Di tengah dinamika kehidupan sosial yang semakin kompleks, isu radikalisasi dan ekstremisme menjadi tantangan besar yang dihadapi banyak negara di seluruh dunia. Fenomena ini bukan hanya mengancam stabilitas sosial, tetapi juga memecah belah masyarakat dan menciptakan ketegangan yang merusak tatanan perdamaian. Salah satu cara untuk menghadapi radikalisasi yang semakin meresahkan adalah dengan menumbuhkan nilai toleransi dalam kehidupan sehari-hari
. Toleransi, sebagai sikap saling menghargai dan menerima perbedaan, merupakan jawaban yang efektif untuk mengatasi eskalasi radikalisasi yang sering kali didorong oleh ketidakmengertian, kebencian, dan intoleransi terhadap perbedaan.
Radikalisasi dan Penyebabnya
Radikalisasi sering kali berakar pada ketidakpuasan terhadap kondisi sosial, politik, atau ekonomi. Individu yang merasa terpinggirkan atau tidak dihargai, baik karena latar belakang agama, etnis, atau ideologi, rentan untuk terjebak dalam pemikiran ekstrem.Â
Kelompok radikal sering memanfaatkan ketidakadilan ini untuk merekrut anggota dan mempengaruhi mereka dengan ideologi yang memecah belah, mengajarkan kekerasan, dan menentang nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Penyebaran paham radikal ini semakin dipermudah oleh teknologi dan media sosial, yang memungkinkan pesan-pesan kebencian tersebar dengan cepat dan luas.
 Pada akhirnya, masyarakat menjadi terpolarisasi, dengan sedikit ruang untuk dialog dan pemahaman antara kelompok-kelompok yang berbeda. Inilah yang membuat radikalisasi menjadi ancaman global, yang tidak hanya melibatkan individu, tetapi juga memengaruhi hubungan antarnegara, masyarakat, dan budaya.
Pandangan Masyarakat Terkait Radikalisme
Pandangan masyarakat terhadap radikalisasi sangat bervariasi, bergantung pada pemahaman mereka tentang agama, politik, dan keamanan sosial. Secara umum, ada perspektif yang sering muncul, yaitu bagi sebagian besar masyarakat, radikalisasi sering kali diidentikkan dengan ancaman nyata terhadap keselamatan dan stabilitas.
 Insiden kekerasan atau terorisme yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang terpengaruh ideologi radikal telah menyebabkan ketakutan yang meluas.Â
Media seringkali memperburuk ketakutan ini dengan menyoroti tindakan ekstremis, yang memperkuat pandangan bahwa radikalisasi adalah ancaman yang harus segera dihentikan. Hal ini mendorong masyarakat untuk lebih waspada terhadap potensi radikalisasi di lingkungan sekitar mereka, termasuk di kalangan keluarga dan teman dekat.
Masyarakat cenderung menghubungkan radikalisasi dengan kekerasan atau terorisme, dan ini menyebabkan ketidakpercayaan terhadap kelompok tertentu, terutama mereka yang dianggap berbeda dalam hal agama, etnis, atau pandangan politik.Â
Ketakutan terhadap "kami versus mereka" juga dapat memperburuk polarisasi sosial, di mana kelompok-kelompok tertentu merasa terancam atau terasingkan dari kelompok mayoritas.
Gerakan-Gerakan yang Mengusung Toleransi, Seperti PELITA (Persatuan Lintas Agama)
Di tengah tantangan global terkait radikalisasi dan intoleransi, banyak gerakan dan organisasi yang muncul untuk mempromosikan toleransi dan kerukunan antarumat beragama.Â
Gerakan-gerakan ini bertujuan untuk mengurangi ketegangan sosial, meningkatkan pemahaman lintas agama, dan membangun masyarakat yang lebih inklusif. Salah satu gerakan yang terkenal di Indonesia adalah PELITA (Persatuan Lintas Agama), yang berfokus pada menggalang persatuan dan toleransi antarumat beragama.
Gus Dur melontarkan adagium yang sangat terkenal, "Tuhan tidak Perlu Dibela".Â
Maksudnya bahwa Tuhan dengan kemahakuasaan-Nya, sama sekali tidak butuh bantuan dari manusia. Malahan, manusia yang sering membawa-bawa dan mengatasnamakan Tuhan, justru malah merendahkan derajat Tuhan sendiri. Sejatinya, ke Esa an dan ke Maha Kuasa an Tuhan sama sekali tidak akan terganggu atau tergoyahkan hanya gara-gara ucapan 'pendek' manusia.
Para teroris yang setiap kali membuat rusuh negeri ini, kerap kali menggunakan alasan bahwa perbuatan keji mereka itu, dianggap sebagai pelaksanaan dari perintah Tuhan demi berjuang dan membela agama Tuhan. Sebenarnya, justru hal-hal semacam ini yang mencemarkan ke-Maha Kuasa-an Tuhan. Merebaknya Islamophobia di Eropa dan Amerika, merupakan bukti nyata atas penyalahgunaan penggunaan nama Tuhan oleh sebagian Muslim radikal tersebut.
Dan boleh jadi, orang-orang yang bergulat dengan permasalahan kemanusiaan seperti kelaparan, kemiskinan, atau kebodohan, yang berangkat dari ekspresi semangat keagamaan dan keikhlasan, justru merekalah yang sebenar-benarnya "membela Tuhan". Dalam salah satu esainya, Gus Dur mengutip perkataan Imam Al-Hujwiri.
Toleransi sebagai Solusi
Di sinilah pentingnya peran toleransi. Toleransi tidak hanya berarti menerima perbedaan, tetapi juga mengakui hak orang lain untuk memiliki keyakinan, pendapat, dan gaya hidup yang berbeda dari kita. Toleransi adalah landasan yang memungkinkan adanya dialog yang konstruktif antara kelompok-kelompok yang berbeda, serta mengurangi ketegangan yang sering kali menjadi pemicu radikalisasi.
Toleransi menciptakan ruang bagi orang-orang dengan pandangan yang berbeda untuk saling berbicara dan mendengarkan. Dalam konteks ini, pendidikan memainkan peran yang sangat penting. Pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai toleransi sejak usia dini akan membentuk pola pikir yang lebih terbuka dan inklusif.Â
Hal ini akan mengurangi kemungkinan individu terpengaruh oleh ideologi yang eksklusif dan penuh kebencian. Pendidikan yang berbasis pada keberagaman dan pemahaman lintas budaya juga akan membantu memperkenalkan individu pada perspektif yang berbeda, yang pada akhirnya menumbuhkan rasa saling menghormati.
Peran Individu dalam Menumbuhkan Toleransi
Setiap individu juga memiliki peran penting dalam menumbuhkan budaya toleransi. Menghargai hak orang lain, tidak terprovokasi oleh ujaran kebencian, dan berusaha memahami pandangan orang lain adalah langkah-langkah kecil yang dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.Â
Ketika setiap individu berusaha membangun sikap toleransi, dampaknya akan terasa dalam bentuk penguatan ikatan sosial dan terciptanya masyarakat yang lebih damai.
Dalam banyak kasus, individu yang terjerumus dalam radikalisasi biasanya merasa terisolasi dan tidak dihargai. Oleh karena itu, membangun rasa saling pengertian dan dukungan di tingkat keluarga, teman, dan komunitas dapat menjadi langkah pertama yang efektif dalam pencegahan radikalisasi. Ketika seseorang merasa diterima dan dihargai, ia lebih cenderung untuk menghindari jalan radikal yang penuh kebencian.
Dalam menghadapi ancaman radikalisasi yang terus berkembang, toleransi menjadi kunci untuk menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan inklusif. Toleransi tidak hanya mengajarkan kita untuk menerima perbedaan, tetapi juga untuk memahami dan menghargai hak orang lain dalam menjalani kehidupan mereka sesuai dengan keyakinan dan pandangan masing-masing.Â
Melalui pendidikan, kebijakan inklusif, serta komitmen setiap individu untuk membangun hubungan yang saling menghormati, kita dapat mengurangi ketegangan yang memicu radikalisasi. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, penting bagi kita untuk terus mengedepankan nilai toleransi sebagai dasar dalam membangun masyarakat yang damai, stabil, dan bebas dari paham-paham ekstrem yang merusak perdamaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H