Mohon tunggu...
Nafi Alhabib
Nafi Alhabib Mohon Tunggu... Freelancer - Personal

warga sipil

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memahami Relokasi Ibu Kota Negara dari Akar Teori dan Historis

4 Februari 2020   13:02 Diperbarui: 4 Februari 2020   14:09 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pada tahun 1900 ada sekitar empat puluh Ibu Kota Negara (IKN) di dunia dan satu abad kemudian tepatnya pada tahun 2000 IKN memiliki jumlah sekitar dua ratus kota (Gordon, 2006). Dua revolusi besar dunia memiliki andil besar terhadap peningkatan IKN yakni runtuhnya kekaisaran dan pembentukan federasi (Vale, 2006). 

Lanskap IKN pada satu abad terakhir cukup menarik mengingat 75 persen IKN pada tahun 1900 sudah tidak diberi mandat lagi pada tahun 2000. Hal ini menandakan bahwa fenomena relokasi Ibu Kota Negara (IKN) merupakan satu opsi kebijakan yang sering ditempuh negara-negara di dunia, bahkan rata-rata setiap enam tahun terjadi relokasi pada abad ke-19 (Illmann, 2015).

Di Indonesia relokasi IKN selalu menjadi mandatory issue hampir di setiap rezim pemerintahan yang berkuasa. Dimulai dari isu pemindahan Ibu Kota ke Palangkaraya pada masa rezim Presiden Soekarno, kemudian isu Jonggol sebagai pengganti DKI Jakarta pada masa Presiden Soeharto dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono(Sugianto, 2017). 

Kemudian ketika Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa Sepaku dan Samboja sebagai lokasi Ibu Kota baru, saat ini Indonesia diambang pintu keluar dari considered relocations state menuju suatu negara yang merelokasi Ibu Kota Negara.

Persoalan utama dalam suatu kebijakan adalah terdapatnya asimetris informasi antara pemangku kebijakan dan masyarakat. Ditambah lagi era post-truth dan kemajuan teknologi informasi  membuat media sosial dan elektronik menjadi sumber berita yang didominasi oleh wacana politik dan diskursus yang membuat masyarakat menjadi bingung memilah kebenaran terhadap fakta dan data yang disajikan oleh institusi terkait maupun media massa (Haspramudilla, 2019). 

Pro kontra argumen menjadi polemik tersendiri di kalangan elit politik dan pemangku kebijakan. Beban demografi dan zona rawan bencana menjadi alasan kenapa IKN harus dipindahkan dari Jakarta selain alasan pemerataan sosial ekonomi. 

Namun biaya yang dibutuhkan untuk relokasi IKN bisa mencapai Rp469 triliun atau 25 persen total penerimaan negara pada tahun 2018 menjadi  suatu hal yang perlu pertimbangan lagi ditengah resesi ekonomi dunia (Gurniwang, 2019).

Pemahaman lebih mendetail terkait relokasi IKN tentu perlu dilakukan mengingat isu ini menjadi isu penting yang harus dipahami semua pihak. Dalam tulisan ini akan mencoba memberi pemahaman lebih mendetail terkait relokasi IKN dan dimulai dengan pertanyaan dasar apa itu relokasi IKN dan kenapa dilakukan serta apa hal yang mendasarinya serta bagaimana hasil dan prediksi pada relokasi IKN di Indonesia. Secara keseluruhan tulisan ini akan memaparkan pemahaman tentang Relokasi IKN mulai dari dasar hingga, tingkat pengimplementasian, dan analisa.

Definisi Ibukota

Sebelum memahami mengenai teori Relokasi IKN, penting untuk mengetahui apa itu ibukota dan kenapa kota ini  berbeda dengan kota-kota lain di suatu negara. 

Kata Ibukota dalam bahasa inggris sering disebut capital dan  ini berasal dari bahasa latin caput yang memiliki makna head (kepala). Kemudian Rapoport (1993) memberi kesimpulannya bahwa ide awal dibalik ibukota bukanlah kota, melainkan headquarters (markas besar). Pendefinisian ibukota secara legal dalam konstittusi atau hukum disuatu negara membuat esensi dari ibukota terlupakan (Illmann, 2015).

Sehingga beberapa peneliti memiliki hasil yang berbeda berkaitan dengan definisi ibukota. Perbedaan ini nyatanya menarik dua definisi penting.  Pertama, ibukota adalah suatu atribut pemerintah berupa alat kontrol wilayah baik kontrol politik, administrasi, kekuatan militer, budaya, pendidikan, transpotasi, sejarah, ekonomi, atau keadilan dan hukum (Gotmann dan Harper; Rapoport, 1993). 

Kedua, ibukota harus melambangkan identitas (simbol) nasional dan juga menjadi sutau kota yang netral dari beragam suku, agama, bahasa di suatu negara (Corey, 2004; Slack dan Chattopadhyay, 2009).

Dasar Teori Relokasi Ibu Kota Negara

Dalam pembahasan sebelumnya, secara ringkas ibukota menjadi hosts dalam atribut pemerintahan nasional seperti pertemuan aparatur legeslatif, yudikatif ataupun eksekutif. Oleh karena itu relokasi IKN adalah perpindahan fisik pemerintahan nasional  dari satu kota ke kota lain yang diikuti perpindahan seluruh aparatur negara pusat (Schatz, 2004). 

Alasan perpindahan IKN tentu  berbeda-beda di setiap negara, tetapi untuk memahami lebih jelas alasan ini saya akan memaparkan beberapa teori yang releven yang dapat menjelaskan kenapa terjadi relokasi IKN.

State-building dan National-building 

State-building didefinisikan sebagai upaya untuk mengembangkan institusi yang layak termasuk penguatan struktur politik, pembangunan infrsatruktur baru dan peralatan simbolik yang mengekspresikan legimitasi pemimpin (Schatz, 2004; Bogdandy et al., 2005). National-building  menggambarkan proses pembentukan identitas kolektif dengan suatu pandangan untuk melegitimasi kekuatan publik dalam wilayah tertentu untuk mengamankan loyalitas populasi luas yang menghuni suatu wilayah (Schatz, 2004; Bogdandy et al., 2005). 

Proses State and National building dimulai sebelum negara modern muncul tepatnya ketika terjadi banyaknya perang saudara maka pemindahan relokasi IKN menjadi salah satu strategi dalam pembangunan State dan National.

Ibukota harus berhak atas haknya sendiri

Corey (2004) mengatakan jika suatu IKN ingin menjadi sukses, ia harus dapat berfungsi dengan baik sebagai atribut pemerintah nasional, layak huni serta makmur dalam haknya sendiri. Jika suatu kota terus terancam bencana alam (banjir, gempa bumi) atau memiliki permasalahan lain seperti infrastruktur buruk, kelebihan populasi, perang saudara tentu hal ini akan mempengaruhi fungsi pemerintah nasional, sehingga  ibukota tidak mendapat haknya sebagai atribut kontrol, kota yang makmur dan layak. Hal ini diakibatkan karena ibukota akan disibukan dengan permasalahan-permasalahan kota saja.

Teori Pusat Pertumbuhan (growth centre theory)

Pemikiran dasar teori ini bahwa pembangunan tidak terjadi secara merata diseluruh  wilayah melainkan hanya di sekitar pusat pertumbuhan yang muncul secara alami ataupun direncanakan (Parr, 1999; Campbell, 1974). 

Growth centre theory  mengklaim jika investasi sebaikanya dipusatkan di satu tempat bukan dimeratakan, sehingga ini akan menciptakan pusat pertumbuhan yang dapat merangsang kegiatan ekonomi dan kesejahteraan di wilayahnya. 

Akibatnya akan terjadi suatu dominasi metropolis di pusat kota dan dapat mencegah kota lain berkembang. Untuk itu, menurut Parr (1999) strategi terbaik dalam menghambat pertumbuhan yang berlebih harus diciptakannya pusat kota berukuran sedang yang direncanakan dan dapat dicapai dengan interregional mobility, tax benefits, state interference, dan juga relocating the capital city.

Sejarah Implementasi Relokasi Ibu Kota Negara

Sejarah merupakan salah satu metode yang dapat digunakan sebagai referensi dalam melihat kebelakang bagaimana suatu kebijakan berjalan. Relokasi ibukota negara sudah banyak dilakukan oleh beberapa negara baik negara berkembang atau negara maju. Tesis dari Erik Illmann (2015) yang membuat tipologi alasan secara sederhana dan praktis dengan motede case studies seluruh negara yang menerapkan relokasi IKN yang menghasilkan  suatu kesimpulan bahwa terdapat beberapa alasan negara menerapkan relokasi IKN. 

(1) .National-building yakni ibukota diartikan suatu simbol yang kuat dan relokasi IKN menjadi suatu hal pemerkuat identitas nasional karena dapat menyelesaikan kecemburuan regional dan juga dapat meyatukan suatu bangsa dari keberagaman agama, etnis, ideologi yang dapat menjadi simbol kebanggaan nasional. Ini pernah diterapkan di negara Nigeria, Jerman dan Kazakhstan. 

(2) Pemerataan pembangunan daerah yang menjadi alasan utama relokasi IKN di Brasil, Tanzania, dan Korea Selatan. Suatu negara yang tidak merata dapat melakukan relokasi ibukota kewilayah terbelakang. Seperti growth  centre theory menjelaskan ibukota sebagai pusat pertumbuhan sehingga perpindahan aparatur negara di suatu tempat baru akan mengakibatkan terjadinya linkage effect. 

(3) Permasalahan ibu kota dan menjadi alasan relokasi IKN negara Pakistan dan Brasil. Permasalahan kota seperti banjir, infrastruktur buruk, kelebihan penduduk ini dapat menganggu fungsi pemerintahan sehingga relokasi dilakukan. 

(4) Keputusan pimpinan adalah salah satu faktor penentu. Dalam beberapa relokasi pimpinan memainkan peran penting terutama untuk negara yang tidak menerapkan sistem demokrasi. Negara yang menggunakan ini sebagai alasan relokasi IKN adalah Malaysia, Malawi, dan Nigeria.

Sejarah implementasi IKN yang menarik lagi untuk di ketahui adalah skema pembiayaan yang pernah diaplikasikan mengingat ini merupakan hal yang paling krusial di khawatirkan. Ada beberapa skema yang pernah digunakan negara-negara di dunia: 

(1) Skema pembiayaan tradisional. Skema ini dapat dilakukan ketika pemerintah memiliki ruang fiskal yang memadai karena skema pembiayaan ini lebih menggunakan anggaran pemerintah. 

(2) Skema pembiayaan KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha). Skema ini diharapkan mampu memberikan peringanan beban APBN dan lebih efisien jika digunakan dalam pembiayaan infrastruktur. (

3) Skema pembiayaan swasta. Skema ini terkait investasi masyarakat untuk berkontribusi dalam pembangunan nasional

Tantangan Relokasi Ibu Kota Negara Indonesia 

Setelah kita memahami beberapa hal terkait relokasi IKN tentu kita dapat belajar dari sejarah apa yang sebenarnya menjadi alasan negara-negara di dunia dan bagaimana mereka menjalankan relokasi IKN. Dari teori dan implementasi yang sudah dipaparkan saya menarik kesimpulan jika tantangan terbesar relokasi ibukota negara adalah stabilitas politik. 

Permasalahan yang terjadi di negara-negara yang menerapkan relokasi IKN  tentu diakibatkan karena kota tersebut dijadikan ibukota, untuk itu dapat diprediksi jika ibukota baru akan mengalami beberapa permasalahan yang sama. Permasalah yang paling saya antisipasi adalah ketika wilayah ibukota baru yang damai menjadi wilayah rawan konflik karena peningkatan demograsi yang akan memadati wilayah tersebut. 

Dascher (2000) berpendapat bahwa pemberontakan akan semakin dekat dengan munculnya pusat kekuasaan politik akibatnya konflik akan sering muncul dan berusaha menggulingkan pemerintahan. Hal ini dikarenakan penduduk wilayah ibukota memiliki pengaruh yang besar dan signifikan terhadap pemerintahan (Ades dan Glaeser, 1994). 

Contoh sejarah ketika 550 penduduk paris atau hanya dua persen dari keseluruhan penduduk Perancis mempunyai daya yang lebih besar dalam mempengaruhi permulaan, proses dan hasil revolusi Perancis (Campante et al., 2014). Untuk itu menjaga stabilitas politik harus terus menjadi hal yang tidak luput dari pandangan pemerintah jika tidak ingin ibukota baru yang sebelumnya damai menjadi ujung tombak aksi politik yang tidak bertanggung jawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun