Mohon tunggu...
Nafi Alhabib
Nafi Alhabib Mohon Tunggu... Freelancer - Personal

warga sipil

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep Nilai (Etika dan Kebahagiaan) dalam Sistem Ekonomi Kuno

30 Maret 2021   08:02 Diperbarui: 30 Maret 2021   08:06 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun perdebatan terjadi ketika sukha diartikan kebahagiaan atau kesenangan semata. Dan perdebatan mengenai konsep pengejaran kebahagaian mendapatkan ujung bahwa tidak seharusnya mengejar kebahagiaan secara egois dan mementingkan sesama dan pada kondisi inilah sistem etika dan moral muncul. Sistem etika muncul karena keyakinan bahwa ada kode moral yang asli yang berasal dari ilahi (ajaran transcedental).

Sistem etika yang kemudian disebut filsafat moral berusaha memberikan panduan umum tentang perilaku manusia, apa yang harus dicari dan apa yang harus dilakukan dan bagaiman berhubungan dengan orang lain. Bahkan walaupun banyak sekte kegamaan di India kuno, namun tidak ada perbedaan signifikan pada ajaran moral yang diberikan. Beberapa literatur pun seperti Mahabharata tidak hanya ada Bhagawat Gita (teks etico-religius yang paling berpengaruh) tetapi juga Santi Parva yang menerangkan nasihat tentang bagaimana orang harus mengatur hidup.

EKONOMI SEBAGAI RUMPUN ETIKA
Suatu paralel menarik antara para pemikir Indian kuno adalah bahwa mereka menganggap studi ekonomi sebagai bagian dari etika dan politik karena keperhatianan mereka terhadap cita- cita tertinggi manusia dan pencapian akan kebahagian sejati. Hal yang sama juga dipikirakn oleh pemikir Yunani kuno Aristoteles dan Pemikir Ibrani kuno Mei Tamari. Menurut Kurt Singer menunjukan bahwa istilah oikonomia terdiri dari oikos, yang berarti perkebunan atau rumah tangga, dan nomos tidak merujuk pada arti hukum tetapi hanya pada tindakan mengelola, sehingga ini sangat terkait dengan etika.

Misal di peradaban Yunani kuno periode 800 SM hingga 400 M masyarakat menghadapi kelangkaan yang sangat serius, kemudian para pemikir yang berbeda mencoba menyelesaikan masalah dengan cara berbeda. 27 filsuf Yunani merekomendasikan moderasi dalam masalah ekonomi yang lebih khusus. Namun bagi Plato atau Aristoteles menyadari bahwa kekayaan itu perlu, tetapi hanya sebatas sebagai batu loncatan untuk berbuat kebajikan. Sedangkan mereka yakin bahwa peningkatan kekayaan secara progresif dalam suatu masyarakat cenderung lebih ke jahat dari pada kebaikan "evil rather than good".

Gagasan moderasi ekonomi ini juga yang memunculkan konsep keadilan dari Aristoteles yang membuat gagasan tentang berbagi harta sesesorang (sharing one's wealth). Gagasan ini diperlukan karena menambah efisiensi dan mencegah gradasi yang dapat menimbulkan sistem tirani di masyarakat. Plato dalam Republic juga menemukan keprihatinan mendalam tentang kemungkinan adanya konsekuensi tidak sehat jika moderasi terjadi, dalam kalimatnya, " a man may neither take what is another's, nor be deprived of what is his own" atau "seorang tidak boleh mengambil apa yang dipunya orang lain, atau kehilangan apa yang menjadi miliknya".

Gagasan etika dalam ekonomi juga terdapat dalam pemikiran para pemikir teologi Kristen bahwa perlunya distribusi pemerataan kekayaan yang tidak merata untuk meningkatkan kesejahteraan umum, hal ini harus dilakukan dengan memasukan penilaian etika dalam gagasan ekonomi.  Pemikiran ini kemudian yang memunculkan gagasan tentang harga yang adil, peraturan riba, peraturan properti pribadi, monopoli, perolehan laba, dll, yang mana semua ini dikembangkan sebagai instruksi normatif untuk mengurangi kerasnya privasi ekonomi dan meredam motif sifat egois individu.

EKONOMI DAN ETIKA DALAM PEMIKIRAN INDIAN KUNO
Dalam tradisi Indian ada tujuan kehidupan manusia yang disebut Dharma (hidup benar), Artha (kesejahteraan materi), Karma (kenikmatan hal sensual dan artistik), dan Moksha (kebebasan dari siklus kelahiran- kematian) semua hal ini berjalan bersama dan kenikmatan penuh mustahil dicapai tanpa salah satu tujuan tercapai. Artha menempati posisi ekonomi dalam tujuan hidup manusia.

Vatsyayana mendefinisikan Artha sebagai seni, tanah, emas, ternak, kekayaan, perlengkapan, dan teman. Tetapi ketika Kautalya menggunakan istilah tersebut sebagai judul buku petunjuknya, tafsir menjadi lebih luas yakni mencakup aspek ekonomi, sosial, dan politik, termasuk ekonomi politik dan kebijakan pemerintah. Dan dalam gagasan Santi Prarva di Mahabaratha memandang Artha sebagai nasihat mengenai akumulasi dan distribusi kekayaan serta diselingi dengan saran mengelola negara.

Kita telah melihat bahwa secara umum keinginan sebagai sifat buruk dalam tulisan- tulisan etis. Namun hal ini berbeda pada pertimbangan terhadap Artha dimana keinginan tidak langsung dikutuk, ada bagian-bagian yang bahkan memuji hasrat sebagai kebajikan positif. Misal dalam rantai yang menghubungkan kebajikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan adalah hasrat (desire) yang memberi motivasi pada semua tindakan.

Jika keinginan merupakan faktor pendorong utama suatu tindakan maka teks-teks yang berhubungan dengan ekonomi pasti akan menekankan pada nilai pengendalian diri. Dimana pengendalian ini mengacu pada akumulasi akuisi material. Akhirnya konsep penahan diri akan mengacu pada sifat egoisme manusia. Sifat egoisme yang tidak terkendali akan menyebabkan hasrat yang tamak yang memiliki konsekuensi serius baik pada individu maupun masyarakat.

Kesimpulan yang didapat tetang gagasan ekonomi di masa India kuno adalah gagasan mengenai peningkatan perilaku manusia melalui pengajaran dan peraturan hukum yang akan berimplikasi pada munculnya organisasi ekonomi yang tertib dan stabil. Pengajaran ini dapat berupa doktrin pengejaran kebahagiaan dan juga pengajaran etika baik buruk dalam berhubungan sesama manusia. Tujuan aktivitas ekonomi bukan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi tetapi lebih pada aspek konservasi, aspek berbagi untuk sesama dan pencegahan ketidakadilan melalui pelepasan diri dari kesengsaraan kelangkaan yang diakibatkan oleh kondisi geografis yang tidak mendukung, bencana yang tak terduga, serta sifat manusia yang berubah- ubah yang pada dasarnya sifat serakah (rakus), sehingga sifat inilah yang perlu dikendalikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun