Mohon tunggu...
Aslıhan Gül
Aslıhan Gül Mohon Tunggu... Freelancer - Content creator

Traveler, explorer, and content writer

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Thrifting, Dulu Dianggap Peduli Lingkungan, Kini Berpotensi Mencemari Lingkungan

29 Maret 2023   13:00 Diperbarui: 29 Maret 2023   13:02 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinterest, Society19. Ilustrasi bisnis thrifting 

Dulu membeli pakaian bekas disebut beli rombengan. Kesannya negatif karena murahan dan harus jeli sekali ketika memilih. Akan tetapi beberapa tahun ke belakang, membeli pakaian bekas menjadi trend dan dilirik sebagai peluang usaha yang kian menjamur. 

Setidaknya karena dua hal, pertama permintaan semakin tinggi, pedangan otomatis membaca arus pasar tersebut untuk menyediakan produk thrifting, kedua adalah pengaruh media sosial. 

Faktor kedua tersebutlah penyulut maraknya thrifting. Sebagai bagian dari gaya hidup, thrifting memberikan alternatif bagi kalangan menengah ke bawah untuk mengonsumsi fashion branded dengan harga miring. 

Disamping itu, narasi sosial media pun mengatakan bahwa membeli pakaian bekas adalah upaya untuk mengurangi limbah fashion. Namun sekarang, hampir semua lapisan masyarakat mengikuti gaya thrifting tersebut.

Kita tahu, bahwa memasuki era postmodern kebutuhan dasar manusia tidak sekedar sandang, pangan papan saja. Ada beberapa hal agar seseorang diterima dalam masyarakat dan perkembangan zaman merupakan sesuatu yang penting untuk bertahan hidup. Termasuk didalamnya adalah fashion. Salah satu nilai sosial dalam berpakaian, bukan hanya menutupi badan, tetapi apa yang kita kenakan sesuai dengan situasi dan acara. Itulah mengapa industri garmen terus berkembang, karena tidak hanya memenuhi kebutuhan sandang, tetapi kesesuaian.

Dulu saya pun sangat antusias dengan momen berburu thrifting. Dalam skala kecil, memang dampak positifnya dapat dirasakan langsung masyarakat. Dengan budget mepet, mereka bisa membawa pulang pakaian berkualitas meskipun bekas, kalau beruntung malah bisa dapat yang baru. 

Tetapi bisnis thrift ini berkembang menjadi masalah baru bagi UMKM dalam negeri. Maraknya bisnis tersebut, bukan hanya UMKM lokal yang terancam, tapi juga meningkatkan impor barang bekas sekaligus "sampahnya". 

Setidaknya 30% pakaian bekas impor tersebut dalam kondisi tidak layak ataupun tidak laku lagi. Ke mana perginya pakaian yang tidak bisa dijual tersebut? tentu saja ke pembuangan. 

Tingkah laku masyarakat dalam mengonsumsi produk fashion banyak terjadi karena FOMO, "fear of missing out". Meskipun tidak semua, tetapi akan sulit bagi masyarakat yang tidak memiliki kesadaran fungsi konsumsi pakaian untuk tidak terbawa arus trend. 

Pengaruh pola konsumsi kapitalis

Semua orang tau, bahwa ekonomi yang bergerak sekarang adalah kapitalis. Bagi produsen, dengan modal yang sekecil-kecilnya mendapat untung sebesar-besarnya. Sedangkan bagi konsumen, modal sekecil-kecilnya mendapat kenikmatan sebesar-besarnya. Sekejap terkesan simbiosis mutualisme. Sayangnya, semua akan berimbas pada orientasi "pleasure" saja, tanpa ada pertimbangan lainnya. 

Dalam hal ini, lingkungan harus menanggung efek samping trend thrifting. Apalagi negeri kita belum begitu baik dalam penanganan sampah, alhasil berton-ton limbah tekstil menumpuk dan tidak tertangani dengan baik. Walaupun bukan thrifting satu-satunya penyebab sampah tekstil. 

Fast fashion pun andil dengan memanfaatkan perubahan trend yang dimediumkan oleh sosial media. So, gimana dengan slogan "ramah lingkungan" bagi pegiat thrifting?

Membangun mindfulness dalam mengonsumsi fashion

Sebenarnya poin yang saya tekankan bukanlah masalah thrifting, tetapi perilaku konsumen yang dilakukan tanpa kesadaran, kemudian dimanfaatkan oleh distributor yang tidak bijak. Sering kali kita membeli pakaian karena keinginan, bukan kebutuhan. Keinginan manusia pada dasarnya dapat dimanipulasi dengan pendekatan menarik seperti iklan (sekarang media sosial). Kita sebenarnya masih memiliki pakaian layak yang masih sopan dipakai, tapi mendesak tiba-tiba butuh. Iklan benar-benar membuat kita laper mata. 

Thrifting sebenarnya juga bermanfaat, jika dikonsumsi secukupnya, untuk apa dan untuk siapa. Tanyakan pada diri sendiri, apakah benar-benar membutuhkan atau sekedar ingin saja. 

Sebab, tak bisa dinafikan dalam beberapa kondisi, masyarakat menengah ke bawah akan sangat terbantu dengan thrifting. Akan lebih baik dan realistis, jika pakaian bekas yang dijual berasal dari dalam negeri, bukan barang impor. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun