Istirahat Menjemputku Pulang
Karya; Nafidz.M.
Sejengkal lagi kakiku memasuki kelas yang agak bising sedikit di telingaku, sesaat sebelum aku mengucapkan selamat pagi dengan lantang, kaki kananku masuk lebih dulu bersamaan dengan ucapan selamat pagi yang membuat bising kelas berubah menjadi ucapan “selamat pagi Pak”. Ketika aku tengah merapikan buku-buku Pelajaran dan lembaran absensi, cahaya dari jendela masuk menyapa buku-buku Pelajaran itu langsung di atas tumpukannya, ruang kelas begitu bersih apa adanya, meja dengan senang hati memangku tangan murid yang terlipat rapih di atasnya, kursi juga nampak senang dapat memangku tubuh mereka yang semangat belajar, papan tulis juga tak memalingkan wajahnya melihat murid dengan wajah bahagia. Rasanya hari ini semua berbahagia, aku juga harus turut bahagia nampaknya.
Muridku mulai mengangkat tangan setelah aku panggil satu persatu untuk mengisi kehadiran mereka, suara mereka sangat lantang ketika menjawab kehadiran, jelas bahwa dua puluh muridku hadir semua hari ini. Aku bangun dari kursi lusuhku dan beranjak menuju papan tulis yang tak sabar menunggu kedatanganku, dan sebuah kata mendarat di papan tulis itu lalu aku mengucapkan ulang apa yang aku tulis, “Cerita Pendek” ucapku perlahan tapi mengusir kesunyian sesaat, aku berusaha menjelaskan dengan lugas setidaknya dengan kata yang akan diterima oleh siswa dan siswi SMA seperti mereka. Sebagai guru yang baru mengajar dua bulan ini dan tentu status guru yang aku miliki masih honorer, aku harus mengajar dengan profesional untuk memberikan pemahaman yang baik pada muridku.
“Silahkan buka buku paket kalian di halaman 50”, perintahku ditengah penjelasan untuk memberikan sebuah contoh dari cerita pendek, pada halaman tersebut terdapat sebuah cerpen yang berjudul Ikan Kaleng karya Eko Triono, kemudian aku memerintahkan mereka untuk membaca sejenak secara teliti cerpen tersebut. Selama mereka membaca dengan tenang, entah kenapa pikiranku menguasai diriku sendiri dan teringat hal-hal yang sebenarnya tak ingin aku pikirkan, “honorku untuk bulan ini mulai menipis dan kontrakan tempatku pulang sudah aku tunggak dua bulan, apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus meminta dikirimkan uang oleh orang tuaku di kampung? Tapi malu rasanya, sedangkan aku sudah memiliki pekerjaan yang aku impikan ini, kenapa istirahat tak menjemputku pulang?” ucapku dalam diam, disaat semua murid sedang fokus membaca.
Ditengah pikiranku yang berkecamuk itu, aku melanjutkan tugasku sebagai guru, “apa kalian bisa menyampaiakan ciri-ciri sebuah cerpen dari apa yang kalian baca?” tanyaku, beberapa murid mengangkat tangan dengan antusias, aku menunjuk salah satu dari mereka dan menjawab, “saya menyimpulkan bahwa cerita pendek memiliki sedikit tokoh dan alur cerita yang singkat.” Jawab Hamdi, salah seorang dari yang mengangkat tangan.
“tapi bukankah cerita pendek itu seharusnya pendek, tapi kenapa tulisannya begitu panjang”, lanjut Hamdi, semua yang mendengar pernyataan itu tertawa denga apa yang diucapkannya dengan nada bicara Hamdi yang lucu. Tetapi tidak denganku, aku malahan tidak mendengarkan apa yang dia sampaikan, pikiranku ternyata menutup suara yang keluar dari mulut Hamdi, ingin aku menyuruh untuk mngulanginya berbicara, berdosanya aku mengabaikan jawaban yang aku tanyakan sendiri, salahnya aku mengabaikan pertanyaan dari muridku yang tak mengerti. Namu aku diselamatkan dari rasa bersalahku oleh suara bel sekolah, itu menandakan jam Pelajaran pertama sudah usai, aku menghela napas sedikit dan merapikan barang-barangku yang kini sudah tak ada cahaya di atasnya.
Hari ini jadwal mengajarku hanya 2 jam, dan Tersisa 1 jam lagi siang nanti di kelas XI, sisanya aku hanya menilai beberapa tugas murid dan Kembali bertarung dengan pikiranku sendiri, “masih muda musti semangat, nanti kalau mendekati pensiun amat rumit untuk mengajar. Apalagi kita tinggal di kota dengan tekanan yang kuat,” datang ucapan dari Pak Retno, salah satu guru senior yang sebentar lagi akan dijemput pensiun, dia guru yang idealis semenjak istrinya meninggal, dia menyerahkan seluruh bayaran mengajar untuk anak-anak di Panti asuhan.
Kalimatnya kuat melerai perkelahian pikiranku, “saya lihat, Pak Yono sering sekali pulang terlambat bahkan bisa sampai malam hari masih di sini, kantor ini terlalu nyaman untuk orang muda ya?” tanya Pak Retno kepadaku, aku sebentar melihat seluruh penjuru kantor guru itu sambil menjawap pertanyaannya, “sungguh nyaman tempat ini, sofa tempat kita duduk sekarang, rasanya lebih layak untuk tempat tidur jika dibandingkan dengan kasurku di kontrakan hahahaha,” jawabku dengan candaan yang membuatnya turut tertawa kecil. Sesaat kemudian suara tawa semakin kecil dan menghilang dari pendengaran, sekolah memang terlalu nyaman untukku, aku bisa sebentar untuk tidak memikirkan bebanku yang sesekali mampir untuk menjenguknya, dalam kesunyian sesaat itu aku bertanya, “Apa Pak Retno bisa membayangkan sesuatu?” tanyaku,
“jelas masih bisa, kadang aku juga suka menghayal sendirian,” jawabnya, aku mulai memberikan dia imajinasi untuk dibayangkan, “baiklah, bayangkan Pak Retno adalah seorang muda yang tidak punya pekerjaan tetap dan bapak tinggal di ruangan petak kecil yang sumpek, lalu uang sewanya belum bapak bayar selama lima bulan, dan itu mengancam bapak untuk diusir paksa oleh pemilik petak itu, apa yang akan bapak lakukan dalam keadaan itu?” hayalan dan pertanyaan itu membuatnya terdiam, sesaat setelah itu keluar kalimat dari mulutnya, “pasti aku akan berjalan menuju sekolahan terdekat, aku akan masuk kedalamnya dan mencari seorang guru senior, kemudian aku akan mengajaknya duduk dan mengobrol, setelah itu aku akan memintanya membayangkan hal yang sama dengan apa yang sedang terjadi padaku,” kalimat itu diakhiri oleh tawa yang lumayan menutupi suara detak jam dinding.
Suara tawaku ikut menari bersama tawanya, saat itu aku paksa tawaku untuk Kembali masuk ke mulutku namun sulit rasanya, aku berdiri dengan keadaan masih tertawa kecil kemudian aku merapikan semua barang-barangku, berjalan aku sedikit cepat keluar dari kantor itu, sesaat aku merasakan kantor itu sudah tidak nyaman bagiku. “apa-apaan ini!bagaimana bisa aku terus bersembunyi dalam bayang-bayang kemalasan, dalam bayang-bayang untuk tidak melakukan apapun! Selama ini aku hanya berdiam menonton pertarungan antara diriku sendiri dan pikiranku, dan tanpa melakukan apapun!” ocehan itu keluar dengan suara yang amat kecil dan hanya bisa didengar oleh hatiku. Aku sedikit berlari menuju parkiran motor, aku masukkan batang kuncinya, dan pedal gas aku Tarik agak kencang menuju tempat pulangku, kontrakanku, tanpa memikirkan bahwa aku masih harus mengajar siang nanti.