Mohon tunggu...
Nafi Alhabib
Nafi Alhabib Mohon Tunggu... Freelancer - Personal

warga sipil

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep Nilai (Etika dan Kebahagiaan) dalam Sistem Ekonomi Kuno

30 Maret 2021   08:02 Diperbarui: 30 Maret 2021   08:06 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebuah buku terbitan Routledge yang di sunting oleh Profesor B. B. Price  dan berjudul " Ancient Economic Though" volume I yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1997, merupakan suatu buku hasil riset beberapa profesor yang fokus di bidang ekonomi, arkeologi, sejarah ekonomi serta sastra kuno. Beberapa buku dan teks kuno yang menjadi referensi pendukung analisis dalam buku ini juga sangat menarik seperti: Mahabaratha, Arthasastra, Pentateuch, Aristophanes, Plato's Republic, Aristotle's Politics, dsb. Buku ini dibagi dalam empat bagian yakni pemikir ekonomi kuno Indian, Hebraic, Greek, dan Roman serta dibagi menjadi sembilan chapter inti pemikiran ekonomi kuno.

Penulis merasa penting untuk memahami bagaiamana tradisi kuno memandang ekonomi dalam peradaban era dahulu. Konsep-konsep ekonomi modern bukan ada begitu saja, namun merupakan hasil bangunan dari batu bata-batu bata sistem ekonomi di setiap peradaban. Ada tiga peradaban kuno yang bagi penulis menarik untuk di telaah yakni tradisi ekonomi kuno masyarakat Indian, Hebaric dan Greek.

Perlu diingat bahwa banyak tulisan India klasik tentang etika, ekonomi, hukum atau filsafat agak seperti teorema matematika yang buktinya belum ditulis. Dan ini yang disesalkan para pemikir ekonomi kuno Indian ketidakadaan teks tertulis seperti yang dimiliki Plato dan Aristoteles. Hal ini sama seperti yang dikatakan Spengler," Because we lack treatises such as Aristotle's,"when dealing with extended periods we are limited in our understanding of the changes in economic thinking and practice that may have accompanied political and cultural change---information we have respecting Athens and Greece" artinya "Karena kita kekurangan risalah seperti Aristoteles, dan ketika berurusan dengan waktu yang cukup lama, pemahaman kita terbatas tentang perubahan dalam pemikiran dan praktik ekonomi yang mungkin menyertai perubahan politik dan budaya waktu itu sedangkan informasi yang kita miliki hanya tentang Athena dan Yunani"

Akhirnya metode pendekatan pemahaman gaya India kuno dilakukan dengan mencari penghafal teks dari ingatan sang guru. Karena itu mereka harus mencari tahu bagaimana dan mengapa pernyataan singkat ini ada dalam puisi atau sutra Indian kuno. Hal in tentu tidak mudah, kesulitan pemahan terletak pada pertimbangan masalah yang sudah ribuan tahun lalu dan juga banyaknya interpolasi pada komposisi aslinya.

ALAM ADALAH DASAR KEMAKMURAN
Dalam tradisi kuno Indian dimana segala realitas dipandang sebagai suatu aspek keberadaan atas dasar kekuatan metafisik yang mempersatukannya. Pandangan seperti ini juga yang menentukan motif berperilaku masyarakat dalam hal ekonomi, sehingga hampir tidak ada ruang untuk inisiatif atau kreatifitas individu. Akibat respon realitas yang dilimpahkan ke hal metafisika, maka pandangan kemakmuran ekonomi masyarakat Indian kuno sangat terkait dengan kondisi alam. Dan dari kondisi alam yang ada itu juga yang menentukan bagaimana pola perilaku yang dilakukan masyarakat Indian kuno setiap harinya.

India secara geografis terletak di daerah lembah sungai yang notabennya sangat subur karena diberkati dengan hujan melimpah. Hal ini yang membuat penyair kuno Indian Rigvedig berdoa kepada Dewa Hujan agar hujan sangat teratur sehingga tanah tetap subur. Berbeda dengan penyair Yunani Heosid yang hidup di daerah yang sering terjadi kelangkaan pangan, akibatnya ia memandang bahwa Dewa menjaga suatu yang tersembunyi dan ini merupakan cara manusia untuk hidup. Sehingga manusia diajarkan untuk terus menjaga diri dari kelaparan dan berusaha dengan upaya tanpa henti.

Dari sini sangat terlihat pola kepercayaan bangsa kuno yang erat kaitannya dengan kondisi alam yang ada. Ajaran yang diberikan pun akan ditentukan seberapa makmur mereka yang dilihat dari seperti apa kondisi alamnya. Masyarakat yang hidup dengan kesuburan pangan akan berdoa kepada Dewa untuk terus menjaga alamnya dan meluapkan rasa syukur dengan ritual-ritual pemujaan, sedangkan bagi masyarakat yang hidup di tanah tidak subur diminta untuk terus berusaha dan bekerja keras dimana Dewa menjadi motivasi manusia agar tidak pasrah dan punah karena kondisi alam.

NILAI EKONOMI, ETIKA DAN KEBAHAGIAAN
Di era modern ekonomi dijalankan dengan dengan paradigma realistis dimana motif perilaku beserta sifatnya lah yang menjadi aturan sistem dalam ekonomi. Namun dalam konsep ekonomi Indian kuno sangat terkait erat dengan kebahagiaan dan etika dalam satu kesatuan. Meskipun ketiga aspek diatas nampak tidak saling terhubung, namun fakta sepanjang sejarah manusia dalam kehidupan sehari- hari telah memperhatikan ketiga aspek keberadaan ini serta telah melihat semuanya sebagai bagian dari keseluruhan.

Problematika keinginan manusia yang tidak terbatas seperti diktum Marshall, juga terdapat pada kondisi masyarakat Indian Kuno. Karena mereka tidak bisa mengontrol penawaran karena bergantung dengan alam maka mereka berinisiatif untuk mengatur permintaannya agar keinginan manusia tidak meluap yang bisa mengakibatkan anrki dan kekacuan.

Peraturan yang dilakukan adalah menekankan pada kebahagiaan non-materil yang mutlak, sehingga kebahagiaan material dianggap sementara dan akhirnya permintaan bisa dibatasi. Pembatasan material dicapai dengan sistem etika yang memberikan cita- cita individu dan sosial untuk diperjuangkan. Etika pun memiliki beberapa peran seperti aturan pada pembatasan, pendistribusian barang secara adil, serta cara terbaik untuk meningkatkan output dalam kedaan sulit. Dari titik ini tentu kita dapat melihat bagaiman ketiga konsep kebahagiaan, etika, dan ekonomi terkait satu sama lain.

KEBAHAGIAAN DAN ETIKA
Dalam pemikiran ekonomi kuno Indian terkait dengan sukha dalam terjemahan Sarve janah Sukhino Bhavantu yang diartikan suatu kebahagiaan, kesenangan dan kesejahteraan. Gagasan mengenai kebahagiaan adalah kebaikan tertinggi yang harus diperjuangkan umat manusia merupakan suatu yang lazim dalam pemikiran dunia kuno dan abad pertengahan, seperti Ide- ide dari Epicurus, Callicles yang percaya pada doktrin pengejaran kesenangan ini. Para filsuf besar seperti Scorates, Plato, dan Aristoteles pun juga meyakini kebahagiaan sebagai salah satu tujuan dari eksistensi manusia.

Namun perdebatan terjadi ketika sukha diartikan kebahagiaan atau kesenangan semata. Dan perdebatan mengenai konsep pengejaran kebahagaian mendapatkan ujung bahwa tidak seharusnya mengejar kebahagiaan secara egois dan mementingkan sesama dan pada kondisi inilah sistem etika dan moral muncul. Sistem etika muncul karena keyakinan bahwa ada kode moral yang asli yang berasal dari ilahi (ajaran transcedental).

Sistem etika yang kemudian disebut filsafat moral berusaha memberikan panduan umum tentang perilaku manusia, apa yang harus dicari dan apa yang harus dilakukan dan bagaiman berhubungan dengan orang lain. Bahkan walaupun banyak sekte kegamaan di India kuno, namun tidak ada perbedaan signifikan pada ajaran moral yang diberikan. Beberapa literatur pun seperti Mahabharata tidak hanya ada Bhagawat Gita (teks etico-religius yang paling berpengaruh) tetapi juga Santi Parva yang menerangkan nasihat tentang bagaimana orang harus mengatur hidup.

EKONOMI SEBAGAI RUMPUN ETIKA
Suatu paralel menarik antara para pemikir Indian kuno adalah bahwa mereka menganggap studi ekonomi sebagai bagian dari etika dan politik karena keperhatianan mereka terhadap cita- cita tertinggi manusia dan pencapian akan kebahagian sejati. Hal yang sama juga dipikirakn oleh pemikir Yunani kuno Aristoteles dan Pemikir Ibrani kuno Mei Tamari. Menurut Kurt Singer menunjukan bahwa istilah oikonomia terdiri dari oikos, yang berarti perkebunan atau rumah tangga, dan nomos tidak merujuk pada arti hukum tetapi hanya pada tindakan mengelola, sehingga ini sangat terkait dengan etika.

Misal di peradaban Yunani kuno periode 800 SM hingga 400 M masyarakat menghadapi kelangkaan yang sangat serius, kemudian para pemikir yang berbeda mencoba menyelesaikan masalah dengan cara berbeda. 27 filsuf Yunani merekomendasikan moderasi dalam masalah ekonomi yang lebih khusus. Namun bagi Plato atau Aristoteles menyadari bahwa kekayaan itu perlu, tetapi hanya sebatas sebagai batu loncatan untuk berbuat kebajikan. Sedangkan mereka yakin bahwa peningkatan kekayaan secara progresif dalam suatu masyarakat cenderung lebih ke jahat dari pada kebaikan "evil rather than good".

Gagasan moderasi ekonomi ini juga yang memunculkan konsep keadilan dari Aristoteles yang membuat gagasan tentang berbagi harta sesesorang (sharing one's wealth). Gagasan ini diperlukan karena menambah efisiensi dan mencegah gradasi yang dapat menimbulkan sistem tirani di masyarakat. Plato dalam Republic juga menemukan keprihatinan mendalam tentang kemungkinan adanya konsekuensi tidak sehat jika moderasi terjadi, dalam kalimatnya, " a man may neither take what is another's, nor be deprived of what is his own" atau "seorang tidak boleh mengambil apa yang dipunya orang lain, atau kehilangan apa yang menjadi miliknya".

Gagasan etika dalam ekonomi juga terdapat dalam pemikiran para pemikir teologi Kristen bahwa perlunya distribusi pemerataan kekayaan yang tidak merata untuk meningkatkan kesejahteraan umum, hal ini harus dilakukan dengan memasukan penilaian etika dalam gagasan ekonomi.  Pemikiran ini kemudian yang memunculkan gagasan tentang harga yang adil, peraturan riba, peraturan properti pribadi, monopoli, perolehan laba, dll, yang mana semua ini dikembangkan sebagai instruksi normatif untuk mengurangi kerasnya privasi ekonomi dan meredam motif sifat egois individu.

EKONOMI DAN ETIKA DALAM PEMIKIRAN INDIAN KUNO
Dalam tradisi Indian ada tujuan kehidupan manusia yang disebut Dharma (hidup benar), Artha (kesejahteraan materi), Karma (kenikmatan hal sensual dan artistik), dan Moksha (kebebasan dari siklus kelahiran- kematian) semua hal ini berjalan bersama dan kenikmatan penuh mustahil dicapai tanpa salah satu tujuan tercapai. Artha menempati posisi ekonomi dalam tujuan hidup manusia.

Vatsyayana mendefinisikan Artha sebagai seni, tanah, emas, ternak, kekayaan, perlengkapan, dan teman. Tetapi ketika Kautalya menggunakan istilah tersebut sebagai judul buku petunjuknya, tafsir menjadi lebih luas yakni mencakup aspek ekonomi, sosial, dan politik, termasuk ekonomi politik dan kebijakan pemerintah. Dan dalam gagasan Santi Prarva di Mahabaratha memandang Artha sebagai nasihat mengenai akumulasi dan distribusi kekayaan serta diselingi dengan saran mengelola negara.

Kita telah melihat bahwa secara umum keinginan sebagai sifat buruk dalam tulisan- tulisan etis. Namun hal ini berbeda pada pertimbangan terhadap Artha dimana keinginan tidak langsung dikutuk, ada bagian-bagian yang bahkan memuji hasrat sebagai kebajikan positif. Misal dalam rantai yang menghubungkan kebajikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan adalah hasrat (desire) yang memberi motivasi pada semua tindakan.

Jika keinginan merupakan faktor pendorong utama suatu tindakan maka teks-teks yang berhubungan dengan ekonomi pasti akan menekankan pada nilai pengendalian diri. Dimana pengendalian ini mengacu pada akumulasi akuisi material. Akhirnya konsep penahan diri akan mengacu pada sifat egoisme manusia. Sifat egoisme yang tidak terkendali akan menyebabkan hasrat yang tamak yang memiliki konsekuensi serius baik pada individu maupun masyarakat.

Kesimpulan yang didapat tetang gagasan ekonomi di masa India kuno adalah gagasan mengenai peningkatan perilaku manusia melalui pengajaran dan peraturan hukum yang akan berimplikasi pada munculnya organisasi ekonomi yang tertib dan stabil. Pengajaran ini dapat berupa doktrin pengejaran kebahagiaan dan juga pengajaran etika baik buruk dalam berhubungan sesama manusia. Tujuan aktivitas ekonomi bukan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi tetapi lebih pada aspek konservasi, aspek berbagi untuk sesama dan pencegahan ketidakadilan melalui pelepasan diri dari kesengsaraan kelangkaan yang diakibatkan oleh kondisi geografis yang tidak mendukung, bencana yang tak terduga, serta sifat manusia yang berubah- ubah yang pada dasarnya sifat serakah (rakus), sehingga sifat inilah yang perlu dikendalikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun