Penulis : Muhammad Nafis Athallah (230904040)
Program Studi : Ilmu Komunikasi USU
Dosen Pengampu : Drs. Syarifuddin Pohan, S.H, M.Si, Ph.D
Email : nafisathallah7134@gmail.com
Paradigma : Historisisme
Bagi para keturunan Jawa yang tinggal di pulau Sumatra, pasti tidak asing lagi dengan istilah pujakesuma! Pujakesuma sendiri merupakan akronim dari ‘putra jawa kelahiran sumatra’. Orang-orang Jawa modern tercatat pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Sumatra secara masif itu salah satunya saat era kolonial Belanda. Di mana pada saat itu banyak pekerja kontrak dari Jawa didatangkan sebagai buruh tani untuk perkebunan tembakau di Deli, dan kemudian mereka menjadi nenek moyang bagi orang-orang keturunan Jawa yang tinggal saat ini di Medan.
Secara historis juga, diaspora suku Jawa memang sudah tersebar ke seluruh wilayah Nusantara bahkan sebelum negara Indonesia itu eksis. Ditambah dengan program pemerintahan kita di zaman orde baru mengenai transmigrasi penduduk Jawa, maka lengkap sudah cerita kenapa suku Jawa dapat dengan mudah ditemui di segala sudut negeri ini. Karena luasnya demografi dan persebaran suku Jawa di Indonesia, maka penulis dalam artikel hanya akan memfokuskan pembahasan dan analisis pada populasi suku Jawa yang tinggal dan bermukim di Provinsi Sumatera Utara, terkhususnya Kota Medan.
Meskipun sudah terpisah ribuan kilometer dari tanah asalnya ditambah keturunan dari generasi muda mereka lahir dan besar di tanah Sumatra (hubungan terputus, tidak memiliki hubungan lagi dengan Pulau Jawa), namun  orang-orang Jawa di Medan masih tetap mempertahankan identitas kesukuan mereka melalui pertunjukan kesenian dan tradisi pementasan wayang kulit. Untuk seterusnya, penulis akan menyebut secara spesifik dengan frasa ‘Jawa Medan’, yang merujuk pada sekelompok populasi etnis suku Jawa yang sudah lama tinggal dan bermukim, serta berbaur dengan masyarakat setempat di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara.
Dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan paradigma historisisme dalam membedah permasalahan dan pembahasan yang muncul. Paradigma historisisme adalah sebuah sudut pandang yang mengambil pendekatan untuk menjelaskan setiap fenomena/peristiwa (terutama fenomena sosial dan praktik kebudayaan) dengan mempelajari sejarahnya.
Urgensi dari pelestarian pertunjukan tradisi wayang, selain karena aspek seni dan keindahan (nilai estetika) juga ada aspek edukasi dan nilai komunikasinya. Wayang adalah pertunjukan yang biasanya mengambil alur cerita dari mitologi-mitologi India klasik seperti Mahabharata, Palguna-Palgunadi dan Bharatayuda. Jika kita melihat ke belakang dari awal, tradisi perwayangan adalah budaya hasil dari akulturasi budaya India kuno dengan budaya Nusantara kuno (dalam hal ini Jawa kuno), yang sangat kental akan unsur-unsur keagamaan Hindu. Namun lambat laun seiring perkembangan zaman di Nusantara, wayang terus mengalami kolaborasi dari banyak kebudayaan lain di dunia, termasuk salah satunya dengan Islam. Pertemuan kebudayaan Islam dengan masyarakat Jawa di masa kerajaan Majapahit tidak bisa lepas dari kontribusi dan usaha para Wali Songo dalam berdakwah dan menyebarluaskan ajaran Islam di tanah Jawa.
Kisah-kisah perwayangan yang biasanya kita temui di masa modern ini, kebanyakan adalah hasil gubahan dan modifikasi para wali sanga. Sehingga tidak heran jika kita bisa menemukan nilai-nilai religious dari kaca mata agama Islam di dalam cerita-cerita perwayangan. Hal yang menjadi umum saat adanya akulturasi dan modifikasi budaya adalah narasi yang berubah, misalnya guru Drona yang menjadi antagonis dalam perwayangan hasil ciptaan Wali Songo tersebut serta masuknya kisah-kisah nabi Abrahamik.
Kita kembali pada perkembangan kebudayaan Jawa dan tradisi perwayangan di Kota Medan, meskipun masih ada usaha dari segelintir budayawan dan dalang-dalang di Kota Medan untuk terus menghidupkan semangat dunia perwayangan, meskipun pemerintah Kota Medan juga menyambut acara-acara pagelaran wayang ini dengan positif, namun nyatanya ada hal yang menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan tradisi wayang di komunitas Jawa Medan. Fakta pahitnya adalah, sangat sedikit sekali anak-anak dari generasi muda yang memiliki minat dan ketertarikan terhadap tradisi pementasan wayang. Mengapa hal demikian dapat terjadi? Kurangnya inovasi dan adaptasi dari para dalang-dalang di Sumatra Utara juga menjadi faktor alasan mengapa kesenian wayang jauh tertinggal dibandingkan dengan para dalang asal Jawa, mereka mampu berimprovisasi dengan memasukkan cerita-cerita sempilan dan humor yang up to date sehingga penonton tidak merasa bosan dengan kisah yang hanya itu-itu saja, serta dapat menggaet audiens dan penonton yang berasal dari beragam latar belakang (baik itu tua maupun muda)
Bila generasi muda sudah tidak melirik kepada budaya suku aslinya, maka regenerasi akan menjadi susah untuk kedepannya. Keberlangsungan suatu kebudayaan itu bergantung bagaimana para generasi tuanya berpikir keras agar budayanya ini dapat selalu relevan dengan zaman dan menarik minat para generasi mudanya. Jika suatu hari tradisi wayang di Kota Medan itu punah atau dipunahkan, kita tidak bisa menyalahkan itu semua serta merta kepada generasi mudanya! Tetapi sebagai generasi tua yang bijaksana, penulis rasa kita semua perlu bersikap introspeksi diri, apa yang salah dalam cara kita mewariskan dan memperkenalkan kebudayaan dan identitas daerah kita? Kenapa bisa sampai kalah saing dengan budaya asing dari luar, apakah globalisasi memang lebih menjanjikan daripada kultur lokal? Sekiranya pembahasan dalam tulisan ini dapat menjadi refleksi kita bersama.
DAFTAR PUSTAKA
•Dirja, S. (2016). FUNGSI ORGANISASI SOSIAL ETNIS JAWA DALAM MELESTARIKAN KESENIAN WAYANG KULIT DI KOTA MEDAN (Doctoral dissertation, UNIMED).
•Triono, Aru Lego. (2022). Wali Songo Jadikan Wayang di Nusantara Identik dengan Ajaran Islam. https://www.nu.or.id/nasional/wali-songo-jadikan-wayang-di-nusantara-identik-dengan-ajaran-islam-YggSQ (diakses pada tanggal 25 Oktober 2023)
•Candra, Agus R., and Yasir Yasir. "Makna Komunikasi Wayang Kulit Raras Irama di Bagan Batu Kabupaten Rokan Hilir." Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, vol. 4, no. 2, Oct. 2017, pp. 1-7.