Mohon tunggu...
Nafila Andriana
Nafila Andriana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Ilmu Hukum Universitas Indonesia

Menulis untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penyalahguna Narkotika Dikenakan Pidana Penjara atau Rehabilitasi?

20 Juli 2021   10:30 Diperbarui: 20 Juli 2021   10:30 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam upaya pemberantasan narkotika, sanksi pidana menjadi langkah untuk memberikan pembalasan bagi pelaku atas tindakannya, pembinaan, atau memberikan perlindungan kepada masyarakat. Sanksi pidana juga dapat berupa penempatan pelaku pada tempat tertentu, contohnya yaitu rehabilitasi bagi pecandu narkotika yang bertujuan untuk memberikan bantuan medis dan sosial demi kesembuhan dari ketergantungan narkotika. Dasar hukum dari pemberian sanksi pidana bagi orang yang terjerat kasus narkotika yaitu UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.


Sanksi pidana yang bisa diterapkan bagi penyalah guna narkotika adalah pidana penjara sesuai dengan Pasal 127 ayat 1 UU No. 35 Tahun 2009. Di Indonesia, tempat terpidana yang mendapatkan pidana penjara ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Penjatuhan pidana penjara ini termasuk sanksi pembalasan sekaligus pembinaan. Hal ini disebabkan pidana penjara tidak hanya menjadi tempat pembalasan, tetapi juga membina pelaku kejahatan menjadi warga negara yang baik. Pembinaan tersebut dilakukan dengan diberikannya pendidikan, bimbingan rohani, konseling, dan keterampilan. Selain itu, apabila ia juga merupakan pecandu narkoba, dapat dijatuhi hukuman wajib rehabilitasi sosial dan rehabilitasi medis sesuai dengan Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009. Hukuman wajib rehabilitasi merupakan jenis pidana yang menempatkan pelaku pada suatu tempat tertentu sesuai dengan kebutuhannya. Kegiatan yang dilakukan saat rehabilitasi medis yaitu detoksifikasi, intoksifikasi, volunteering consoling and testing, rawat jalan, psikoterapi, dan lain-lain. Kegiatan pada rehabilitasi sosial meliputi seminar, static group, terapi kelompok, dan lain-lain.

Apabila dilihat dari konsep programnya, rehabilitasi lebih memiliki kebermanfaatan untuk penyalah guna. Karena selain memberikan efek jera, rehabilitasi juga memberikan langkah medis untuk membantu mengobati ketergantungannya pada narkotika.6 Sedangkan pidana penjara hanya memberikan pembinaan dan tidak memberikan pengobatan bagi pecandu narkotika. Pemberian obat pada pecandu narkotika sangatlah penting untuk mengatasi efek sakaw (putus obat) dari para penyalah guna narkotika. Namun, dalam pelaksanaannya kedua hukuman tersebut memiliki kekurangan masing-masing.


Berdasarkan hal tersebut, timbul pertanyaan mengapa masih ada sanksi pidana penjara (Pasal 127 ayat 1 UU No. 35 Tahun 2009) sedangkan ada kewajiban untuk rehabilitasi bagi penyalah guna narkoba yang kecanduan narkotika (Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009)? Apakah rehabilitasi telah menjadi prioritas hakim dalam menjatuhkan hukuman bagi penyalah guna narkotika? Lalu apa sanksi yang efektif untuk diterapkan pada penyalah guna sekaligus pecandu narkotika tersebut?


Berdasarkan pasal 1 angka 15 UU No. 35 Tahun 2009, penyalah guna narkotika adalah orang yang menyalahgunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Penggunaan narkotika melawan hukum apabila bertentangan dengan Pasal 7 UU No. 35 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa narkotika hanya dapat digunakan untuk pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu. Penyalah guna narotika sering kali dijatuhi hukuman yang berbeda-beda. Ada yang mendapat hukuman pidana penjara, rehabilitasi, atau bahkan keduanya.

Hal ini dapat dilihat di dalam Putusan No. 1013/Pid.Sus/2017/PN.Bks yang menjatuhkan hukuman bagi GAP berupa pidana penjara selama sepuluh bulan dan menjalani rehabilitas selama masa pidana yang dijatuhkan. Barang bukti yang didapat yaitu sabu seberat 0,22 gram. Alasan penjatuhan hukuman tersebut karena GAP terbukti menyalahgunakan narkotika bagi diri sendiri yang hukumannya diatur dalam Pasal 127 ayat 1 UU No. 35 Tahun 2009. Hal itu dibuktikan dengan alasan GAP menggunakan narkotika jenis sabu dengan cara dibakar lalu dihisap yang bertujuan untuk memperoleh semangat dan kesegaran bagi tubuh. Hakim menjatuhkan hukuman penjara untuk memberikan efek jera bagi pelaku dan menjatuhkan rehabilitasi medis dan sosial dengan tujuan pemulihan kondisi fisik dan psikis akibat narkoba.


Kemudian, dapat dilihat juga pada Putusan No. 228/Pid.Sus/2020/PN.Bdg. Dalam putusan tersebut, GKLG dipidana penjara selama satu tahun empat bulan karena terbukti menyalahgunakan narkotika jenis sabu bagi dirinya sendiri sebagaimana hukumannya diatur dalam Pasal 127 ayat 1 UU No. 35 Tahun 2009. GKLG menggunakan sabu sendirian sebanyak lima belas hisapan, lalu hasil tes urine GKLG juga menunjukkan bahwa GKLG positif mengonsumsi narkoba. Selain itu, ditemukan barang bukti sabu seberat 0,18 gram.8 Anehnya, GKLG tidak dijatuhi hukuman rehabilitasi oleh pengadilan. Padahal dalam Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009, pecandu (penyalah guna bagi diri sendiri) wajib direhabilitasi.


Berbeda dengan kedua putusan sebelumnya, Putusan No. 315/Pid.Sus/2015/PN.Tpg. Dalam putusan ini HY sebagai terpidana diyakini melakukan tindakan pidana menyalahgunakan narkotika jenis sabu untuk dirinya sendiri sebagaimana hukumannya diatur dalam Pasal 127 ayat 1 UU No. 35 Tahun 2009. Pada saat tertangkap ditemukan sabu seberat 0,4 gram. HY mendapatkan sabu tersebut dengan membelinya seharga Rp300.000 (tiga ratus ribu rupiah). Alasan HY menggunakan sabu yaitu untuk membakar semangat. Hakim pun menjatuhkan pidana rehabilitasi selama sepuluh bulan untuk HY.


Dari ketiga putusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketiga tindak pidana narkotika tersebut sama-sama menggunakan sabu untuk dirinya sendiri dengan cara dibakar lalu dihisap. Mereka juga sama-sama dinyatakan menggunakan narkotika golongan satu bagi diri sendiri yang dapat dijatuhi pidana penjara maksimal empat tahun sebagaimana Pasal 127 ayat 1 UU No. 35 Tahun 2009. Begitu pula dengan alasan pemberat dan peringannya. Alasan pemberat pada mereka yaitu menghambat program pemberantasan narkotika oleh pemerintah. Sedangkan alasan peringannya yaitu mereka sama-sama belum pernah dihukum, terus terang, serta menyesali perbuatannya. Akan tetapi, hukuman yang diberikan berbeda, yaitu berupa pidana penjara, rehabilitasi, atau keduanya.


Suatu putusan hakim haruslah mengandung kepastian dan keadilan hukum, serta memberi manfaat bagi terpidana. Menurut Radburch, kepastian hukum adalah hal mendasari hukum dianggap sebagai hukum positif, mengikat, dan ditaati oleh masyarakat. Kepastian hukum juga dapat menjamin terwujudnya ketertiban dalam masyarakat karena memiliki kejelasan tolok ukur hak dan kewajiban masyarakat. Keadilan hukum adalah terpenuhinya hak dan kewajiban suatu individu yang tidak mengabaikan keseimbangan. Hak tersebut dapat berupa perlindungan dan pembelaan hukum, sedangkan kewajibannya yaitu melaksanakan peraturan-peraturan yang berlaku. Kemudian, kemanfaatan hukum berarti bahwa suatu putusan yang dijatuhkan membawa manfaat dan hasil yang berguna baik bagi terpidana maupun masyarakat umum. Kemanfaatan hukum dapat dilihat melalui perspektif sosiologi hukum.


Jika dikaitkan dengan tiga putusan di atas, penjatuhan pidana yang dijatuhkan kepada GKLG bertentangan dengan prinsip kemanfaatan. GKLG yang menghisap sabu sebanyak lima belas kali lebih membutuhkan rehabilitasi untuk membantunya lepas dari ketergantungan narkotika daripada hanya diberi pidana penjara untuk efek jera. Masih dengan prinsip kemanfaatan, putusan pidana penjara yang diberikan kepada GAP hanyalah sia-sia karena pada umunya kegiatan yang dilakukan di penjara dan rehabilitasi sosial hampir sama. Perbedannya terletak pada lingkungan huniannya saja, apabila penjara lingkungannya berlatar belakang kriminal berbeda, sedangkan rehabilitasi hanya berlatar belakang kasus narkotika.


Kemudian, jika dikaitkan dengan keadilan, ketika ketiga putusan tersebut dibandingkan, ditemukan ketidakadilan. Hal ini merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 tahun 2010 yang mengatur tentang syaratpenjatuhan rehabilitasi. Syarat tersebut terdiri dari terdakwa tertangkap tangan, ditemukan barang bukti narkotika dalam jumlah tertentu (untuk sabu maksimal satu gram), positif narkoba, tidak terbukti menjadi pengedar/bandar, dan diperlukan surat keterangan dari dokter jiwa yang ditunjuk hakim. Apabila dilihat dari syarat tersebut, GAP, GKLG, dan HY dapat dijatuhi hukuman rehabilitasi. Akan tetapi, GKLG tidak mendapatkan haknya untuk mendapatkan rehabilitasi. Padahal barang bukti sabu GKLG paling ringan dibandingkan dengan GAP yang mendapatkan pidana penjara dan HY yang mendapatkan rehabilitasi saja. Anehnya, barang bukti sabu dari HY paling berat di antara ketiganya dan mendapatkan hukuman paling ringan.


Dalam pemberian sanksi pidana, sanksi bagi penyalah guna narkotika tidak boleh disamakan dengan narapidana lainnya dengan memberikan pidana penjara. Hal ini disebabkan mereka memiliki ketergantungan pada narkotika yang harus disembuhkan dan mereka tidak merugikan masyarakat luas seperti misalnya pengedar dan bandar narkoba. Banyak sekali penyalah guna narkotika yang dipidana penjara, seperti contohnya GKLG yang hanya mendapat pidana penjara tanpa rehabilitasi. Hal seperti ini akan menjadi hambatan bagi Lapas (penjara) karena penyalah guna narkotika memiliki masalah psikis, mental, atau kepribadian akibat narkotika yang dikonsumsinya. Dampak buruk tersebut hanya dapat disembuhkan dengan rehabilitasi medis karena pada dasarnya penjara hanya memberikan rehabilitasi sosial.


Ditambah lagi dengan kondisi lapas yang memiliki masalah over capacity yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Yasonna Laoly menyebutkan bahwa hampir setengah penghuni lapas dan rutan adalah warga binaan kasus narkotika. Hal ini terjadi karena menumpuknya warga binaan narkotika linear dengan  kasus narkotika yang terjadi dan dimasukkannya narapidana penyalah guna narkotika ke dalam lapas, padahal seharusnya diberikan proses rehabilitasi. Implikasi dari over capacity Lapas adalah rendahnya pengawasan dan prisonisasi. Rendahnya pengawasan menimbulkan kegaduhan antarnarapidana dan semakin masifnya tindakan kriminal di dalam penjara. Sedangkan prisonisasi timbul sebagai bentuk respon dari segala bentuk perampasan yang ada dalam penjara. Prisonisasi ini akan menyebabkan para terpidana baru dapat belajar dari terpidana dengan level kriminal tinggi, sehingga penjara menjadi sebuah akademi kriminal bagi para penghuninya. Tidak menutup kemungkinan penyalah guna narkotika yang dipenjara dapat “naik level” menjadi pengedar narkotika, pembunuh, pencuri, atau yang lainnya ketika sudah dibebaskan dari penjara. Tidak hanya itu, warga binaan lapas juga mendapatkan stigma buruk dalam pandangan masyarakat yang berakibat pada susahnya mencari pekerjaan. Akhirnya, dengan kesulitan tersebut, mereka memilih untuk terjun kembali dalam tindakan kriminal.


Dengan demikian, pidana penjara bukan lagi pilihan yang tepat untuk diberikan kepada penyalah guna narkotika. Seperti alasan penjatuhan pidana penjara untuk memberikan efek jera pada Putusan No. 1013/Pid.Sus/2017/PN.Bks. Dalam putusan tersebut juga tertulis bahwa tindak pidana narkotika patut dikenakan pidana maksimal tetapi harus tetap mempertimbangkan secara kasuistis. Sudah saatnya sanksi pidana bagi penyalah guna narkotika diperbarui dengan mengedepankan kepastian hukum, keadilan hukum, dan kemanfaatan hukum. Dengan begitu, penyalah guna narkotika dapat secara sadar berhenti menggunakan narkotika.
Sebenarnya pemerintah sudah mulai memberikan pidana yang memberikan kemanfaatan bagi penyalah guna yaitu rehabilitasi (medis dan/atau sosial). Namun, dalam pemutusan hukuman, masih banyak yang memberikan penyalah guna narkotika hukuman pidana penjara. Hal tersebut dapat dibuktikan dari pernyataan Handoyo Sudrajat, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkum dan HAM, bahwa pada tahun 2015, 60.000 dari 163.935 warga binaan lapas adalah penyalah guna dan pengguna narkotika.24 Padahal banyak peraturan tertulis yang menganjurkan untuk dikenakan rehabilitasi saja. Contoh peraturan tersebut adalah Pasal 103 UU No. 35 Tahun 2009, Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009, Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) No. SE-002/A/JA/02/2013, dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 tahun 2010.


Lalu apakah rehabilitasi sosial dan rehabilitasi medis dapat menggantikan pidana penjara yang sudah tidak tepat lagi dijatuhkan pada penyalah guna narkotika? Berdasarkan penelitian di Balai Besar Rehabilitasi BNN di Lido Bogor, mereka optimis program rehabilitasi efektif karena residen yang relaps (residen yang kambuh lagi setelah di rehabilitasi) berkurang dari tahun ke tahun.25 Ada juga penelitian yang dilakukan di Pusat Rehabilitasi Narkoba Ar-Rahman Palembang, mereka melakukan rehabilitasi melalui tiga tahapan yaitu, tahap biologis-medis, psikoterapi-psikologi, dan spiritual-moral. Tahapan biologis-medis dilakukan dengan detoksifikasi, mandi, memotong rambut, dan memotong kuku; Tahapan psikoterapi-psikologi terdiri dari isolasi dan motivasi; dan tahapan spiritual-moral meliputi kegiatan beribadah mendekatkan diri pada Tuhan dan pendidikan dasar agama. Dengan tahapan tersebut, tingkat kesadaran untuk berhenti menggunakan narkotika pada warga binaan secara garis besar berhasil.


Berkebalikan dengan itu, terdapat juga penelitian di Balai Rehabilitasi BNN di Baddoka, di sana didapatkan data bahwa residen kurang memahami materi saat rehabilitasi karena materi yang diberikan hanya copy paste dari Amerika Serikat yang tidak sesuai dengan masyarakat di Indonesia. Juga didapatkan data bahwa waktu untuk kegiatan keagamaan sangatlah terbatas, padahal kegiatan keagamaan tersebut yang dapat menyentuh hati mereka.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa sebenarnya rehabilitasi bisa menjadi pilihan karena setidaknya dalam balai rehabilitasi tidak tercampur dengan narapidana jenis kriminal lainnya dan di sana diberikan bantuan medis yang sangat dibutuhkan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pelaksanaannya masih terdapat banyak kekurangan. Untuk mencapai keefektifan dari rehabilitasi, hal yang bisa dilakukan berdasarkan data yang telah dipaparkan adalah memprioritaskan kegiatan keagamaan, pengawasan yang ketat, juga pemberian materi yang dapat diterima dan mudah dipahami oleh masyarakat Indonesia. Hal yang tidak kalah penting yaitu penyeragaman kualitas tiap panti atau balai rehabilitasi agar manfaat dari rehabilitasi dapat dirasakan.


Maka dari itu, diperlukan penegasan dalam UU No. 35 Tahun 2009 agar tercipta kepastian hukum, keadilan hukum, dan kemanfaatan hukum bagi terpidana, khususnya terpidana narkotika. Pasal 127 ayat 1 UU No. 35 Tahun 2009 yang mengatur lamanya pidana penjara bagi penyalah guna narkotika dihapuskan. Selain itu, penegak hukum sebaiknya memandang penyalah guna sebagai korban. Hal tersebut disebut dengan depenalisasi yang berarti tindakan pidana yang semula dapat dipidana kemudian ancaman pidana tersebut dihilangkan, tetapi masih dimungkinkan menggunakan cara yang lain.28 Dengan begitu, penyalah guna narkotika dapat diputuskan untuk mengikuti rehabilitasi dan akan berimplikasi pada teratasinya masalah over capacity penjara di Indonesia. Dampak lainnya yaitu penyalah guna narkotika dapat merasakan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum yang kemungkinan besar akan memengaruhi kesadaran diri mereka untuk berhenti menggunakan narkotika.

Masih terdapat kebingungan dalam menentukan pidana penjara dengan rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika karena Pasal 127 ayat 1 UU No. 35 Tahun 2009 tidak bersesuaian dengan pasal lain yang menganjurkan untuk rehabilitasi. Pasal tersebut diantaranya yaitu Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 dan Pasal 103 UU No. 35 Tahun 2009. Hal tersebutlah yang menyebabkan penyalah guna narkotika sering mendapatkan putusan hakim yang berbeda, ada yang penjara saja, rehabilitasi saja, atau bahkan keduanya. Akan tetapi, pemidanaan penjara bagi penyalah guna narkotika seakan tetap menjadi prioritas sehingga menyebabkan banyaknya penyalah guna narkotika yang dijatuhi hukuman pidana penjara. Akibatnya, penjara di Indonesia mengalami over capacity karena penumpukan penyalah guna narkotika yang mendapatkan pidana penjara.


Rehabilitasi dapat dijadikan sebagai depenalisasi dalam permasalahan ini karena rehabilitasi dapat memenuhi kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum. Namun, dalam pelaksanaanya masih terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu, diperlukan perbaikan di dalamnya. Perbaikan tersebut meliputi memprioritaskan kegiatan keagamaan, pengawasan yang ketat, juga pemberian materi yang mudah dipahami oleh masyarakat Indonesia, dan penyeragaman kualitas tiap panti atau balai rehabilitasi agar manfaat dari rehabilitasi dapat dirasakan. Selain itu, diperlukan penegasan ulang atau bahkan penghapusan Pasal 127 ayat 1 UU No. 35 Tahun 2009 dan juga perlunya untuk memandang penyalah guna narkotika sebagai korban. Hal ini dilakukan supaya penyalah guna narkotika dapat mendapatkan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang mereka butuhkan. Dengan ini, diharapkan upaya pemberantasan narkotika di Indonesia dapat terbantu.

DAFTAR PUSTAKA


Affrimetty, Dwi dan Agus Martono. “Efektivitas Rehabilitasi dan Pola Pembinaan Terhadap Pecandu Narkotika Di Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Lido Bogor.” Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi 16. No. 1 (Oktober 2016). Hlm. 81-102.
Angkasa. “Over Capacity Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan, Faktor Penyebab, Implikasi Negatif, Serta Solusi Upaya Optimalisasi Pembinaan Narapidana.” Jurnal Dinamika Hukum 10. No. 3 (September 2010). Hlm. 213-221.
Anwar, Yesmil, dan Adang. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta: Grasindo, 2008
Arief, Sidharta. Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum. Bandung: Refika Aditama, 2007.
Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Aryana, I Wayan Putu Sucana. “Efektivitas Pidana Penjara Dalam Membina Narapidana.” DIH Jurnal Ilmu Hukum 11. No. 21 (Februari 2015). Hlm. 39-44.
Darwin, Ilham Panunggal Jati. “Implikasi Overcapacity Terhadap Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia.” Jurnal Cepalo 3. No. 2 (Desember 2019). Hlm. 127-140.
Dewi, Kania dan Andhika Putri, “Tinjauan Teoritis Keadilan Dan Kepastian Dalam Hukum Di Indonesia.” Mimbar Yustisia 2. No. 2 (Desember 2018). Hlm 142-158.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkum dan HAM Republik Indonesia. “Di Indonesia 60.000 Napi Masuk Lapas Karena Kasus Narkoba.” http://ditjenpas.go.id/di-indonesia-60-000-napi-masuk-lapas-karena-kasus-narkoba. Diakses 13 Desember 2020.
Indonesia, Mahkamah Agung. Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Nomor 4 Tahun 2010.
Indonesia. Undang-Undang Narkotika, UU No. 35 Tahun 2009, LN No. 143 Tahun 2009, TLN No. 5062.
Jainah, Zainab Ompu. “Efektivitas Penerapan Pidana Kurungan Bagi Pelaku Penyalahguna Narkoba.” Jurnal Pranata Hukum 10. No. 1 (2015). Hlm. 1-13.
Jaya, I Gede Agus Purna, I Nyoman Putu Budiartha dan A.A Sagung Laksmi Dewi. “Depenalisasi Sebagai Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pecandu Narkotika.” Jurnal Analogi Hukum 1.No. 3 (2019). Hlm. 306-310.
Jaya, Pajar Hitma Indra. “Efektivitas Penjara Dalam Menyelesaikan Masalah Sosial.” Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam 9 (2012). Hlm. 1-20.
Manullang, E Fernando M. ed. Selayang Pandang Sistem Hukum di Indonesia. Depok: Kencana, 2016.
Miswanto dan Tarya. “Implementasi Program Rehabilitasi Narkoba Berbasis Masyarakat di Pusat Rehabilitasi Narkoba ar-Rahman Tegal Binangun Palembang.” Jurnal Intizar 23.No. 1 (Desember 2017). Hlm. 113-120.
Musakkir, Achmad Dzulfikar. “Efektivitas Program Rehabilitasi Medis Dan Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika Dan Obat-Obat Terlarang Dalam Perspektif Sosiologi Hukum.” Skripsi Sarjana Universitas Hassanudin. Makassar, 2016
Notohamidjojo, O. Soal-Soal pokok Filsafat Hukum. Salatiga: Griya Media, 2011.
Pengadilan Negeri Bandung. Putusan No. 228/Pid.Sus/2020/PN.Bdg.
Pengadilan Negeri Bekasi. Putusan No. 1013/Pid.Sus/2017/PN.Bks.
Pengadilan Negeri Tanjungpinang. Putusan No. 315/Pid.Sus/2015/PN.Tpg.
Prabowo, Dani. “Yasonna: Hampir Setengah dari Total Penghuni Lapas dan Rutan Terkait Kasus Narkoba.” Kompas (30 Januari 2020). https://nasional.kompas.com/read/2020/01/30/22353621/yasonna-hampir-setengah-dari-total-penghuni-lapas-dan-rutan-terkait-kasus. Diakses 12 Desember 2020.
Utrecht. Hukum Pidana 1: Suatu Pengantar Hukum Pidana Untuk Tingkat Pelajaran Sarjana Muda Hukum (Doktoral Hukum 1), Suatu Pembahasan Pembelajaran Umum. Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994).
Victorio H. Situmorang. “Lembaga Pemasyarakatan Sebagai Bagian Dari Penegakan Hukum.” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 13. No. 1 (Maret 2019) Hlm. 85-98.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun