Mohon tunggu...
Naeli Yumna
Naeli Yumna Mohon Tunggu... Lainnya - 26/XI MIPA 2

Tugas Bahasa Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Tak Seburuk yang Terlihat

19 November 2020   23:37 Diperbarui: 19 November 2020   23:46 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

“Tidak ada apa-apa kok,Bu. Dirsya kurang enak badan saja, makanya Dirsya pulang lebih awal.” jawabku sambil menahan tangis.

“Waduh, kalau begitu cepat ganti baju lalu makan dan minum obat. Biar Ibu yang mengerjakan  pekerjaan rumah hari ini.” ucap Ibu.

“Tidak usah, Bu. Dirsya masih kuat kok. Lebih baik Ibu istirahat saja. Kalau begitu Dirsya ke kamar dulu ya, Bu.” jawabku lagi. Di kamar aku langsung menangis sekencang-kencangnya. Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. 

Aku tidak mungkin jujur ke Ibu karena itu akan menambah beban pikirannya. Aku tidak ingin membuat Ibu tambah sakit. Akhirnya aku memutuskan untuk sholat malam untuk meminta pertolongan dan petunjuk dari Allah. Setelah sholat malam, perasaanku jauh lebih tenang. Dan pada akhirnya, aku memutuskan untuk jujur ke Ibu dan guru-guruku.

Keesokan harinya di sekolah, aku memutuskan untuk menemui guruku dan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.

“Jadi sebenarnya begini Bu. Orang tua saya sudah berpisah semenjak saya berusia 5 tahun. Ayah saya meninggalkan ibu, saya, dan kedua adik saya begitu saja. Ibu saya jatuh sakit dan tentu saya yang harus menggantikan posisi Ibu menjadi tulang punggung keluarga. Itu alasan berjualan di sekolah. Karena berjualan di sekolah dilarang saya menjadi porter di pasar. Itu yang membuat saya kelelahan sehingga terlambat dan tertidur di kelas. Maafkan saya, Bu. Saya awalnya tidak yakin untuk membicarakan hal ini kepada Ibu. Sekali lagi maafkan saya, Bu.” ucapku panjang lebar sambil meneteskan air mata.

Guru yang mendengar ceritaku itu pun ikut meneteskan air mata. Beliau tidak bisa berkata-kata lagi.

“Maaf, Nak. Ibu tidak tahu apa yang kamu alami dan kamu rasakan. Seharusnya dari dulu kamu jujur saja ke Ibu, Nak. Pasti Ibu akan memahaminya. Maafkan Ibu sudah berburuk sangka kepadamu ya. Kalau kamu butuh apa-apa kamu bisa bilang ke Ibu atau guru lain yang bisa kamu percaya. Kami pasti akan membantu kok.” balas guruku sambil memelukku. Saat aku keluar ternyata teman-teman telah menungguku. Mereka meminta maaf kepadaku karena telah berburuk sangka.

Saatnya aku jujur pada Ibu. Sesampainya di rumah aku langsung mencari Ibu. Aku pun menjelaskan apa yang terjadi. Tentu pada awalnya Ibu terkejut. Tapi yang namanya seorang Ibu, pasti akan memaafkan kesalahan anaknya.

Setelah aku jujur kepada semua orang, kehidupanku perlahan membaik. Aku sering mendapat bantuan dari sekolah. Pekerjaanku kini juga telah berganti menjadi guru les, setidaknya itu adalah pekerjaan yang cukup ringan, tak membutuhkan begitu banyak tenaga, dan juga dapat membantu ekonomi keluarga kami.

Kegiatanku berjalan dengan lancar, tanpa berjualan, tanpa menjadi porter. Teman-teman di sekolahku mulai bisa menerima dan bergaul denganku. Kesehatan Ibu juga mulai membaik, adik-adik pun dapat bersekolah. Aku sangat senang karena pada akhirnya aku mencapai titik ini. Sekarang aku sadar, jujur terkadang memang sangatlah pahit namun ada hikmah manis yang akan kita dapatkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun