4) wali dari anak, apabila kedua orang tua anak telah meninggal dunia,Â
5) kuasa hukum, apabila orang tua atau waktu berhalangan.
Menjadi persoalan apabila pasal 6 angka (2) yang menyatakan bahwa dalam hal orang tua telah bercerai, permohonan DK tetap diajukan oleh kedua orang tua, atau salah satu orang tua yang memiliki kuasa asuh terhadap anak berdasarkan putusan Pengadilan.Â
Saya menafsirkan begini, bahwa meskipun kedua orang tua sudah bercerai, memiliki keluarga baru, baik hubungannya baik atau tidak baik antara keduanya, tetap ketika mengajukan permohonan DK mereka harus berdua.
Ini masalah baru, ya... kalau mereka dalam keadaan baik komunikasinya, lha kalao mereka tidak rukun, atau keberadaan mereka ada di daerah yang jauh, misalkan saja si mantan suami bertempat tinggal di Aceh dan memiliki keluarga baru di sana.Â
Sedangkan ibu anak mereka mengajukan permohonan DK di Kotabaru, wilayah Kalimantan Selatan. Mungkinkah, harus kedua orang tua anak tersebut yang mengajukan permohonan DK tersebut. Sungguh menyulitkan, apalagi apabila tidak lagi ada komunikasi yang baik antara kedua orang tua anak.
Menjadi masalah baru, apabila anak yang akan dinikahkan adalah perempuan, sehingga harus ada persetujuan ayahnya sebagai wali nikah untuk perkawinan tersebut.Â
Memang dapat dimengerti bahwa tujuan dari Pasal 6 angka 2 tersebut adalah supaya adanya kepastian tentang persetujuan orang tua untuk menikahkan, sehingga wali nikah dapat dipastikan dan komitmen orang tua untuk membantu pembangunan bahtera rumah tangga anak sampai mandiri dapat disampaikan di persidangan.
Ini mesti menjadi pertimbangkan, karena tidak semua orang tua yang bercerai, dalam keadaan perceraian yang baik, dan masih dalam wilayah yang sama dengan pengaju permohonan DK.Â
Mungkinkah ada kebijakan tentang kebolehan pengajuan permohonan DK oleh salah satu orang tua yang mengasuh anak tersebut, meskipun tanpa adanya putusan pengadilan atas pengasuhan tersebut?Â
Karena menurut hemat saya, ketika yang dipermasalahkan adalah wali nikah, maka hal tersebut adalah persoalan lain yang mesti ditentukan dengan perkara yang lain.Â