Aku punya sebuah rumah sederhana yang sudah kutinggali selama enam tahun berjalan. Aku mengalami proses pendewasaanku di sana, sejak aku berusia tujuh belas hingga saat ini usiaku dua puluh tiga. Semua hal baru, entah senang atau sulit, kutemui di rumah itu. Sayangnya, di tahun ketiga sebuah bencana besar terjadi yang mengakibatkan rumah tersebut roboh. Hampir rata dengan tanah. Hampir tidak bisa lagi ditempati.
Akan tetapi, dengan segala perasaan yang berkecamuk, aku putuskan untuk memperbaikinya. Merenovasi supaya bisa kembali ditinggali. Namun, setelah susah payah kususun satu per satu, beberapa kali bencana itu datang lagi, meski skalanya lebih kecil tetap memberi dampak yang melelahkan. Beberapa kali juga aku hampir menyerah, ingin kutinggalkan saja walaupun dengan resiko menjadi gelandangan.
Saat ini kondisi rumah itu sudah tegak, meski rasanya tidak sekokoh sebelumnya. Masih terlihat garis-garis retakan memanjang melintang dari sudut ke sudut. Langit-langit pun tidak serapat sebelumnya, sehingga kalau hari sedang hujan, dengan mudah air masuk melalui lubang kecil di atas sana. Satu dua perabotan rumah kuperbaiki seadanya, yang penting masih bisa dipakai lagi.
Pada suatu hari, aku diharuskan ke luar desa, kutinggalkan rumah itu untuk sementara. Di kota, aku melihat banyak sekali model rumah baru. Lebih modern, lebih canggih, dan yang jelas lebih kokoh. Bagaimana ya rasanya hidup di bangunan sebagus itu? Dari perjalanan itu, aku jadi berpikir, apakah aku akan terus tinggal di rumah retak itu sampai seumur hidup? Sampai aku mati? Apakah rumah itu akan terus aman untuk kutinggali? Apakah aku tidak lelah merawat rumah yang beresiko roboh sewaktu-waktu? Apa sebenarnya aku perlu untuk pindah ke rumah baru?
Singkat cerita, salah satu kenalan saudaraku menawariku sebuah bangunan rumah minimalis di suatu komplek kelas menengah. Karena penasaran, aku membuat janji temu dengan beliau untuk melihat-lihat rumah yang dimaksud. Tanpa diduga, ternyata ada peraturan tak tertulis yang berlaku di perumahan tersebut. Bahwa untuk bisa memasuki rumah di sana, kau harus sepenuhnya pindah terlebih dulu dari rumah lamamu. Alhasil, karena tentu saja aku belum mau pindah, aku hanya bisa melihat-lihat bangunan tersebut dari luar.
Halamannya disusun rapih, seperti format default untuk rumah yang belum dihuni. Area teras rumah itu memiliki satu buah kursi kayu yang sangat menarik perhatianku. Desainnya terlihat antik dan unik. Tampak serasi, meja di sampingnya pun terbuat dari kayu. Aku seketika membayangkan betapa nyamannya jika aku bisa duduk di kursi itu, sambil menulis jurnal di buku catatan favorit, menceritakan tentang hal-hal apa saja yang terjadi dalam sehari. Sesekali menyesap kopi hitam yang kutaruh di meja sebelahnya.
Tiba-tiba kenalan saudaraku mempersilakan untuk duduk di sana jika aku ingin mencobanya. Tentu saja, aku ingin. Tanpa pikir panjang, dengan perlahan kududuki kursi tersebut. Kusentuh lengan kursinya, halus. Bantalan duduknya pun terasa sangat empuk dan lembut. Aku menghela napas.
Sudah kuduga, aku menyukai kursi ini. Aku menyukai bagian depan rumah ini.
Sepulangnya dari sana, aku terus memikirkan betapa senangnya jika aku tinggal di rumah itu. Nyaman, dan pastinya lebih aman. Keinginanku untuk pindah rumah semakin menjadi. Namun, di satu sisi, aku masih belum rela melepas rumah yang saat ini kutinggali. Terlalu banyak kenangan di setiap jengkal dan sudutnyai. Lagipula, jika mendengarkan pikiran negatifku, tetap masih ada kemungkinan ketika aku pindah ke rumah baru, aku akan mendapat bencana lagi. Mungkin saja bencana yang sama, atau bahkan yang lebih besar.
Sampai detik ini, aku masih ragu dan dilema, apakah sebaiknya aku pindah ke rumah minimalis itu atau tetap menetap di rumah retak namun berharga ini?
Bagaimana menurutmu?
Mana yang akan kau pilih, jika kau adalah aku?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H