Mohon tunggu...
Nafilah Fauzunnida
Nafilah Fauzunnida Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Math Education'19

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Mentari yang Hilang

23 April 2020   00:36 Diperbarui: 23 April 2020   00:29 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 25 Oktober 2010, hari itu adalah hari ulang tahunku. Lilin-lilin dinyalakan di antara gelapnya malam, mungkin orang-orang telah pergi menuju posko keamanan. Aku dan keluargaku memutuskan untuk tidak pergi dari desa ini. Kenangan-kenangan indah telah tertuang dan terlukis menjadi sejarah di tanah ini. 

Acara pesta ulang tahunku hanya dirayakan sederhana oleh empat orang yaitu aku, kakakku, ibu dan ayah. Rumah kami saat itu dalam keadaan gelap, listrik-listrik sengaja dimatikan agar tidak membahayakan banyak orang saat kejadian itu benar-benar terjadi. “Selamat ulang tahun Lisa, wah kamu kok sekarang tambah besar nduk.. nduk.” Kata ibu sambil mencium keningku. “Terima kasih bu, kado ibu lucu sekali ada pita warna ungu lagi.” 

Aku memegang kado yang diberikan dan dibungkus khusus oleh tangan ibu. Kamipun menikmati potongan demi potongan roti ulang tahun kecil yang bertuliskan Lisa Faradita Ahmad. Jam menunjukkan pukul 8 malam dan kami telah bersiap-siap untuk menanti mimpi indah dan berharap kejadian yang diprediksi itu tidak benar-benar terjadi.

“Tik, tok, tik, tok.” Suara detakan jam dinding bersahutan dengan suara kokokkan ayam. Aku terbangun dan pernapasanku sesak. Aku membangunkan kakakku yang masih terlelap di antara mimpi indahnya. “Kak Hafiz bangun kak. Lisa sulit napas udarane kok tampak rusuh ya.” Kak Hafiz yang tadinya mengantuk kini sudah mulai membuka mata. “iya dek, jangan-jangan prediksi itu kayaknya bener tho dek.” Kami berlari menuju kamar ayah dan membangunkan mereka. Rupanya ayah dan ibuku telah berkemas-kemas untuk mengungsi ke tempat aman dan mencari bantuan. 

“Lho nang nduk, cepet kita mau pergi ninggalin kampung ini, kayak e kok ya sudah benar-benar tidak aman.” Ucap ayah sambil memegang tangan kak Hafiz. Kami cepat-cepat memberesi pakaian dan berlari menuruni lereng perbukitan tempat tinggal kami. Bukankah baru semalam kita bersenang-senang memakan kue bersama dan menyanyikan lagu ulang tahun. Aku cepat-cepat lari, di tengah jalan ibu tersandung batu dan terjatuh ke arah lereng-lereng karena menyelamatkanku. 

“Ibu..... ayah bagaimana dengan ibu, ah ini semua salahku kenapa tidak aku saja yang jatuh. Ayah tolong ibu.” Aku menangis dalam pelukan ayah. Kematian orang yang berharga terjadi di depan mataku dan itu adalah kematian ibuku, orang yang sangat berharga dihidupku. Aku sangat takut. “Lisa, maafkan ayah, ayah benar-benar tak dapat menyelamatkan ibumu.” Kata ayah dengan suara terbata-bata dan kamipun meninggalkan ibu.

Kami telah menuju posko keamanan, posko itu telah dipadati oleh penduduk Yogyakarta yang mengungsi untuk menyelamatkan diri dari letusan sang Gunung Merapi yang dahsyat. Sesampainya di posko, tiba-tiba ayah mengalami sesak napas. “Tolong, tolong Lisa coba hubungi petugas keamanan di posko ini.” Kata kak Hafiz. Aku berlari untuk menghubungi petugas keamanan. Namun, nyawa ayah tak tertolong ia meninggal karena menghirup udara kotor. 

Sore hari ini, bagaikan kehampaan bagiku. Aku duduk berdiam diri di depan tenda melihat kerusakan yang terjadi di Yogyakarta ini. Aku menyanyikan sebuah lagu dengan suara pelan sambil mengingat detik-detik kematian orang tuaku yang benar-benar melekat di memoriku. “Lembut ku kenang kasihmu ibu di dalam hatiku kini menanggung rindu kau tabur kasih seumur masa bergetar syahdu oh, di dalam hatiku.” Tangisan meleleh membasahi pipiku. Hari ini tanggal 26 Oktober 2010 tepat sehari setelah hari ulang tahunku, aku tak dapat merasakan belaian tangan ibu lagi untuk selamanya dan aku juga tidak bisa mendengarkan cerita putri-putrian yang dibawakan oleh ayah.

Letusan gunung berapi terdengar hingga posko yang aku tempati sedikitnya terjadi hingga tiga kali letusan. Letusan itu terjadi pada pukul 17.00 WIB. dan menyemburkan material vulkanik setinggi lebih kurang 1,5 km. Di luar prediksi kami ternyata material itu berjatuhan di sekitar tenda yang kami huni. Kami berlarian panik seolah-olah kiamat telah terjadi. Makanan-makanan tumpah, tenda-tenda rusak dan banyak anak kecil terinjak-injak. 

Aku kehilangan kakakku, terakhir aku melihatnya dia sedang menangis di antara rindangnya pepohonan yang dipenuhi debu. Aku mencarinya kesana kemari dan tetap tidak menemukannya. Orang-orang yang masih selamat dipandu sang petugas menuju posko yang lebih aman dari pada posko ini. Kini, kotaku telah porak poranda.

Pada tanggal 28 Oktober, Gunung Merapi memuntahkan lava pijar bersamaan dengan keluarnya awan panas atau yang biasa disebut wedhus gembel. Letusan yang amat dahsyat bahkan menurut kabar, debunya menjalar sampai ke daerah Jawa Tengah, walaupun tidak separah debu yang ada di sini. Hari demi hari kulalui bersama warga yang bernasib sama denganku.

Malampun tiba, aku berdoa kepada tuhan. “Ya Allah, tolonglah diriku yang lemah ini. Pertemukanlah aku dengan kakakku. Kenapa aku harus mengalami hal ini ya Allah?” Doa ku bercampur bersama doa ribuan umat manusia di bumi. Hampir tiap malam kudendangkan lagu yang berjudul ibu yang dinyanyikan oleh musisi bernama Rafly. 

Aku tak bisa tidur dan mataku masih tetap terbuka membayangkan bagaimana rusaknya kota Yogyakarta ini. Sang juru kunci Gunung Merapi yang bernama mbah Maridjan dikabarkan meninggal dunia pada tanggal 26 Oktober 2010 di Sleman, Yogyakarta.

Lebih kurang dua bulan aku tinggal di posko keamanan. Bahan-bahan makanan di posko semakin menipis dan kadang kita hanya makan sekali dalam sehari. Aku lelah selalu berada dalam tenda yang pengap ini dan memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri padang debu. Semua  rusak dan hancur hanya tinggal puing-puing bangunan yang tersisa. Aku menyusuri pertigaan jalan berdekatan dengan lereng-lereng tempat ibu jatuh. 

Di jalan, aku melihat seseorang berpakaian compang-camping tidak karuan dan berjalan dengan kaki pincang, orang itu berteriak ke arahku “Lisa, Lisa... ini kakak jangan tinggalkan kakak lagi nduk.” Ia mencoba berlari ke arahku. Aku merasa ketakutan namun, kuberanikan untuk menatapnya dan memastikan dengan benar siapa makhluk yang berjalan itu. Dari kejauhan ia nampak bagaikan mayat hidup yang selamat dari letusan Gunung Merapi. Dia mendekat ke arahku samar-samar aku mengetahui siapa orang itu. “Kak Hafiz, kakak... benarkah itu kakak?” Aku berlari mendekat ke arahnya memeluk tubuh lusuhnya itu. Aku sangat merindukan sesosok cahayaku yang hilang.

Matahari mulai bersembunyi di balik gelapnya langit. Aku dan kak Hafiz berjalan beriringan menyusuri debu dan puing-puing bangunan ditemani dinginnya malam yang mencekam. Kak Hafiz masih sama seperti sebelumnya selalu mengembangkan senyumnya walau ujian datang silih berganti menyapanya. Ia seakan-akan telah bersahabat bersama luka-luka yang diterimanya dari kecil hingga sekarang, dan aku juga masih sama seperti dulu. Aku masih takut hal-hal selalu datang terbayang di ingatanku dan aku selalu takut dengan datangnya malam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun