I. PendahuluanÂ
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang multicultural, masyarakat Indonesia sering kali dianggap sebagai masyarakat yang tingkat keanekaragamannya sangat menjadikan masyarakat yang mayoritas memiliki suku, budaya, Bahasa, ras, gender yang kaya di Negara yang multikultural. Masyarakat dengan keanekaragaaman di Indonesia ini sendiri menjadikan pandangan seseorang tentang kehidupan dunia ini ataupun kebijakan budaya yang mana hal tersebut menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dalam pernyataan tersebut berbagai macam multi menyangkut nilai-nilai, moral, budaya, dan etnis dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
Pendidikan multikultural sebagai program dirancang dengan berpedoman pada dimensi: budaya dan kelompok untuk menggambarkan konsep, prinsip, generalisasi serta teori utama dalam multicultural. Melalui rancangan ini, pendidikan multikultural diimplementasikan ke dalam pembelajaran multikultural berbasis nilai kebangsaan untuk menghasilkan subyek belajar  yang memiliki kompetensi: (1) berwawasan dan berpengetahuan luas tentang konsep multikulturalisme (knowledge); (2) memiliki sikap arif dan bijak sebagai anggota masyarakat yang multikultur (disposition); dan (3) memiliki keterampilan dalam mengambil keputusan dan memberikan alternatif terhadap permasalahan multikultural dalam menjaga integrasi dan keharmonisan (skill).
Fadillah, Muhammad, (2017) Menyatakan generasi muda yang terdidik dalam semangat Multikultural akan menjadi asset berharga bagi pembangunan bangsa di Indonesia yang plural. Mereka akan mampu menghadapi tantangan dan konflik yang mungkin muncul akibat keragaman dengan cara yang konstruktif dan damai. Dengan sikap terbuka dan inklusif mereka akan menjadi jembatan penghubung antar kelompok masyarakat yang berbeda, membangun dialog dan saling pengertian.
II. Pembahasan
Pelatihan Guru Yang Sensitif Terhadap MultikulturalismeÂ
Peningkatan kesadaranPeningkatan kesadaran Multikultural semakin penting karena praktik konseling yang tidak sensitif budaya dan mengabaikan perbedaan budaya dianggap kurang etis dan dapat mengakibatkan malpraktek. Guru merupakan agen penting dalam pendidikan Multikultural. Pelatihan untuk peningkatan kesadaran Multikultural dalam dapat dilakukan dengan berbagai cara, yang mana guru harus mencakup pengembangan kompetensi dalam mengelola kelas yang beragam, strategi pengajaran yang inklusif, dan cara mengatasi diskriminasi serta bias di lingkungan sekolah. Guru yang terlatih dengan baik dapat menciptakan lingkungan belajar yang mendukung semua siswa.Â
Menurut SKB Mendikbud dan Kepala BAKN No.0433/P/1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, yang dimaksud dengan guru pembimbing adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh dalam kegiatan bimbingan dan konseling terhadap sejumlah peserta didik. Sedangkan menurut undang undang nomor 20 tahun 2003 menyatakan tanda petik konselor adalah pendidik " dan dalam peraturan menteri pendidikan nasional nomor 22 tahun 2005 mengemukakan tanda petik konselor adalah pelaksana pelayanan konseling di sekolah ". Â
Sesuai dinyatakan Hanna (1999) bahwa pada akhirnya konselor diharapkan dapat mencapai kearifan dalam menghadapi konseli dengan segala perbedaan budaya dan karakteristik konseli, kearifan dipandang sebagai kualitas fundamental dan merupakan kualitas konselor yang efektif. Konselor yang arif menurut Hanna memiliki empati dan kepekaan budaya, tidak menggunakan pendekatan atau keterampilan yang bersifat otomatis, memiliki pandangan mendalam, tidak mudah mengelabui atau menipu, memiliki pengetahuan diri (self knowledge) dan kesadaran diri (self awareness) secara ekstensif, belajar dari kesalahan kesalahan, siap melakukan penataan ulang konteks budaya, memahami kerangka masalah secara tepat, memiliki toleransi tinggi dan terbuka, serta ahli dalam melakukan transendensi diri. Â Â
Pemilihan strategi pelatihan yang disesuaikan dengan karakteristik peserta ini sesuai saran Ancis (1998, 134-143) bahwa untuk efektivitas penerapan model pelatihan perlu disesuaikan dengan peserta. Penerapan model awwarenes trainning yang memiliki sintak sederhana yaitu (1) pemberian tugas dan penyelesaian tugas serta (2) menganalisis tugas dan refleksi, terbukti efektif.
Untuk lebih mengefektifkan model awwarenes training ini maka dilengkapi dengan strategi pembelajaran berupa penayangan film dan video, ceramah dengan bantuan media power point, game, diskusi dan kerja kelompok. Film dan video sebagai media pelatihan sesuai saran Malott (2010) tentang pelatihan Multikultural yang dapat memanfaatkan media film sesuai tema pelatihan sebagai stimulan pelatihan terhadap peserta dewasa untuk melakukan tugas tugas kelompok, diskusi dan refleksi diri.