Rakyat Indonesia fix digiring terpecah menjadi 2 bagian. Tidak ada tempat bagi pilihan Netral, karena suka atau tidak, kelompok Netral pasti akan "diseret paksa" untuk menentukan sikap partisan oleh keadaan dan situasi perpecahan.
Pilpres 2019, jujur atau curang tidak lagi menjadi isue sentral. Pasca Pilpres, kedua kelompok yang saling memperebutkan kemenangan masing-masing akan mengklaim sebagai pihak yang berhak memiliki legitimasi rakyat.
Hasil Pilpres hanya berupa bahan klaim satu pihak yang tidak lagi memiliki dasar legitimasi formal bagi pihak lainnya. Yang tersisa nantinya hanyalah fakta realitas pemilik dukungan real rakyat terbanyak dan kemampuan mengakses aparat bersenjata dan menggunakannya atas nama konstitusi.
Kita tak akan pernah tau apa yang akan terjadi beberapa waktu kedepan. Namun intensitas suhu perseteruan jelas semakin memanas.
Pada dasarnya tak ada satupun dari pihak yang berseteru  menginginkan terjadinya konflik horizontal yang mengarah pada pertikaian fisik.
Namun adanya kepentingan asing yang menghendaki pertikaian fisik itu terjadi perlu diwaspadai, mengingat Indonesia adalah salah satu negara yang berperan penting dalam percaturan politik dunia dan asia khususnya.
Tentu ada saja pihak asing yang menghendaki pelemahan nasional Indonesia. Semua tak lebih dari kepentingan ekonomi dan politik. Sebagai negara kaya sumber daya alam dan posisi teritorial yang strategis, Indonesia bak gadis cantik jelita ditengah kerumunan preman genit.
Jadi walau sekeras apapun upaya didalam negeri meredam "tensi emosional politik", akan ada saja upaya pihak asing tertentu yang bernafsu menyiram minyak ke tungku bara politik nasional Indonesia.
Corongnya tentu terlihat seperti berasal dari dalam, namun pemegang mikrophone-nya pasti memikul kepentingan asing. Dalam geliat politik luar negeri, Â sejak jaman silam, antek-antek asing dan agen intelejen asing selalu menghiasi warna politik nasional sebuah negara, di negara manapun hal itu lazim terjadi.
Kesenjangan intelektual penduduk yang biasanya selaras dengan kesenjangan ekonomi selalu menjadi tolok ukur bagi tingkat kualitas kedewasaan politik rakyat sebuah negara.
Tak perlu tersinggung dengan kenyataan tersebut, karena faktanya nampak jelas penduduk Indonesia mayoritas masih menjadi komoditas politik bagi segelintir elit politisinya, sebagaimana juga menjadi komoditas ekonomi bagi segelintir konglomerat-nya.
Tingkat kualifikasi intelektual dan ekonomi penduduk yang baik hanya dimiliki oleh negara-negara yang peradaban demokrasi dan kesejahteraan ekonomi penduduknya terpenuhi, sekalipun menjadi kaya raya tidak mudah, sekurangnya sandang, pangan, papan penduduknya tercukupi.
Sementara negara yang tingkat kemiskinan penduduknya masih tinggi, gizi buruk, fasilitas pendidikannya mahal dan sulit dijangkau, jaminan kesehatannya amburadul, demokrasinya semu, hukumnya dikuasai mafia, ekonominya dikuasai kartel, tentunya layak dikatagorikan sebagai negara terbelakang.
Jika ditambah lagi dengan konflik sara, pembungkaman paksa lewat intimidasi "Makar", kriminalisasi pikiran dengan UU ITE, penyanderaan Demokrasi lewat kecurangan pemilu, pamandulan nilai-nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab, meracuni persatuan dan mengubur keadilan sosial, maka peringkatnya akan turun lagi sebagai negara bar-bar.Â
Semoga Indonesia tidak menuju pada arah itu, maju menuju keterbelakangan, atau kemunduran dimasa depan.
#salam_sehat
Pegiat Akal Sehat
- Nadya Valose -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H