Mohon tunggu...
Nafisa Salma
Nafisa Salma Mohon Tunggu... Lainnya - MAHASISWA STAI Al-ANWAR

"Melalui tulisan saya, saya berharap dapat menginspirasi pembaca untuk selalu mencari pengetahuan dan menjadi versi terbaik dari diri mereka."

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dampak Pembabatan Hutan Papua untuk Perkebunan Sawit: Tinjuan Melalui Teori Keadilan John Rawls

27 Juni 2024   11:35 Diperbarui: 27 Juni 2024   12:41 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/klip_maner

Papua, dengan keindahan alam dan keanekaragaman hayatinya, semakin terancam akibat pembabatan hutan yang masif untuk perkebunan sawit. Pembukaan lahan perkebunan sawit di Papua melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, perusahaan perkebunan, dan masyarakat adat. Aktivitas ini mengakibatkan berbagai dampak negatif baik dari segi lingkungan, sosial, maupun ekonomi yang saling terkait. Melalui teori keadilan John Rawls, kita dapat mengevaluasi siapa yang mendapat keuntungan, siapa yang dirugikan, dan bagaimana keseimbangan hak-hak individu dan masyarakat secara keseluruhan terjaga.

John Rawls, dalam karyanya “A Theory of Justice” (1971), mengajukan konsep keadilan sebagai kewajaran (justice as fairness) dan dua prinsip utama:

  • Prinsip Kebebasan yang sama: Setiap individu memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar.
  • Prinsip Perbedaan (Difference Principle): Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa agar memberikan keuntungan terbesar kepada mereka yang paling kurang beruntung, dan posisi serta jabatan harus terbuka bagi semua dalam kondisi kesetaraan yang adil.

Dengan konsep ”posisi asli” (original position) dan “tabir ketidaktahuan” (veil of ignorance), Rawls menekankan bahwa prinsip-prinsip keadilan harus dipilih tanpa memihak, mengutamakan mereka yang paling kurang beruntung, seperti masyarakat adat Papua.

Pembabatan hutan Papua telah mengakibatkan deforestasi yang signifikan, dengan dibukanya perkebunan seluas lebih dari 36 ribu hektar di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan pada tahun 2021. Deforestasi ini tidak hanya menghancurkan ekosistem yang kaya keanekaragaman hayati tetapi juga mengakibatkan emisi gas rumah kaca yang tinggi. Pembakaran hutan yang sering dilakukan untuk membersihkan lahan menyebabkan hilangnya fungsi hutan sebagai penyerap karbon, yang berkontribusi pada perubahan iklim global. Akibatnya, dampak negatif terhadap lingkungan dan iklim semakin parah, mengancam kehidupan berbagai spesies flora dan fauna, serta merusak keseimbangan alam yang telah terbentuk selama ribuan tahun.

Menurut teori keadilan lingkungan, Pembabatan hutan Papua untuk perkebunan sawit dianggap tidak adil karena merusak lingkungan yang merupakan hak warisan bagi generasi mendatang dirusak untuk keuntungan jangka pendek segelintir perusahaan.

Masyarakat adat Papua, khususnya perempuan, mengalami dampak yang sangat merugikan dari pembabatan hutan ini. Hutan bagi mereka adalah sumber kehidupan yang menyediakan pangan, obat-obatan, dan kebutuhan dasar lainnya. Alih fungsi hutan menyebabkan hilangnya ruang produksi bagi perempuan adat yang bergantung pada hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. 


Menurut teori keadilan sosial, Tindakan ini tidak adil karena kekayaan dan sumber daya yang semestinya dimiliki bersama malah dialihkan kepada perusahaan besar, sementara masyarakat lokal justru menjadi korban, memperparah ketidakadilan sosial.

Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit sering kali didorong oleh alasan ekonomi, seperti peningkatan pendapatan daerah dan penciptaan lapangan kerja. Keuntungan lebih banyak dinikmati oleh perusahaan besar dan segelintir elit lokal, sementara masyarakat adat dan penduduk lokal lainnya sering kali hanya menerima dampak negatif.

Menurut Keadilan distributif menuntut agar manfaat ekonomi dari perkebunan sawit dibagi secara adil diantara semua pihak yang terlibat. Hal ini termasuk memberikan kompensasi yang adil kepada masyarakat yang kehilangan mata pencaharian dan memastikan bahwa mereka juga mendapatkan manfaat ekonomi dari perkebunan tersebut, seperti lapangan kerja dan pembangunan infrastruktur.

Keterlibatan elit politik dalam proses pemberian izin lahan untuk perkebunan sawit juga menciptakan konflik kepentingan yang serius. Beberapa anggota DPR dan mantan pejabat tinggi diduga memiliki kepentingan langsung dalam perusahaan-perusahaan sawit yang beroperasi di Papua. Hal ini memperlihatkan bahwa keputusan-keputusan yang diambil tidak didasarkan pada kepentingan publik, melainkan kepentingan segelintir elit.

Dalam konteks teori keadilan procedural, ini menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang terkena dampak. Proses yang adil seharusnya melibatkan semua pemangku kepentingan dan memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat diakui dan dihormati.

Perlawanan dari masyarakat adat, seperti yang dilakukan oleh suku Awyu di Boven Digoel, menunjukkan upaya untuk memperjuangkan keadilan dan hak mereka atas hutan adat. Masyarakat ini mengajukan gugatan hukum untuk mencabut izin perusahaan sawit dan melindungi hutan mereka dari perusahaan lebih lanjut.

Upaya ini mencerminkan prinsip keadilan restorative, di mana tindakan dilakukan untuk memulihkan hak-hak yang dilanggar dan memulihkan keseimbangan ekologi dan sosial yang telah rusak.

Mengacu pada teori keadilan Rawls, kebijakan yang adil seharusnya memperhitungkan dampak terhadap semua pihak yang terlibat, terutama yang paling rentan. Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengatasi ketidakadilan yang timbul dari pembabatan hutan Papua meliputi:

  • Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat: Mengakui hak-hak tanah dan sumber daya alam masyarakat adat adalah langkah pertama untuk memastikan kebebasan dasar mereka. Ini termasuk memberikan perlindungan hukum terhadap tanah adat dan partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan.
  • Transparansi dan Keadilan dalam Distribusi Manfaat Ekonomi: Masyarakat lokal harus mendapatkan bagian yang adil dari keuntungan ekonomi yang dihasilkan oleh perkebunan sawit. Ini bisa dilakukan melalui program-program pembagian keuntungan, pendidikan, dan pelatihan kerja.
  • Pengelolaan Lingkungan yang Berkelanjutan: Kebijakan yang mempromosikan keberlanjutan lingkungan akan membantu melindungi ekosistem hutan dan memastikan bahwa sumber daya alam tetap tersedia untuk generasi mendatang. Ini termasuk praktik-praktik pertanian berkelanjutan dan rehabilitasi lahan yang terdegradasi.

Refrensi:

https://www.voaindonesia.com/a/sawit-di-papua-tarik-menarik-antara-masyarakat-adat-dan-pemerintah/7182818.html

https://jubi.id/opini/2023/perjuangan-masyarakat-suku-awyu-dalam-melindungi-hutan-adatnya-dari-deforestasi/

Alih Fungsi Hutan Papua untuk Sawit Ancam Sumber Pangan Masyarakat Adat (voaindonesia.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun