Salah satu warisan kebudayaan bangsa Indonesia adalah cerita rakyat. Cerita rakyat telah berkembang selama puluhan dekade. Tentunya, di setiap daerah memiliki cerita rakyat dengan versi masing-masing. Cerita rakyat biasanya akan disampaikan atau dibacakan ketika masih anak-anak ataupun usia pertumbuhan. Hal tersebut memiliki banyak manfaat seperti mendorong kemampuan berbahasa anak, mendorong keterampilan membaca, serta memberikan pengetahuan baru terhadap anak. Cerita rakyat memiliki peran tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Peran tersebut meliputi ajaran budi pekerti atau moralitas. Pesan moral yang disampaikan terdapat beragam jenis, terdapat nilai moral sosial, nilai moral religi, nilai moral hukum, nilai moral etika. Berbagai nilai tersebut apabila diakumulasikan akan menjadi sebuah pengetahuan.Â
Dalam pemahaman anak, cerita yang akan diserap oleh anak dapat menjadi variable penting, termasuk pemahaman terkait konstruksi gender (Hanni dalam Fajar et al., 2022). Berdasarkan penelitian yang ada, tidak sedikit penelitian menunjukkan bahwa cerita rakyat nusantara bersifat bias gender (Fajar et al., 2022). Menurut Andalas dan Qur'ani, cerita rakyat nusantara mengendap ideologi gender tertentu yang menjadi aspek dominan dalam mendefinisikan gender suatu masyarakat (Andalas dan Qur'ani dalam Fajar et al., 2022). Ideologi gender tertentu memainkan peran penting dalam menentukan citra gender dalam suatu masyarakat.Â
Dalam memahami gender pada masa anak-anak, cerita rakyat berperan sebagai media pembelajaran awal. Martin dan Rubble (2004) mengatakan bahwa anak kecil merupakan detektif gender yang tengah mencari teladan mengenai gender- siapa yang semestinya ikut serta dalam aktivitas tertentu, siapa yang tidak, siapa yang bias bermain dengan siapa, bagaimana gender tertentu harus bersikap, dan mengapa perempuan dan laki-laki berbeda (Martin dalam Edy, 2017). Berdasarkan hal tersebut, cerita rakyat memiliki peran tersendiri yang memiliki urgensitas dalam kehidupan anak.
Cerita Dewi Kilisuci
Dewi Kilisuci merupakan cerita rakyat yang berkembang di Jawa Timur, khususnya masyarakat Kediri. Cerita tersebut bermula terdapat seorang putri, anak dari pasangan Raja Airlangga dan Sri (Putri Dharmawangsa Teguh). Putri tersebut bernama Rakrayan Mahamantri Hino Sanggramawijaya Dharmaprasada Tunggadewi, ia adalah putri pewaris tahta kahuripan. Putri Sanggramawijaya Tunggadewi adalah sosok putri yang menyukai keheningan dan kesepian. Akan tetapi karena penyakit yang dimilikinya, Sanggramawijaya tunggadewi yang seharusnya melanjutkan tahta ia tidak melakukannya. Putri tersebut memiliki penyakit kedhi atau tidak bisa menstruasi. Atas hal tersebut ia dianggap sebagai wanita suci pepunden tanah Jawi. Akhirnya Sanggramawijaya mengundurkan diri dari tahta, kemudian ia menjadi seorang pertapa yang bergelar Dewi Kilisuci. Setelah menyelesaikan pertapaannya Dewi Kilisuci memilih untuk membantu rakyat. Dewi Kilisuci merupakan perempuan yang sangat cantik, karena kecantikannya dan sering membantu rakyat ia menjadi terkenal. Banyak laki-laki yang melihat kecantikan dewi tersebut tertarik untuk meminangnya. Hingga terdapat Lembu Suro yang ingin meminang Dewi Kilisuci. Lembu Suro  adalah seorang pemuda dengan wujud berkepalakan kerbau. Akan tetapi, Dewi Kilisuci enggan untuk menerima pinangan dari Lembu Suro. Dewi Kilisuci mengadakan sayembara untuk membuat sumur. Kemudian ia meminta Lembu Suro untuk membuat sumur di gunung Kelud dalam satu malam dan harus selesai sebelum ayam berkokok. Dewi Kilisuci terkejut akan kemampuan Lembu Suro. Dewi Kilisuci tidak ingin Lembu Suro berhasil dalam menyelesaikan sumur tersebut. Kemudian Dewi Kilisuci berniat untuk mengubur hidup hidup Lembu Suro dalam sumur. Sebelum sumur tersebut berhasil dibuat ia dibantu pasukan jenggala untuk menimbun Lembu Suro dengan batu. Lembu Suro meminta tolong akan tetapi tidak ada yang menolongnya. Lembu Suro akhirnyapun marah hingga ia mengucapkan sumpah, "Yoh besok Kediri bakal pethuk piwalesku sing makaping yaiku, Kediri bakal bakal dadi kali, Blitar bakal dadi latar, lan Tulungagung dadi kedung". Lembu Suro bersumpah bahwa suatu hari orang Kediri akan menemui pembalasan besar dari Lembu Suro, yaitu Kediri akan menjadi sungai, Blitar jadi hamparan pasir, dan Tulungagung menjadi danau. Untuk menebus kesalahannya Dewi Kilisuci menjatuhkan selendangnya dari Gunung Umbuk, ia pun berlari ke selatan hingga Gunung Slengat. Sesampainya di gunung tersebut, ia kembali bertapa untuk meminta bantuan pada sang pencipta, agar bala bencana dari sumpah Lembu Suro tidak terwujud. Hingga saat ini masyarakat masih menjaga ritual untuk merawat gunung kelud seperti pengarakan perempuan yang masih suci atau perawan sebagai lambang Dewi Kilisuci dengan membawa sesajen. Dan setiap tanggal 23 Suro akan dilaksanakan larung sesaji, untuk menjaga keselamatan masyarakat Kediri.
Entitas Feminisme dalam cerita Dewi Kilisuci
Dalam cerita rakyat Dewi Kilisuci mereprentasikan bagaimana gender tersebut berperan sesuai dengan tokoh cerita. Dalam cerita tersebut terceminkan salah satu gender yakni feminisme. Hal tersebut dapat dilihat dari Dewi Kilisuci. Putri Sanggramawijaya Tunggadewi mengambil keputusannya ketika ia mengetahui bahwa dirinya tidak dapat melanjutkan tahta kerajaan Kahuripan karena penyakit kedhi yang dideritanya. Untuk itu, ia berlapang dada dan memutuskan untuk bertapa. Hingga setelah pertapaannya selesai ia menjadi Dewi Kilisuci. Masyarakat memandang Dewi Kilisuci sebagai sosok wanita agung. Selain itu, masyarakat menghormati Dewi Kilisuci karena jasanya yang sering membantu rakyat. Feminisme mendukung peranan perempuan dalam kehidupan masyarakat melalui berbagai aspek seperti aspek sosial, ekonomi, budaya tanpa melibatkan kekerasan. Sosok Dewi Kilisuci merepresentasikan ekofeminisme (Setiawati et al., 2022). Ketika pada masa tersebut perempuan menjadi peran yang terpinggirkan dalam pengambilan sebuah keputusan dan kurangnya kebebasan dalam pengutaraan pendapat serta ketidakbebasan dalam penolakan akan suatu hal. Ketika Dewi Kilisuci akan dipinang oleh Lembu Suro, Dewi Kilisuci ingin menolak pinangan tersebut. Akan tetapi, ia tidak dapat menolak pinangan tersebut secara langsung. Dewi Kilisuci pun merancang strategi untuk menolak pinangan dari Lembu Suro. Ketika ia berhasil menyusun serta mengeksekusi strategi tersebut, Lembu Suro marah akan hal tersebut sehingga ia pun mengucapkan sumpahnya. Sebagai bentuk penebusan, Dewi Kilisuci menjatuhkan selendangnya dari Gunung Umbuk hingga Gunung Slengat. Hal tersebut sebagai simbol terhadap pagar untuk melindungi rakyatnya akan marabahaya yang akan ditimbulkan dari sumpah Lembu Suro. Setelah ia sampai di Gunung Slengat, Dewi Kilisuci kembali bertapa untuk menebus kesalahannya serta berdoa sebagai upaya melindungi rakyatnya terhadap bencana yang akan datang. Dewi Kilisuci mempertanggungjawabkan atas keputusan yang diambilnya serta mempertanggungjawabkan atas resiko yang ditimbulkan.
Referensi:
Edy, M. (2017). KONSTRUKSI MASKULINITAS DALAM CERITA RAKYAT JAWA. 12(2), 1--10.
Fajar, E., Dwi, A., & Bhakti, P. (2022). Representasi maskulinitas laki-laki dalam cerita rakyat nusantara ( Representation of male masculinity in Indonesian folklore ) dilakukan . Cerita rakyat bukan hanya disikapi sebagai produk budaya yang perlu dilestarikan , tetapi juga. 8(1), 181--196.
Huda, D. (2020). Rethinking Peran Perempuan dan Keadilan Gender (L. Dodi (ed.)). CENDEKIA PRESS.