Akibatnya menjadi banyak sekali spekulasi dan takhayul yang muncul, sejumlah orang Eropa menunding sekelompok kaum Yahudi, pengemis, penderita lepra, bahkan biarawan sebagai baing kladi. Lainnya menunding hewan, yang paling terkenal adalah terkait kucing sebagai pembawa kutukan dan kaitan binatang karnivora itu dengan setan. Dampaknya, sejumlah kucing dibantai. Itu adalah sebuah tindakan fatal yang justru membuat wabah kian gawat.
Karena, tikus – tikus ikut andil dalam penyebaran virus ini. Sebab, jika tidak ada kucing yang menjadi predator tikus. Tikus – tikus menggila, hewan pengerat itu beranak pinak. Orang – orang Eropa terus membantai kucing sampai 300 tahun, mereka sangat rentan terhadap wabah, Ketika pagebluk itu Kembali menyerang pada tahun 1600 – an.
Penyakit tersebut hanya mereda pada saat musim dingin, saat Sebagian besar kutu tak aktif. Namun, setiap musim semi datang, penyakit itu muncul Kembali dan merengkut korban.
Tingkat kematian dari black death bervariasi. Umunya tingkat kematian di kota – kota lebih tinggi, karena memiliki tingkat penularan yang lebih tinggi pula daripada pedesaan. Bahkan, beberapa bangsawan Eropa banyak yang menjadi korban, diantaranya Eleanor dari Aragon, Raja Alfoson XI dari Kastilia dan putri Raja Edward III dari Inggris yang Bernama Joan. Saat itu pula, banyak yang mempercayai wabah Black Death sebagai kutukan akibat keserakahan dan kejahatan yang dilakukan manusia.
Mereka yang percaya tentang wabah adalah kutukan itu, pada akhirnya melakukan ritual – ritual yang dianggap sebagai upaya penebusan dosa.
Black death tidak pernah benar – benar berakhir. Wabah ini mereda setelah para pejabat Pelabuhan melakukan upaya karantina atau isolasi guna memperlambat penyebaran. Para pelaut yang mendarat di dermaga akan langsung di isolasi selama 30 – 40 hari untuk memastikan tidak terkena wabah hitam ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H