil. Siapakah pasir halus dalam kehidupan kita? Mereka adalah lingkungan sekitar kita. Teman, kolega, sahabat, tetangga, komunitas, dan sebagainya. Kehadiran mereka menjadi pelengkap dalam kehidupan kita. Sebagai mahkluk sosial kita memang wajib memperhatikan orang lain, masyarakat di mana kita berada, tapi bukan berarti mereka adalah prioritas utama.

Jika ada seseorang yang lebih mendahulukan menolong keluarga besarnya, teman-temannya atau bahkan orang lain tetapi keluarganya sendiri (pasangan dan/atau anak-anaknya) dalam keadaan tidak sejahtera, apakah hal itu dibenarkan? Mungkin Anda pernah mengenal orang yang mengalami peristiwa seperti ini : Dia senang sekali menghadiri pertemuan sosial di lingkungan, di kantor, di organisasi lainnya tetapi merasa tidak punya cukup waktu untuk hadir dalam acara penerimaan raport anak, tidak cukup waktu untuk menghadiri lomba pentas seni anak-anaknya. Lalu pertanyaan saya, bagi dia siapakah yang lebih penting?

Benda terakhir yang kita masukkan adalah air. Air melingkupi semuanya. Membuat gelas menjadi sungguh-sungguh penuh. Dalam cerita ini, air melambangkan rasa cinta terhadap apapun yang kita lakukan. Sekecil dan sesederhana apapun tindakan kita, diperlukan rasa cinta itu. Mencintai apa yang kita kerjakan, akan mendatangkan banyak hal baik lainnya. Bahkan ketika kita menyapu ruangan yang disertai dengan kesungguhan pada tugas itu, maka kita dulu yang memetik hasilnya. Apa itu? Perasaan puas dan senang. Itulah hal baik yang akan menarik hal baik lainnya. Semua tindakan yang dialiri "air" ini akan bermakna. Tidak akan menjadi "batu" kering, tetapi berbuah manis.

Urutan batu koral-kerikil-pasir-air tidak bisa dibalik. Misalnya air dimasukkan dulu, baru kerikil lalu batu koral. Airnya akan tumpah, batu koralnya tidak bisa masuk dalam jumlah banyak, masih tersisa banyak ruang kosong. Artinya hidup kita masih ada waktu dan tenaga terbuang percuma. Sayang khan? Urutan prioritas yang kacau akan membuat kita kehilangan pegangan ketika kita menghadapi masalah. Kita mudah terombang-ambing.

Tidak percaya? Silakan dicoba dan ceritakan pada saya hasilnya..


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun